15 September 2009

ANALISIS POLITIK; Rahasia Negara, Negara Rahasia

Selasa, 15 September 2009 | 03:21 WIB

Oleh J KRISTIADI

Kutipan di atas menegaskan, sebagai negara demokrasi, memperoleh informasi merupakan hak asasi dan hak konstitusional yang melekat kepada rakyat, baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.

Berdasarkan paradigma itu, informasi pada dasarnya terbuka, kecuali berkaitan dengan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, keamanan nasional, dan ketertiban umum.

Berkenaan dengan masalah keamanan nasional, negara harus menjamin kebijakan pengecualian terhadap akses informasi publik harus berdasarkan regulasi yang jelas, serta sungguh-sungguh diperlukan untuk mengamankan kepentingan nasional terhadap ancaman yang sangat serius. Pembatasan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Namun, landasan pemikiran itu tampaknya tidak menjiwai ketentuan-ketentuan dalam RUU Rahasia Negara sehingga, meskipun nantinya disahkan, kontroversi UU Rahasia Negara akan terus berlanjut.

Masyarakat menilai UU Rahasia Negara sarat dengan beberapa kelemahan. Pertama, proses penyusunan tidak disertai kajian akademik yang komprehensif dan mendalam sehingga kabur dalam menentukan jenis, definisi, dan kategorisasi manajemen rahasia negara.

Kedua, banyak ketentuan bertabrakan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Pers, dan Undang-Undang HAM.

Ketiga, menutup akses publik melakukan kontrol terhadap negara serta memandulkan kebebasan pers, berpotensi pelanggaran dan menghambat penuntasan kasus HAM.

Keempat, menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia karena pejabat negara dapat mengategorikan informasi publik dalam ranah rahasia negara.

Kelima, rentan disalahgunakan melindungi pejabat pemerintah dari perbuatan korup.

Keenam, tidak mengatur pengecualian yang yang sangat diperlukan dalam kondisi tertentu, misalnya untuk mengungkapkan kejahatan HAM, terorisme, megakorupsi, dan sebagainya. Sebab, membuka akses kepada informasi rahasia secara terbatas sangat penting demi kepentingan masyarakat luas.

Dukung penguasa

Lolosnya UU Rahasia Negara tidak dapat dilepaskan dari menguatnya gejala kecenderungan perilaku politik parpol yang semakin menggantungkan eksistensinya pada negara. Persaingan ketat dan pertarungan yang keras di ranah elektoral tidak menyisakan kompetisi ideologis atau cita-cita besar di domain parlemen. Mereka secara beramai-ramai berperilaku kolektif, berkerumun, dan saling mendukung untuk menikmati manisnya madu kekuasaan negara.

Manifestasinya, kecenderungan merapatnya semua partai politik pascakemenangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada pemilu presiden yang baru lalu. Perkembangan demokrasi menjadi kurang sehat karena tidak ada parpol yang secara efektif dan konstruktif bersedia menjadi ”lawan” bertanding penguasa.

Seharusnya para elite politik dapat belajar dari pengalaman pahit, hidup dalam rezim negara yang tertutup, seperti dipraktikkan oleh Orde Baru. Negara selama tiga puluh tahun tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi mendominasi secara mutlak tafsir landasan hidup bersama.

Kepentingan politik penguasa menjadi kebenaran bagi negara. Semua regulasi bernegara harus tunduk kepada kepentingan politik penguasa. Atas nama negara dan stabilitas politik dan keamanan, negara nyaris dibenarkan berbuat apa saja.

Siapa pun yang berani berbeda pendapat dengan negara harus menghadapi tekanan kekuasaan, baik berupa intimidasi maupun kekerasan senjata. Kepentingan jahat, kolutif, dan manipulasi kekuasaan disembunyikan atas nama kepentingan negara. Sistem politik hanya menjadi Negara Rahasia yang penuh misteri teka-teki, serba gelap, dan menakutkan.

Masyarakat sebenarnya sangat memahami, bahkan mendukung, urgensi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat. Upaya itu adalah sebuah keniscayaan. Namun, hal itu tidak harus dilakukan dengan menyusun UU Rahasia Negara yang dalam perspektif demokratis justru melemahkan negara.

Kewaspadaan terhadap kecanggihan ancaman asing yang mengganggu keamanan nasional lebih bijak kalau dilakukan dengan menyusun strategi pengembangan teknologi yang serius agar mampu menandingi sofistikasi kekuatan asing yang mengancam kepentingan nasional.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi UU Rahasia Negara, segenap komponen masyarakat harus tetap berjuang agar UU tersebut tidak mematikan rezim transparansi yang menjadi dasar kehidupan demokrasi.

Masyarakat harus melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif, terutama menyisir ketentuan-ketentuan dalam UU Rahasia Negara yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tumpang tindihnya dengan UU lainnya. Bahan pemikiran tersebut dipergunakan untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Masyarakat sangat berharap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir tunggal UUD 1945 dapat mengoreksi pasal-pasal dalam UU Rahasia.

14 September 2009

Lebanon; Krisis Politik Tanpa Akhir yang Berimbas Konflik

Senin, 14 September 2009 | 05:09 WIB

Serangan roket dari wilayah Lebanon selatan ke Israel beberapa kali terjadi meski Resolusi PBB 1701 berhasil menghentikan perang 34 hari pada tahun 2006, antara kekuatan Hezbollah di selatan Lebanon dan pasukan Israel. Sedikitnya 1.200 orang tewas di Lebanon.

Meski serangan-serangan roket ini tidak masif dan tidak menimbulkan korban di pihak Israel, kejadian itu cukup mengganggu ketenangan warga Israel.

Wajar bila Pemerintah Israel pun meradang dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah Lebanon di Beirut.

Israel menuntut Pemerintah Lebanon bisa mengawasi seluruh warganya serta mengendalikan peredaran persenjataan di wilayahnya. Tuntutan itu sebenarnya wajar, tetapi sulit untuk dipenuhi Pemerintah Lebanon.

Krisis politik di dalam negeri yang tak kunjung usai membuat warga Lebanon terus terpecah-pecah dalam beberapa kelompok. Pemerintahan yang efektif pun tidak pernah ada karena berbagai kekuatan yang ada di negara itu tetap ”menguasai” wilayahnya masing- masing.

Kubu Hezbollah, yang mewakili warga Muslim Syiah Lebanon, menguasai wilayah selatan. Warga Islam Sunni, warga Kristen, dan warga Druze pun ”berbagi” di wilayah tengah dan utara Lebanon. Tidak hanya itu. Dua belas kamp pengungsi Palestina pun punya kekuatan di Lebanon.

Potret krisis politik di Lebanon itu terlihat nyata saat Perdana Menteri Saad Hariri—yang baru ditunjuk setelah koalisinya memenangi pemilihan umum 7 Juni yang lalu—menyatakan mengundurkan diri, Kamis (10/9), atau sehari sebelum sedikitnya dua roket ditembakkan dari Lebanon selatan ke wilayah utara Israel.

Saad Hariri yang mewakili koalisi Sunni, Druze, dan Kristen menyatakan mundur dari posnya, setelah tak juga berhasil membentuk kabinet karena kelompok oposisi dianggapnya mengajukan tuntutan-tuntutan yang sulit untuk dipenuhi.

Hariri memang berupaya membentuk sebuah kabinet persatuan untuk memecah kotak-kotak kepentingan di negara itu. Akan tetapi, rupanya upaya tersebut sangat sulit diwujudkan.

Perdana menteri baru

Dalam aturan ketatanegaraan Lebanon, Presiden Lebanon Michel Suleiman, yang seorang Kristen, harus segera menunjuk perdana menteri yang baru dan Hariri bisa saja dicalonkan kembali.

Jika presiden menunjuk kembali Hariri sebagai perdana menteri, Hariri bisa saja membentuk sebuah kabinet tanpa dukungan kelompok oposisi. Namun, para pengamat meyakini hal itu hanya berisiko memperdalam krisis politik di dalam negeri. ”Hal itu bisa dilihat sangat berbahaya, Hezbollah mungkin memandang hal itu sebagai sebuah deklarasi perang,” ungkap Hilal Khasham, profesor ilmu politik di American University, di Beirut.

Faktanya, Hariri tidak hanya ”dimusuhi” kubu Hezbollah. Pascapemilu bulan Juni, pemimpin Druze, Walid Jumblatt, pun mundur dari koalisi, begitu juga pemimpin Kristen, Amin Gemayel, yang bersuara keras menentang Hariri.

Maka selama krisis politik di dalam negeri Lebanon itu tidak kunjung selesai, praktis tidak akan ada pihak yang bisa mengawasi peredaran dan penggunaan senjata di wilayah Lebanon. Bahkan, mereka bisa memanfaatkan konflik itu untuk kepentingan kelompoknya.(AP/AFP/Reuters/OKI)

ANALISIS DANAREKSA; Menelaah Manfaat Penyelamatan Bank

Oleh Purbaya Yudhi Sadewa
Senin, 14 September 2009 | 04:22 WIB
Perdebatan tentang keadaan sistemik perbankan memanas belakangan ini. Tidak adanya definisi yang jelas membuat perdebatan melebar. Adakah alat analisis ekonomi yang dapat menentukan keadaan sistemik atau bukan? Apakah penyelamatan sebuah bank yang diperdebatkan kini ada manfaatnya?

Setelah krisis tahun 1997-1998, kata sistemik sering diasosiasikan dengan keadaan perbankan yang kurang baik. Kita pun seolah sudah biasa dengan istilah itu dan merasa memahaminya secara mendalam. Namun, ternyata pemahaman kita tidaklah terlalu dalam. Hal ini terlihat dari kebingungan banyak kalangan ketika ingin menentukan penutupan suatu bank akan berdampak sistemik atau tidak.

Untuk melihat keadaan sistem perbankan kita secara lebih jernih, Danareksa Research Insitute telah mengembangkan suatu indikator yang disebut Banking Pressure Index (BPI).

BPI adalah salah satu sistem peringatan dini untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis perbankan. BPI disusun dari kombinasi enam variabel ekonomi yang berdasarkan studi di beberapa negara merupakan indikator dini (leading indicator) akan terjadinya krisis perbankan.

Enam variabel ekonomi tersebut adalah real effective exchange rate, indeks harga saham, money multiplier, PDB riil atau composite lading economic Indicator, ekspor, dan suku bunga jangka pendek.

Data dari masing-masing variabel tersebut diproses dengan metode statistik tertentu hingga hasil akhirnya dapat memberikan informasi yang menggambarkan tekanan di sektor perbankan. Lalu, dari keenam variabel ekonomi tersebut dibuat suatu indeks gabungan yang disebut BPI.

Interpretasi BPI amatlah sederhana. BPI yang meningkat menggambarkan tekanan dalam sistem perbankan yang meningkat, sedangkan BPI yang menurun menggambarkan tekanan di sistem perbankan yang menurun. Level kritisnya di sekitar 0,5.

Bila BPI naik menembus ke atas level tersebut, tekanan pada sistem perbankan kita amat tinggi dan potensi terjadinya sistemik default amat besar. Yang dimaksud sistemik default di sini adalah akan ada banyak bank yang gagal, bukan hanya satu bank. Sebaliknya, nilai BPI di bawah 0,5 menunjukkan keadaan perbankan yang relatif aman. Semakin negatif nilai BPI semakin baik keadaan sistem perbankan kita.

Bagaimanakah perkembangan kondisi perbankan kita menurut BPI? BPI menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, keadaan sistem perbankan kita relatif aman. Hal ini terlihat dari BPI yang secara konsisten berada di bawah level 0,5 bahkan cenderung negatif. Namun, pada bulan Oktober 2008 BPI naik ke 0,90 (Gambar 1). Artinya, tekanan di sistem perbankan kita cukup tinggi dan peluang terjadinya sistemik default amat besar.

Naiknya tekanan di sistem perbankan ketika itu terutama disebabkan oleh melambatnya perekonomian domestik, memburuknya perekonomian global (yang memengaruhi eksportir kita dan pada akhirnya berdampak buruk ke perbankan juga karena hampir semua eksportir adalah nasabah perbankan kita).

Keketatan likuiditas di sistem finansial kita juga turut menekan sistem perbankan. Salah satu faktor yang ikut menyebabkan terjadinya keketatan likuiditas waktu itu adalah keterlambatan realisasi APBN.

Kebijakan BI menyamakan target overnight rate dengan BI rate pada awal tahun 2008 juga turut memperburuk keadaan. Kebijakan ini mengakibatkan overnight rate naik dengan signifikan pada tahun 2008. Sementara itu, BI Rate atau suku bunga acuan Bank Indonesia juga dinaikkan terus-menerus dalam periode Mei sampai Oktober 2008.

Dengan latar belakang yang demikian, tidaklah terlalu mengherankan bila tekanan di sistem perbankan kita naik ke level yang membahayakan (Gambar 1. Banking Pressure Index Indonesia).

Keadaan ekonomi

Perekonomian kita memasuki semester II-2008 juga terus memburuk. Kenaikan harga BBM, krisis ekonomi global, keterlambatan belanja APBN, dan kenaikan suku bunga memberikan tekanan yang cukup berat pada perekonomian kita.

Hal ini terlihat dari Coincident Economic Index (CEI) yang terus menurun sejak bulan Juli tahun 2008 (Gambar 2). CEI adalah indeks yang menunjukkan keadaan ekonomi pada setiap saat. Indeks ini disusun dengan menggunakan informasi penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan penjualan ritel. CEI yang naik menunjukkan ekonomi sedang berekspansi, sedangkan CEI yang turun menunjukkan aktivitas perekonomian sedang menurun.

Metode yang lebih maju untuk menentukan keadaan ekonomi kita adalah metode Sequential Signaling (SS), yang dikembangkan oleh pakar siklus bisnis Zarnowitz dan Moore dari Amerika Serikat.

Menurut metode ini, ketika ekonomi sedang ekspansi dan sinyal P1 terdeteksi, perekonomian sedang memasuki fase pelambatan. Bila kemudian sinyal P2 terdeteksi, pelambatan yang terjadi akan parah; dan bila P3 terdeteksi, perekonomian sudah memasuki fase resesi. Kemunculan sinyal P1, P2, dan P3 ini dihitung dengan metode statistik tertentu dengan memanfaatkan data CEI.

Metode SS mendeteksi sinyal P1 pada bulan Juni 2008. Jadi, sejak bulan itu ekonomi kita memasuki fase pelambatan. Aktivitas perekonomian memburuk terus pada bulan-bulan berikutnya. Pada bulan Oktober 2008 sinyal P2 terdeteksi dan pada bulan November 2008 sinyal P3 terdeteksi (Gambar 2). Artinya, sejak bulan November 2008 ekonomi kita sudah jatuh ke dalam fase resesi (Gambar 2. Siklus Bisnis Perekonomian Indonesia).

Keadaan saat itu cukup genting, amat mirip dengan keadaan pada tahun 1997. Pada bulan Maret 1997, BPI naik ke atas 0,5 (Gambar 1), yang menunjukkan tekanan yang amat tinggi pada sistem perbankan kita.

Sementara itu, kebijakan BI menaikkan suku bunga waktu itu justru semakin memperlambat perekonomian kita. Pada bulan Mei 1997 sinyal P1 terdeteksi (Gambar 2), ekonomi memasuki fase pelambatan. Dan, pada bulan September sinyal P2 terdeteksi.

Penanganan yang salah terhadap perekonomian dan perbankan kala itu (suku bunga tinggi yang semakin membebani perekonomian, penutupan 16 bank pada bulan September 1997) membuat keadaan semakin buruk.

Dan, pada November 1997 P3 terdeteksi, yang menunjukkan ekonomi kita masuk ke awal fase resesi. Sementara itu, penutupan bank pada bulan September telah menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan kita, yang sebelumnya keadaannya memang amat tertekan. Akibatnya, ekonomi kita pun jatuh ke resesi yang amat dalam.

Untungnya, respons kebijakan moneter dan fiskal kali ini berbeda dengan pada tahun 1997. BI, misalnya, mulai menurunkan suku bunga dengan agresif sejak bulan Desember 2008. Sementara itu, pemerintah juga memberikan stimulus fiskal yang cukup signifikan pada perekonomian kita. Walaupun realisasinya tidak secepat yang kita harapkan, dampak psikologinya terhadap optimisme masyarakat tidaklah dapat diabaikan.

Namun, kita semua tahu bahwa dampak kebijakan moneter memerlukan waktu untuk dapat dirasakan di perekonomian. Jadi, kita perlu beberapa bulan sejak BI menurunkan suku bunga acuan BI sebelum perbaikan pada perekonomian kita mulai terlihat.

Sialnya, pada saat yang bersamaan kita menghadapi kondisi sistem perbankan kita tidak terlalu baik, seperti yang ditunjukkan oleh BPI yang bertahan di atas 0,5. Keadaan perbankan akan membaik ketika dampak kebijakan moneter mulai terasa pada perekonomian.

Akan tetapi, pemulihan ekonomi yang akan terjadi dapat dihancurkan oleh sistem perbankan sendiri. Bila pada masa pemulihan ekonomi tersebut ada gangguan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, kita dapat mengulangi lagi keadaan seperti tahun 1997.

Kita semua tahu bahwa biaya untuk memperbaiki sistem finansial kita setelah krisis tahun 1997-1998 amatlah besar, jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan satu buah bank pada masa kritis yang berlangsung sejak triwulan keempat sampai triwulan pertama tahun ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2008 keadaan sistem perbankan kita amat tertekan dan potensi terjadinya sistemik default amat besar. Dalam keadaan seperti itu, kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan harus dijaga agar proses memulihkan ekonomi tidak terganggu.

Untunglah otoritas moneter dan fiskal kita telah mengambil langkah yang tepat sehingga perbankan kita tidak sempat kolaps. Tindakan ini memberikan kesempatan pada ekonomi kita untuk berekspansi lagi, yang terjadi sejak bulan Maret 2009 ini. Akibatnya, tekanan pada sistem perbankan kita pun berkurang.

Pada bulan April 2009, BPI turun ke bawah 0,5 dan pada bulan Juni 2009, BPI sudah berada pada level 0,06, yang menunjukkan keadaan sistem perbankan yang tidak tertekan lagi.

Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute

Analisis Ekonomi; Babak Baru Kebijakan Subsidi Pupuk

Oleh Bustanul Arifin

Pemerintah merencanakan pengurangan subsidi pupuk dari Rp 18,4 triliun (0,3 persen dari produk domestik bruto/PDB) tahun 2009 menjadi Rp 11,3 triliun (0,2 persen PDB) tahun 2010. Penurunan subsidi ini lebih banyak karena ada rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk sekitar 80 persen. Peningkatan yang sangat signifikan bagi petani.

Pupuk urea, misalnya, akan naik dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.000 per kilogram, Superphos dari Rp 1.550 menjadi Rp 2.100 per kg, NPK Ponska dari Rp 1.750 menjadi Rp 4.500 per kg, NPK Pelangi dari Rp 1.830 menjadi Rp 4.100 per kg, NPK Kujang Rp 1.586 menjadi 4.000 per kg, dan pupuk organik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per kg.

Pada waktu mengantarkan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, awal Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang tidak eksplisit menyebutkan rencana kenaikan harga pupuk ini. Presiden menyampaikan, ”Pemerintah tetap merencanakan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk, benih, dan pangan. Melalui subsidi ini kita dapat menyediakan pupuk dan benih berkualitas dengan harga terjangkau, agar petani kita lebih produktif dan lebih meningkat kesejahteraannya.”

Namun, dalam dokumen RAPBN 2010 secara jelas disebutkan tujuan peningkatan harga eceran tertinggi pupuk itu adalah ”untuk memperkecil penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan, dan tetap memerhatikan kepentingan petani” (halaman IV-140 Nota Keuangan dan RAPBN 2010).

Pertanyaan yang layak memperoleh klarifikasi adalah apakah rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk itu merupakan babak baru dari perbaikan subsidi pupuk dan menciptakan sistem subsidi input pertanian yang lebih efektif dan efisien? Atau, apakah rencana itu merupakan pengacuhan kebijakan terhadap permasalahan petani yang kian sulit menjangkau harga input dan biaya usahatani yang semakin besar?

Subsidi pupuk adalah salah satu dari elemen subsidi pertanian di Indonesia yang kini mencapai Rp 21,4 triliun, yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 18,4 triliun, subsidi benih Rp 1,3 triliun, dan kredit program Rp 1,7 triliun. Lonjakan angka subsidi pupuk dari Rp 6,3 triliun tahun 2007 menjadi Rp 15,2 triliun tahun 2008 menimbulkan pertanyaan lebih strategis tentang efisiensi dan efektivitas subsidi tersebut.

Subsidi pupuk Rp 18,4 triliun kepada industri pupuk sangat fantastis karena masih sering terjadi kelangkaan pupuk saat musim tanam. Apakah rencana kenaikan harga eceran pupuk akan menyelesaikan penyimpangan subsidi dan kelangkaan pupuk? Rasanya tidak selinier itu.

Indonesia pernah secara konsisten menggunakan formula yang dikenal sebagai ”Rumus Tani” atau rasio harga pupuk terhadap harga padi sebagai basis pengambilan keputusan stabilisasi harga input, dan/atau besaran subsidi terhadap pupuk. Subsidi pupuk saat itu dilaksanakan secara terpadu dengan penyaluran sarana produksi lain, umumnya dalam bentuk paket dan merupakan bagian program pemerintah. Berbeda dengan kondisi awal tahun 1970-an, petani Indonesia kini telah mengenal pupuk kimia (anorganik) dan bahkan telah masuk pada fase ketergantungan pada pupuk yang tinggi.

Berdasarkan Laporan Pendataan Usahatani Tahun 2009 oleh Badan Pusat Statistik, lebih dari 91 persen petani padi menggunakan pupuk, terdiri dari 68 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Penggunaan pupuk pada petani jagung adalah 36,8 persen menggunakan pupuk kimia dan 46,1 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Lebih dari 73 persen petani kedelai juga bergantung pada pupuk, dan lebih dari 96 persen petani tebu juga sangat bergantung pada pupuk.

Tingkat ketergantungan petani yang demikian tinggi pada pupuk kimia (anorganik) berada pada point of no-return. Untuk mengurangi ketergantungan yang demikian tinggi, tentu tidak bijak jika tiba-tiba harga pupuk dibuat mahal karena kelangkaan pupuk seakan memiliki ”ideologi” tersendiri.

Saat ini setidaknya ada enam simpul utama kelangkaan pupuk, yaitu simpul produksi, simpul distribusi, simpul kelembagaan, simpul harga, simpul subsidi, dan simpul trust (lihat Arifin, 2009). Tidak perlu dibahas lagi bahwa kelangkaan pupuk pasti memengaruhi kinerja produksi pangan dan kualitas ketahanan pangan di Indonesia.

Sistem produksi pupuk sangat bergantung pada pasokan gas yang kian fluktuatif karena tingkat volatilitas harga gas di pasar global yang juga tinggi. Penataan sistem distribusi (tertutup, semitertutup, terbuka, dan kini tertutup lagi) tidak pernah mendekati sempurna karena disparitas harga. Sistem kelembagaan, rencana definitif kebutuhan kelompok, agak sulit mencapai prasyarat tata kelola, sebagaimana tuntutan sistem administrasi modern kebijakan negara.

Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan harga aktual di tingkat lapangan terlalu lebar sehingga menjadi lahan empuk spekulan menyelewengkan pupuk bersubsidi. Simpul trust (saling percaya) terutama pada pemangku kepentingan pupuk itu sangat berpengaruh terhadap proses audit akuntansi dan audit kinerja produsen pupuk.

Melalui pendataan usahatani tahun 2009, pemerintah berencana memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi. Subsidi input pertanian (pupuk dan benih) direncanakan diberikan langsung kepada petani walaupun sampai saat ini mekanisme yang paling sesuai juga belum ditemukan. Sesuatu yang perlu diperhatikan adalah bahwa hakikat subsidi kepada petani/produsen sangat berbeda dengan subsidi kepada konsumen, seperti program bantuan langsung tunai atau beras untuk rakyat miskin.

Derajat fungibilitas atau pemanfaatan subsidi untuk keperluan lain di luar proses produksi pada petani masih sangat tinggi. Tidak ada jaminan bahwa subsidi uang tunai langsung kepada petani akan dibelanjakan untuk pupuk dan untuk meningkatkan produksi.

Sebaiknya, pada tahun 2010 pemerintah memanfaatkannya sebagai ajang uji coba sekian macam mekanisme penyaluran subsidi pupuk kepada petani. Setelah tingkat efisiensi dan efektivitas dapat diketahui, penyaluran subsidi secara nasional dapat dimulai tahun 2011.

Subsidi pupuk memang wajib dinikmati oleh yang berhak, yaitu petani. Namun, ketidakhati-hatian, keacuhan, dan kesalahan perumusan kebijakan mekanisme subsidi justru akan mempertaruhkan nasib berpuluh juta petani dan masa depan pertanian Indonesia.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB

Analisis Ekonomi; Babak Baru Kebijakan Subsidi Pupuk

Oleh Bustanul Arifin

Pemerintah merencanakan pengurangan subsidi pupuk dari Rp 18,4 triliun (0,3 persen dari produk domestik bruto/PDB) tahun 2009 menjadi Rp 11,3 triliun (0,2 persen PDB) tahun 2010. Penurunan subsidi ini lebih banyak karena ada rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk sekitar 80 persen. Peningkatan yang sangat signifikan bagi petani.

Pupuk urea, misalnya, akan naik dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.000 per kilogram, Superphos dari Rp 1.550 menjadi Rp 2.100 per kg, NPK Ponska dari Rp 1.750 menjadi Rp 4.500 per kg, NPK Pelangi dari Rp 1.830 menjadi Rp 4.100 per kg, NPK Kujang Rp 1.586 menjadi 4.000 per kg, dan pupuk organik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per kg.

Pada waktu mengantarkan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, awal Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang tidak eksplisit menyebutkan rencana kenaikan harga pupuk ini. Presiden menyampaikan, ”Pemerintah tetap merencanakan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk, benih, dan pangan. Melalui subsidi ini kita dapat menyediakan pupuk dan benih berkualitas dengan harga terjangkau, agar petani kita lebih produktif dan lebih meningkat kesejahteraannya.”

Namun, dalam dokumen RAPBN 2010 secara jelas disebutkan tujuan peningkatan harga eceran tertinggi pupuk itu adalah ”untuk memperkecil penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan, dan tetap memerhatikan kepentingan petani” (halaman IV-140 Nota Keuangan dan RAPBN 2010).

Pertanyaan yang layak memperoleh klarifikasi adalah apakah rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk itu merupakan babak baru dari perbaikan subsidi pupuk dan menciptakan sistem subsidi input pertanian yang lebih efektif dan efisien? Atau, apakah rencana itu merupakan pengacuhan kebijakan terhadap permasalahan petani yang kian sulit menjangkau harga input dan biaya usahatani yang semakin besar?

Subsidi pupuk adalah salah satu dari elemen subsidi pertanian di Indonesia yang kini mencapai Rp 21,4 triliun, yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 18,4 triliun, subsidi benih Rp 1,3 triliun, dan kredit program Rp 1,7 triliun. Lonjakan angka subsidi pupuk dari Rp 6,3 triliun tahun 2007 menjadi Rp 15,2 triliun tahun 2008 menimbulkan pertanyaan lebih strategis tentang efisiensi dan efektivitas subsidi tersebut.

Subsidi pupuk Rp 18,4 triliun kepada industri pupuk sangat fantastis karena masih sering terjadi kelangkaan pupuk saat musim tanam. Apakah rencana kenaikan harga eceran pupuk akan menyelesaikan penyimpangan subsidi dan kelangkaan pupuk? Rasanya tidak selinier itu.

Indonesia pernah secara konsisten menggunakan formula yang dikenal sebagai ”Rumus Tani” atau rasio harga pupuk terhadap harga padi sebagai basis pengambilan keputusan stabilisasi harga input, dan/atau besaran subsidi terhadap pupuk. Subsidi pupuk saat itu dilaksanakan secara terpadu dengan penyaluran sarana produksi lain, umumnya dalam bentuk paket dan merupakan bagian program pemerintah. Berbeda dengan kondisi awal tahun 1970-an, petani Indonesia kini telah mengenal pupuk kimia (anorganik) dan bahkan telah masuk pada fase ketergantungan pada pupuk yang tinggi.

Berdasarkan Laporan Pendataan Usahatani Tahun 2009 oleh Badan Pusat Statistik, lebih dari 91 persen petani padi menggunakan pupuk, terdiri dari 68 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Penggunaan pupuk pada petani jagung adalah 36,8 persen menggunakan pupuk kimia dan 46,1 persen menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik. Lebih dari 73 persen petani kedelai juga bergantung pada pupuk, dan lebih dari 96 persen petani tebu juga sangat bergantung pada pupuk.

Tingkat ketergantungan petani yang demikian tinggi pada pupuk kimia (anorganik) berada pada point of no-return. Untuk mengurangi ketergantungan yang demikian tinggi, tentu tidak bijak jika tiba-tiba harga pupuk dibuat mahal karena kelangkaan pupuk seakan memiliki ”ideologi” tersendiri.

Saat ini setidaknya ada enam simpul utama kelangkaan pupuk, yaitu simpul produksi, simpul distribusi, simpul kelembagaan, simpul harga, simpul subsidi, dan simpul trust (lihat Arifin, 2009). Tidak perlu dibahas lagi bahwa kelangkaan pupuk pasti memengaruhi kinerja produksi pangan dan kualitas ketahanan pangan di Indonesia.

Sistem produksi pupuk sangat bergantung pada pasokan gas yang kian fluktuatif karena tingkat volatilitas harga gas di pasar global yang juga tinggi. Penataan sistem distribusi (tertutup, semitertutup, terbuka, dan kini tertutup lagi) tidak pernah mendekati sempurna karena disparitas harga. Sistem kelembagaan, rencana definitif kebutuhan kelompok, agak sulit mencapai prasyarat tata kelola, sebagaimana tuntutan sistem administrasi modern kebijakan negara.

Disparitas harga pupuk bersubsidi dengan harga aktual di tingkat lapangan terlalu lebar sehingga menjadi lahan empuk spekulan menyelewengkan pupuk bersubsidi. Simpul trust (saling percaya) terutama pada pemangku kepentingan pupuk itu sangat berpengaruh terhadap proses audit akuntansi dan audit kinerja produsen pupuk.

Melalui pendataan usahatani tahun 2009, pemerintah berencana memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi. Subsidi input pertanian (pupuk dan benih) direncanakan diberikan langsung kepada petani walaupun sampai saat ini mekanisme yang paling sesuai juga belum ditemukan. Sesuatu yang perlu diperhatikan adalah bahwa hakikat subsidi kepada petani/produsen sangat berbeda dengan subsidi kepada konsumen, seperti program bantuan langsung tunai atau beras untuk rakyat miskin.

Derajat fungibilitas atau pemanfaatan subsidi untuk keperluan lain di luar proses produksi pada petani masih sangat tinggi. Tidak ada jaminan bahwa subsidi uang tunai langsung kepada petani akan dibelanjakan untuk pupuk dan untuk meningkatkan produksi.

Sebaiknya, pada tahun 2010 pemerintah memanfaatkannya sebagai ajang uji coba sekian macam mekanisme penyaluran subsidi pupuk kepada petani. Setelah tingkat efisiensi dan efektivitas dapat diketahui, penyaluran subsidi secara nasional dapat dimulai tahun 2011.

Subsidi pupuk memang wajib dinikmati oleh yang berhak, yaitu petani. Namun, ketidakhati-hatian, keacuhan, dan kesalahan perumusan kebijakan mekanisme subsidi justru akan mempertaruhkan nasib berpuluh juta petani dan masa depan pertanian Indonesia.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB

10 September 2009

"Pesta" yang Semarak walau Tanpa Undangan

ULANG TAHUN PRESIDEN
"Pesta" yang Semarak walau Tanpa Undangan

Kamis, 10 September 2009 | 03:20 WIB

Karangan bunga berjajar di jalan depan kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/9).

Dalam lingkungan kediaman, rangkaian bunga tertata di berbagai sudut pendapa dan halamannya. Beraneka hidangan prasmanan pun tersaji.

Seperti saat Presiden menggelar acara buka puasa bersama keluarga besar Partai Demokrat akhir pekan lalu, pendapa dan halamannya digelari karpet.

Dengan begitu, setelah berbuka puasa, para tamu dapat mengikuti ibadah shalat berjemaah untuk kemudian dilanjutkan makan malam.

Tampak pemandangan berbeda karena kali ini Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Polri, Menteri Luar Negeri, dan sejumlah pejabat lain yang tak berasal dari partai politik pun duduk berdampingan dengan para petinggi Partai Demokrat, seperti Hadi Utomo dan Hayono Isman.

Acara berbuka puasa petang itu istimewa karena merupakan ”pesta” ulang tahun Presiden Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Hari itu Yudhoyono genap berusia 60 tahun.

Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, tidak ada satu undangan pun yang disampaikan untuk hadir di Cikeas petang itu.

”Ibu Negara minta jangan ada undangan, tetapi ternyata banyak sekali yang tahu Bapak Presiden berulang tahun dan ingin mengucapkan selamat, menyampaikan doa,” ujarnya.

Seusai shalat maghrib berjemaah, Presiden didampingi Ibu Negara memotong nasi tumpeng. Potongan pertama diberikan Presiden kepada ibunda Presiden, Ny Siti Habibah Soekotjo, sedangkan potongan kedua diberikan kepada Ny Soenarti Sarwo Edhie, ibu mertua Presiden. Potongan berikutnya diberikan Presiden kepada Ny Ani Yudhoyono yang telah mendampinginya selama 33 tahun.

”Ulang tahun bagi Presiden berarti memberikan pelayanan pada ibu, ibu mertua, dan istri tercinta,” kata Andi.

Semoga hal itu juga menjadi simbol bahwa Presiden pun sungguh siap melayani rakyat lima tahun mendatang.

Sebelumnya, di sela-sela kegiatan meresmikan jalur ganda dan rangkaian kereta di Stasiun Jakarta Kota, Presiden Yudhoyono juga menerima ucapan selamat ulang tahun dari Presiden Rusia Dmitry Anatolyevich Medvedev melalui telepon.

Doa JK

Jauh di Makassar, di sela-sela peresmian wahana rekreasi bermain bertaraf dunia yang disebut Trans Studio Theme Park di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengajak tamu undangan memberikan ucapan dan mendoakan Presiden Yudhoyono yang hari itu berulang tahun.

”Karena ini diresmikan tanggal 9 bulan 9 tahun 2009, yang bertepatan dengan ulang tahun Presiden Yudhoyono, wajar jika kita semua mengucapkan selamat dan mendoakan agar Presiden bisa menjalankan tugas negara dengan baik dan diringankan tugasnya,” ajak Wapres.

Menurut Wapres, hari ini adalah hari yang baik untuk ulang tahun dan bagi peresmian tempat rekreasi bertaraf internasional yang terinspirasi dari Disneyland dan Universal Studio di Amerika Serikat itu.

Acara peresmian itu dihadiri Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil dan para duta besar negara sahabat serta pemilik Para Group, Chairul Tandjung.

(DAY/HAR)

"Pesta" yang Semarak walau Tanpa Undangan

Presiden Susilo Bambang Yudhoy ono menerima ucapan selamat dari NyAni Yudhoyono pada perayaan ulang tahunnya yang ke-60 di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/9). Perayaan ini diisi doa dan potong tumpeng oleh Yudhoyono. Hadir pula para menteri dan pejabat negara.


ULANG TAHUN PRESIDEN
"Pesta" yang Semarak walau Tanpa Undangan

Kamis, 10 September 2009 | 03:20 WIB

Karangan bunga berjajar di jalan depan kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/9).

Dalam lingkungan kediaman, rangkaian bunga tertata di berbagai sudut pendapa dan halamannya. Beraneka hidangan prasmanan pun tersaji.

Seperti saat Presiden menggelar acara buka puasa bersama keluarga besar Partai Demokrat akhir pekan lalu, pendapa dan halamannya digelari karpet.

Dengan begitu, setelah berbuka puasa, para tamu dapat mengikuti ibadah shalat berjemaah untuk kemudian dilanjutkan makan malam.

Tampak pemandangan berbeda karena kali ini Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Polri, Menteri Luar Negeri, dan sejumlah pejabat lain yang tak berasal dari partai politik pun duduk berdampingan dengan para petinggi Partai Demokrat, seperti Hadi Utomo dan Hayono Isman.

Acara berbuka puasa petang itu istimewa karena merupakan ”pesta” ulang tahun Presiden Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Hari itu Yudhoyono genap berusia 60 tahun.

Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, tidak ada satu undangan pun yang disampaikan untuk hadir di Cikeas petang itu.

”Ibu Negara minta jangan ada undangan, tetapi ternyata banyak sekali yang tahu Bapak Presiden berulang tahun dan ingin mengucapkan selamat, menyampaikan doa,” ujarnya.

Seusai shalat maghrib berjemaah, Presiden didampingi Ibu Negara memotong nasi tumpeng. Potongan pertama diberikan Presiden kepada ibunda Presiden, Ny Siti Habibah Soekotjo, sedangkan potongan kedua diberikan kepada Ny Soenarti Sarwo Edhie, ibu mertua Presiden. Potongan berikutnya diberikan Presiden kepada Ny Ani Yudhoyono yang telah mendampinginya selama 33 tahun.

”Ulang tahun bagi Presiden berarti memberikan pelayanan pada ibu, ibu mertua, dan istri tercinta,” kata Andi.

Semoga hal itu juga menjadi simbol bahwa Presiden pun sungguh siap melayani rakyat lima tahun mendatang.

Sebelumnya, di sela-sela kegiatan meresmikan jalur ganda dan rangkaian kereta di Stasiun Jakarta Kota, Presiden Yudhoyono juga menerima ucapan selamat ulang tahun dari Presiden Rusia Dmitry Anatolyevich Medvedev melalui telepon.

Doa JK

Jauh di Makassar, di sela-sela peresmian wahana rekreasi bermain bertaraf dunia yang disebut Trans Studio Theme Park di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengajak tamu undangan memberikan ucapan dan mendoakan Presiden Yudhoyono yang hari itu berulang tahun.

”Karena ini diresmikan tanggal 9 bulan 9 tahun 2009, yang bertepatan dengan ulang tahun Presiden Yudhoyono, wajar jika kita semua mengucapkan selamat dan mendoakan agar Presiden bisa menjalankan tugas negara dengan baik dan diringankan tugasnya,” ajak Wapres.

Menurut Wapres, hari ini adalah hari yang baik untuk ulang tahun dan bagi peresmian tempat rekreasi bertaraf internasional yang terinspirasi dari Disneyland dan Universal Studio di Amerika Serikat itu.

Acara peresmian itu dihadiri Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil dan para duta besar negara sahabat serta pemilik Para Group, Chairul Tandjung.

(DAY/HAR)

Persidangan Berlanjut

Persidangan Berlanjut
Wiliardi dan Antasari Azhar Juga Akan Dimintai Keterangan

Kamis, 10 September 2009 | 04:17 WIB

Tangerang, Kompas - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam sidang putusan sela, Rabu (9/9), memutuskan melanjutkan perkara pembunuhan berencana terhadap Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang dilakukan oleh lima terdakwa.

Setelah menghadirkan empat saksi termasuk dua di antaranya istri Nasrudin, Sri Martuti dan Irawati, Senin (14/9) pekan depan penuntut umum akan menghadirkan saksi lainnya, seperti Komisaris Besar Wiliardi Wizard, Sigit Haryo Wibisono, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Antasari Azhar.

”Saksi lainnya, Wiliardi, Sigit, dan Antasari, kemungkinan besar akan dihadirkan sebagai saksi,” ujar anggota tim penuntut umum perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Irfan Jaya, seusai sidang, Rabu kemarin. Namun, Irfan belum bisa menjelaskan kapan ketiga saksi tersebut akan diperiksa.

Menurut Irfan, keterangan ketiga saksi dibutuhkan karena merupakan satu rangkaian dalam kasus perkara pembunuhan yang mengakibatkan Nasrudin meninggal dunia. Dalam sidang yang dilakukan secara bergiliran di dua ruang sidang, majelis hakim menolak keberatan yang diajukan para penasihat hukum masing-masing terdakwa yang diajukan dua pekan lalu.

Tim penasihat hukum dari Daniel Daen, Hendrikus Kia Walen, dan Heri Santosa antara lain adalah Juan Felix Tampubolon, Rocky Awondatu, dan Agustinus Paungdosi. Sementara terdakwa Fransiscus Tandon Keran didampingi tim penasihat hukum yang antara lain adalah Minola Sebayang. Adapun penasihat hukum Eduardus Ndopo Mbete adalah Michael Wangge.

Kelima terdakwa itu didakwa dengan Pasal 340 jo Pasal 55 dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup.

Keberatan ditolak

Majelis hakim dari masing-masing lima terdakwa tersebut menolak beberapa keberatan penasihat hukum para terdakwa. Mereka menilai keberatan yang disampaikan para penasihat hukum masing-masing terdakwa tidak esensial, di antaranya keberatan atas surat dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum yang dinilai tidak cermat, kabur, dan membingungkan. Hal itu dianggap hanya kesalahan teknis.

”Surat dakwaan sudah memenuhi syarat sesuai Pasal 144 KUHAP. Ini hanya kesalahan dalam pengetikan; tidak termasuk mengubah isi dakwaan sebenarnya,” kata ketua majelis hakim Asnun dalam sidang dengan terdakwa Daniel Daen.

Dalam keputusan sela, majelis hakim masing-masing terdakwa menolak permintaan para penasihat hukum untuk memindahkan para terdakwa dari Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang atau Lapas Cipinang. Alasannya, jika dipindahkan dari Rutan Polda Metro Jaya, keselamatan lima terdakwa akan terancam.

”Kami mengkhawatirkan keselamatan para terdakwa jika mereka dipindahkan ke rutan atau lapas lainnya. Ada kendala teknis lain yang tidak bisa kami jelaskan,” papar ketua majelis hakim Arthur Hangewa dalam sidang terpisah terdakwa Fransiscus Kia Walen alias Amsi dan Eduardus Ndopo Mbete.

Selain Arthur, Ketua majelis hakim M Asnun juga menolak permintaan Juan Felix Tampubolon, penasihat hukum dari terdakwa Daniel Daen. Alasan penolakan, kata Asnun, adalah dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan penahanan seseorang harus dilakukan di satu rutan saja. Sementara ketua majelis hakim Ismail dengan tersangka Hendrikus Kia Walen dan Heri Santosa menyatakan masih pikir-pikir dulu untuk menyetujui permintaan pemindahan lokasi tahanan sesuai permintaan penasihat hukum kedua terdakwa itu, Juan Felix Tampubolon. (PIN)

Ancaman Pemberangusan Pers

Ancaman Pemberangusan Pers
Sanksi Pidana UU Rahasia Negara Sangat Berat

Kamis, 10 September 2009 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengubah ketentuan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang berpotensi memberangus kebebasan pers, pembredelan perusahaan media massa, dan pengkriminalan jurnalis.

Sanksi semacam itu dinilai masih mendominasi dalam sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara dan menjadi salah satu sumber kecaman elemen masyarakat sipil dan pers. Ketentuan soal sanksi pidana ada dalam Bab X Pasal 42-49 RUU tersebut.

Dalam rapat pembahasan, Rabu (9/9), anggota Panja RUU Rahasia Negara, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengingatkan, ancaman sanksi denda dengan angka nominal tinggi akan membebani media massa dan bahkan membangkrutkan perusahaannya.

”Padahal, kemampuan perusahaan media massa, apalagi di daerah-daerah, berbeda-beda. Kalau dendanya sampai miliaran atau bahkan ratusan miliar rupiah, dipastikan perusahaan-perusahaan media massa akan bangkrut dan mati,” kata Dedi.

Selain sanksi denda, ketentuan dalam Pasal 49 RUU Rahasia Negara juga berpotensi memberangus media massa.

Dalam pasal itu diatur tentang sanksi terhadap korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan negara.

Sebuah korporasi dapat diancam hukuman berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang jika terbukti melanggar UU tentang Rahasia Negara.

Menolak keras

Dari sejumlah alasan tersebut, Masyarakat Pers Indonesia pada Selasa kemarin mendatangi Panja RUU Rahasia Negara dan menyatakan sikap resmi menolak keras isi RUU Rahasia Negara rancangan Departemen Pertahanan.

Meski begitu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo membantah semua kekhawatiran tadi. Bantahan itu dia sampaikan baik dalam rapat panja maupun kepada wartawan seusai rapat.

Agus menyatakan, pemerintah bahkan telah merevisi dan akan menyampaikan hasil perubahan tersebut dalam rapat-rapat panja berikutnya. Revisi dibuat agar semua kekhawatiran yang muncul dan dilontarkan masyarakat selama ini tidak lagi terjadi.

”Kami sudah ubah beberapa klausul, seperti Pasal 44 tentang pidana penjara paling singkat, bervariasi dari dua hingga empat tahun, disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya. Juga soal sanksi pidana terhadap korporasi, yang kami batasi hanya akan dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan,” ujar Agus.

Sebelumnya, dalam Pasal 44, sanksi pidana yang dicantumkan bervariasi, paling singkat lima hingga tujuh tahun dan paling lama 15-20 tahun sesuai tingkat kerahasiaan, dan ancaman pidana 20 tahun hingga hukuman mati terkait pelanggaran yang dilakukan dalam masa perang.

Lebih lanjut Agus mengingatkan, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Bab IX tidak dibuat atau diadakan khusus untuk menyasar pada media massa, jurnalis, atau perusahaan media massa.

Bukan hanya media

Sasaran sanksi pidana, termasuk denda dengan nominal tinggi, menurut dia, juga ditujukan kepada korporasi-korporasi multinasional bermodal kuat yang selama ini banyak mengincar informasi penting tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai macam cara.

”Kalau dikatakan tadi sanksi denda yang tinggi bakal membangkrutkan perusahaan media massa, kan dalam pasalnya disebut sanksi maksimal. Jadi, nanti tergantung hakim yang akan memutuskan. Kami yakin tentu saja hakim akan mempertimbangkan seadil-adilnya,” kata Agus.

Agus menambahkan, jika dalam praktiknya nanti hakim justru memutus sanksi denda yang berat, sementara diketahui kemampuan korporasi tersebut, termasuk perusahaan media massa, tidak mampu menjangkau, yang salah adalah hakim dan bukan ketentuan UU-nya.

”Tidak bisa juga kalau tadi dikatakan sanksi pidana disesuaikan ketentuan UU Pokok Pers. Risiko pembocoran rahasia negara, kan, bisa membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Jadi, besaran nominal denda itu sudah kami sesuaikan dengan risikonya,” ujar Agus. (DWA)

Lelang Telepon Genggam Rp 135.000 Per Unit

Batam - Aparat Kejaksaan Negeri Batam telah melelang barang bukti telepon genggam impor ilegal sebanyak 83.000 unit yang pernah disita aparat Bea dan Cukai. Telepon genggam sebanyak 83.000 itu dilelang dengan nilai Rp 11,2 miliar atau sekitar Rp 135.000 per unit.

Hal itu diungkapkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam Suharto Rasidi di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Rabu (9/9). ”Harga lelang 83.000 unit telepon genggam itu memang Rp 11,2 miliar. Penilaian harga dilakukan oleh kantor dinas perdagangan dan tim independen,” kata Suharto.

Seperti diberitakan, sekitar 83.000 unit telepon genggam baru diselundupkan dari Singapura dengan kapal kayu ke Indonesia. Telepon genggam senilai Rp 60 miliar itu terdiri dari berbagai merek, seperti Nokia E-90, Nokia N-73, Nokia N-70, Nokia 6500, Nokia 5700, Nokia 3220, Music Edition, Sony Ericsson W700i, dan Titan Phone T999.

Suharto menjelaskan, secara teknis, penilaian harga dilakukan oleh tim independen dan kantor dinas perdagangan. Harga lelang 83.000 telepon genggam itu sebesar Rp 11,2 miliar karena kondisi sebagian telepon genggam masih kosong dan terkena air laut. ”Ada yang baterainya tidak ada. Ada juga yang terkena air laut,” katanya.

Akan tetapi, menurut Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kepri Nasar Salim, saat penangkapan, kondisi telepon genggam sebanyak 83.000 unit itu masih baru. ”Telepon genggam masih baru dan terbungkus rapi,” katanya. Setelah proses penyidikan selesai, berkas dan barang bukti diserahkan kepada pihak kejaksaan.

”Soal harga, itu kewenangan kejaksaan. Saya tidak mau berkomentar,” katanya. (FER)

Kamis, 10 September 2009 | 02:56 WIB

Ritual di Puncak Gunung Kelimutu

Sejumlah mosalaki pu-u (tetua adat) memberikan persembahan di dakutatae (batu tempat sesaji) dalam acara adat Pati Ka Ata Mata, yakni memberi makan kepada orang yang sudah meninggal, di kawasan Danau Triwarna Kelimutu, Jumat (14/8) di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.


PATI KA ATA MATA
Ritual di Puncak Gunung Kelimutu


Jumat pagi, 14 Agustus 2009, cuaca mendung dan diguyur hujan gerimis. Namun, ketika matahari mulai meninggi, cuaca berubah cerah dan semarak, apalagi dihiasi rerumpunan arngoni (Vaccinium varingiaefolium), tumbuhan endemik yang tumbuh subur di sekitar puncak Gunung Kelimutu.

Tanaman arngoni yang telah berbuah segar dan masak juga seakan menyambut hangat kehadiran para mosalaki pu’u (tetua adat) hari itu yang memenuhi areal helipad di zona inti kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sambil menunggu ritual dimulai, para mosalaki pun memanfaatkan waktu dengan melihat-lihat keindahan panorama tiga kawah danau dengan air berbeda warna, tiada duanya di dunia. Kawasan Taman Nasional Kelimutu secara administratif berada dalam wilayah 5 kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko.

Para mosalaki juga tak bosan- bosannya menatap rumpun arngoni yang telah masak buahnya, kecil berwarna hitam. Mereka pun begitu hati-hati ketika hendak menyentuhnya karena buah arngoni juga diyakini sebagai makanan para dewa atau arwah leluhur di Danau Kelimutu.

Sekitar pukul 11.00 Wita, ritual baru dimulai. Hari itu untuk pertama kalinya di puncak Danau Kelimutu, dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut, digelar Pati Ka Ata Mata, upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.

Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tumpah ruah di area helipad. Mereka tak ingin ketinggalan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Begitu pula masyarakat sekitar dan juga kalangan media.

Prosesi ritual diawali sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional diberi sesaji untuk dibawa ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan berupa nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.

Sembilan mosalaki pu’u itu secara bersama menuju tugu batu dan bersama-sama pula meletakkan sesaji di tugu tersebut, yang artinya dari sembilan mosalaki itu kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.

”Ritual adat ini diikuti oleh seluruh komunitas adat di kawasan Lio. Sekaligus ritual ini merupakan aset seni budaya daerah dan juga nasional yang patut dilestarikan. Ritual ini juga dapat mempersatukan suku-suku Lio,” kata mosalaki Detusoko, Emanuel K Ndopo.

Wilayah Kabupaten Ende terdiri dari dua suku asli, yakni Ende dan Lio. Kawasan suku Ende dominan di bagian barat ke selatan, sedangkan suku Lio dari Kota Ende ke timur hingga utara.

Makan leluhur

Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, kemudian para pengunjung, oleh mosalaki, ditawari pula untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama dengan para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, tari bersama para mosalaki tersebut dengan mengelilingi tugu batu.

”Peristiwa ini suatu kejutan bagi saya. Saya juga sangat beruntung karena saya tidak mengetahui sama sekali akan digelar ritual adat yang pertama kalinya di sini. Semula saya bermaksud berekreasi saja,” kata Philippe Cazaux, wisatawan asal Perancis, yang juga berprofesi sebagai guru di negaranya.

Sejumlah mosalaki mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur—selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Pasalnya, tahun 1996 seorang turis laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Pada akhir 2008 juga ditemukan tewas seorang warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, di danau warna hijau muda atau danau tempat arwah anak muda (Tiwu Nua Muri Koo Fai). Semua jenazah korban tetap tinggal di dalam danau karena sulitnya medan sehingga jenazah tidak dapat dievakuasi.

Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.

Tiga kawah

Di puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga kawah danau, selain Tiwu Nua Muri Koo Fai, adalah Tiwu Ata Polo yang kini berwarna hijau tua (sebelum Desember 2008 masih berwarna cokelat kehitaman), yang diyakini sebagai tempat berkumpul orang jahat. Danau ketiga, Tiwu Ata Mbupu, berwarna tua hijau kehitam-hitaman yang merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua.

Itu sebabnya masyarakat setempat menilai begitu sakral dan keramat areal puncak Gunung Kelimutu. Mereka juga tidak berani berbuat yang aneh- aneh atau sembrono di situ. Letak Danau Kelimutu sekitar 55 kilometer arah timur Kota Ende.

”Kegiatan ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ende sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku. Kini digelar upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin tiap tahun sekali dan tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina.

Fransiskus Lasa, Staf Ahli Bupati Ende Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, mengemukakan, ritual Pati Ka Ata Mata diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka dari sektor pariwisata.

Setiap suku selesai

Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Soebiantoro menyatakan, diharapkan Pati Ka Ata Mata diadakan setelah semua acara adat serupa di setiap suku selesai digelar sehingga upacara adat di Danau Kelimutu itu benar-benar sebagai rangkaian ritual puncak atau akhir.

Sementara itu, ketika melakukan kunjungan kerja ke Ende pada 10-16 Agustus, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Bakri mengharapkan ritual tersebut turut meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di sekitar Danau Kelimutu. Hal itu perlu difasilitasi secara serius oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat.

”Mereka harus melakukan komunikasi yang baik dengan para pengusaha biro perjalanan dan wisata serta hotel-hotel sehingga agenda tahunan ritual adat ini bisa turut dipromosikan ke luar. Warga sekitar kawasan juga perlu dibina sehingga mereka benar-benar dapat menerima, menyambut, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan,” kata Bakri.

Dia juga menyinggung keberadaan kebun hortikultura milik warga di sekitar kawasan Danau Kelimutu yang dapat dimanfaatkan sehingga wisatawan mancanegara selain melihat-lihat Danau Kelimutu juga dapat diarahkan untuk menikmati aneka buah dan sayuran milik warga.

”Kesenian setempat juga harus digalakkan, apakah itu seni tari maupun seni musik yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mengapa kesenian di Jawa atau Bali hingga kini tidak mati? Sebab, kesenian di kawasan itu dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakatnya,” kata Bakri.

Upacara adat yang digelar memang masih banyak terdapat kekurangan, salah satunya ketidaktepatan waktu pelaksanaan. Jadwal semula pukul 08.00, ketika masyarakat maupun wisatawan antusias memadati lokasi pada pagi itu, ternyata ritual baru digelar pukul 11.00.

Yang disayangkan pula, ritual di puncak gunung itu relatif singkat. Semestinya rangkaian upacara adat mulai dari pemotongan hewan kurban, memasak, hingga persiapan sesaji dapat dikemas menjadi satu rangkaian wisata budaya menarik yang dapat diikuti masyarakat luas.

Selain itu, segala atribut yang berhubungan dengan pakaian adat tradisional yang dikenakan mosalaki dalam ritual itu, seperti destar, sarung, dan baju dari kain tenun ikat tradisional, semestinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan menjualnya kepada wisatawan. Pihak Taman Nasional Kelimutu atau Pemkab Ende dapat memfasilitasi dengan menyediakan tempat penjualannya.


Samuel Oktora
Kamis, 10 September 2009 | 05:17 WIB

GEO POLITIK; Di Bawah Netanyahu, Hubungan Israel-UE Buruk

Kamis, 10 September 2009 | 03:28 WIB

Jerusalem, Rabu - Hubungan Israel dengan negara-negara anggota Uni Eropa cenderung semakin tegang saat Israel berada di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Ketegangan diplomatik dengan Swedia, keputusan Norwegia menarik investasi dari kontraktor pertahanan Israel, dan meningkatnya kecaman warga Eropa atas permukiman Israel di Tepi Barat membuat hubungan negara Yahudi itu dengan Eropa mencapai titik terburuk.

”Permusuhan telah mencapai tingkat ekstrem yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Ini bukanlah iklim ideal yang diinginkan Israel dan mitra-mitra dagang terbesarnya di Uni Eropa (UE),” kata analis Israel, Jonathan Spyer, Rabu (9/9).

Serangan Israel di Jalur Gaza pada Desember 2008 serta naiknya pemerintahan sayap kanan di Israel membuat semakin gencarnya kritik terhadap Israel di daratan Eropa. Padahal, UE adalah mitra dagang terbesar Israel. Sepertiga impor dan ekspor negara Yahudi itu berasal dari UE.

Permintaan Israel untuk peningkatan hubungan dagang dengan UE pun terkatung-katung. Seruan untuk memboikot Israel dan mencabut investasi dari perusahaan-perusahaan Israel semakin menguat. Puluhan ribu rakyat Eropa pun turun ke jalan- jalan dalam beberapa bulan terakhir untuk memprotes tindakan-tindakan Israel terhadap Palestina, khususnya di Gaza.

Bukan krisis

Pejabat Kementerian Luar Negeri Israel Itzhak Levanon, mantan duta besar di PBB Geneva, mengatakan tidak ada krisis dalam hubungan Israel-Eropa. ”Ada sejumlah suara datang dari sana maupun dari sini, tetapi saya tidak berani mengatakan ada semacam permusuhan politik terhadap Israel,” ujarnya.

Meskipun demikian, ketidaksenangan terhadap Israel memang nyata adanya. Inggris belum lama ini menarik kembali beberapa izin yang diberikan kepada perusahaan Inggris untuk menjual komponen-komponen senjata kepada Israel karena kekhawatiran digunakan menyerang Gaza.

Norwegia pun memutuskan menjual saham-sahamnya (divestasi) di Elbit System Ltd, perusahaan Israel yang menyediakan perlengkapan pengintaian untuk tembok pemisah antara Israel dan Tepi Barat.

Jan Egeland, yang membantu perundingan hingga tercapainya kesepakatan damai Oslo, mengatakan, aksi divestasi dan kritik terhadap Israel itu akan terus berkembang. ”Israel telah berubah dari underdog jadi adidaya militer lokal saat ini dan menguasai tetangganya yang lemah,” ujarnya. (AP/Reuters/OKI)

Remaja, Kultisme, dan Bom Bunuh Diri

Kita tersentak saat mengetahui pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Jakarta, bulan Juli lalu adalah remaja yang dalam kesehariannya bukan tergolong kelompok sangar. Mereka justru sering dikenal sebagai remaja yang baik dan khusyuk.

Belum reda kekagetan itu, akhir Agustus lalu (27/8/2009) bumi kembali berguncang, kali ini di Pakistan. Seorang remaja baru gede yang lugu meledakkan diri bersama kelompok militer Pakistan yang sedang menunggu beduk magrib. Bom bunuh diri.

Terorisme dan remaja

Jejak remaja memang mencari identitas diri. Untuk itu, mereka membutuhkan sarana ekspresi diri dan penerimaan dari lingkungan. Selanjutnya, mereka meretas jalan yang lebih realistis. Namun, tidak sedikit remaja yang kebingungan menemukan cara. Mereka nihil pengakuan positif.

Akhirnya mereka mudah terjerembab dalam kubangan kenakalan remaja dan obat-obatan. Namun, harus dipahami, kubangan ekstrem yang lain sedang menanti, ideologi hitam-putih. Hal-hal heroik dan kesetiaan yang absolut pada suatu ajaran atau orang (kultisme).

Remaja yang tak mampu menunjukkan potensinya, atau teralienasi dari komunitasnya, berada dalam risiko besar untuk menyimpang dari jejak normal. Para penjaja narkoba atau pencari bakat pencoleng siap merangkul mereka.

Namun, dalam jubah yang lebih mengesankan, pembawa ideologi-ideologi ekstrem juga mengintai mereka. Satanisme atau cultism, heavy metal music, fantasy games, merasuk membius remaja. Karena itu, teroris pun begitu mudah bertamu sebagai serigala berbulu domba.

Di tengah lingkungan yang tak memungkinkan remaja bebas berekspresi dan sepi dari pemandu yang patut diteladani, ditambah dunia pendidikan yang tak memberi ruang untuk merenung bahwa kesuksesan hidup tak sekadar bisa diraih dari bangku sekolah, remaja terus bertanya.

Ideologi dan kultisme

Di lain pihak, ada remaja-remaja yang sengaja terpinggirkan, baik karena kemiskinan, keterbelakangan, maupun terasing lantaran trauma sejarah. Pernahkah terpikirkan bagaimana jejak kehidupan anak-anak para teroris seperti trio Amrozi pada masa mendatang? Adakah mereka kelak mendapat pencerahan, atau justru meretas dendam sejarah?

Proses identifikasi terus bergulir, kecuali ada upaya-upaya positif. Juga, masih ingatkah kepada anak-cucu bekas pengikut Partai Komunis Indonesia atau Darul Islam, dan sebagainya? Mungkinkah mereka masih menggendong ”luka lama” dan mengendapkan ideologi orangtuanya diam-diam? Tak ada yang peduli. Ideologi tak akan mati.

Tidakkah pembentukan citra-diri anak-anak itu telah tercederai, bahkan dalam upayanya mendapatkan hak-hak kehidupan normal? Ditambah, beberapa remaja lain yang juga karena suatu alasan tumbuh dengan perasaan kosong, teralienasi, dan merasa tidak dicintai.

Pengembaraan identitas diri mereka bisa kesasar. Apalagi sifat remaja memang labil. Mereka rentan mengidap depresi, sekaligus segmen yang paling banyak melakukan bunuh diri. Saat ini, bunuh diri sudah menjadi penyebab kematian kedua pada remaja di seluruh dunia.

Pelaku bunuh diri?

Mungkinkah kelompok remaja itu berpotensi menjadi pelaku bom bunuh diri?

Curran (1989) menggambarkan sebagai ”sebuah lubang di tanah, di mana para remaja bisa terperosok ke dalamnya ketika mereka sedang mengembara dalam keputusasaannya, di tengah rasa marah dan kesendiriannya...”. Lubang jebakan itu adalah ajaran-ajaran yang menawarkan kekerasan, kebencian, dan balas dendam atas nama ideologi atau agama.

Mereka juga diintimidasi atas nama dosa dan rasa bersalah. Pemompa ajaran seperti ini sangat dipuja (cult) pengikutnya. Identitas diri remaja yang nihil mampu tergantikan oleh identitas kelompok dengan kesetiaan absolut pada ajaran. Pertanyaannya, mengapa lubang itu ada di situ dan mengapa para remaja ini berkelana sendirian berlangit kegelapan?

Mereka memang rentan direkrut menjadi pelaku bom bunuh diri. Celakanya, tidak seperti pola kamikaze bombers yang terjadi di Jepang saat Perang Dunia II di mana pengorbanan dan kesetiaan mereka kepada Kaisar tak menawarkan imbalan pribadi.

Sementara ”calon-calon pengantin” yang menjadi suicide bombers seperti diberitakan di Indonesia dan Pakistan bersentuhan dengan sistem nilai yang percaya bahwa melakukan tindakan nekat itu dianggap ibadah besar dan kelak akan dibalas dengan pahala berlimpah di akhirat (Haddad, 2004). Ada sebuah ganjaran personal yang menjanjikan. Persepsi yang kurang proporsional.

Menu ketidakpastian

Remaja dan pencarian jati dirinya seakan tanpa suara. Padahal, sesaat lagi merekalah yang menggenggam estafet kepemimpinan. Janganlah mereka banyak disuguhi menu ketidakpastian atau miskin harapan, bahkan sengaja dibiarkan mati sia-sia. Mengapa mereka tidak dipeluk kembali, diguyur rasa aman?

Senyawa dengan birunya nyala lilin di jendela seluruh dunia, tepat pukul delapan malam, hari Kamis ini, 10 September 2009, di markas besar PBB di New York diluncurkan sebuah semangat memerangi keputusasaan, yaitu ”Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia”. Upaya menyingkap kabut tebal yang mengambang di remang zaman.

Nalini Muhdi Psikiater, Pengajar di RSU Dr Sutomo-FK Unair; Pengurus PDSKJI Pusat


Kamis, 10 September 2009 | 05:13 WIB

Pertumbuhan dan Orang Miskin

Sejak beberapa tahun terakhir, pro-poor growth atau pertumbuhan yang berpihak kepada orang miskin menjadi strategi ekonomi terpenting bagi keterlibatan sosial (social inclusion) kelompok miskin.

Ramainya perdebatan terkait hal ini dipicu tulisan David Dollar dan Aart Kraay, Growth is Good for the Poor (2002). Dalam studinya, dua ekonom Bank Dunia ini menyimpulkan bahwa tanpa diduga, pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh besar dalam perang melawan kemiskinan global.

Menurut mereka, sejak 40 tahun terakhir, ternyata pertumbuhan ekonomi global berbanding lurus (satu banding satu) dengan kenaikan pendapatan kelompok miskin. Selain itu, sejak beberapa dekade terakhir ditemukan bahwa tiada tanda-tanda telah terjadi pelemahan pengaruh pertumbuhan atas pengurangan kemiskinan.

Mengapa berpihak orang miskin?

Dollar dan Kraay juga menguji pengaruh berbagai strategi kebijakan yang mengalokasikan porsi besar bagi belanja kesehatan dan pendidikan. Temuan mereka cukup mengejutkan. Ternyata, tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa strategi itu membawa dampak sistematis pemerataan penghasilan.

Dengan demikian, bisa saja muncul pertanyaan apakah konsep pro-poor growth sebenarnya dapat saja direduksi menjadi sekadar pro-growth?

Jawabannya tidak karena, menurut mereka, sekadar pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk memperbaiki kondisi kehidupan orang miskin.

Lalu, apa yang membuat pertumbuhan ekonomi menjadi berpihak kepada orang miskin? Sebuah gambaran cukup lengkap termaktub dalam kumpulan tulisan yang dipublikasikan Michael Krakowski (2004), Attacking Poverty, What Makes Growth Pro-Poor.

Di tengah beragamnya definisi pro-poor growth, Stephan Klasen memberi batasan jelas. Pertama, harus dipastikan bahwa kelompok miskin memperoleh keuntungan lebih dari pertumbuhan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Sebuah perbandingan lurus seperti diungkap Dollar dan Kray tidak masuk dalam kategori ini.

Kedua, diperlukan distribusi pendapatan dalam kelompok miskin itu sendiri. Mereka yang paling miskin perlu diprioritaskan.

Pengaruh pertumbuhan

Berbeda dengan Dollar dan Kraay yang melakukan studi secara global, ada temuan lain yang diperoleh dari studi di beberapa negara. Louise Lopez dan John Page, misalnya, menunjukkan pertumbuhan bisa berjalan paralel dengan pemerataan, atau sebaliknya memperbesar kesenjangan.

Dalam penelitian mereka di Kosta Rika, El Salvador, Nigeria, Panama, Senegal, dan Tanzania, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata berjalan paralel dengan menurunnya penghasilan orang miskin.

Sebuah posisi berseberangan ditunjukan Surjit Bhalla dalam buku Imagine There’s No Country-Poverty, Inequality, and Growth in the Era of Globalization (2002). Secara eksplisit, Bhalla mencari jawaban atas pertanyaan terkait dampak globalisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi penghasilan, dan kemiskinan.

Menurut dia, sepanjang 1980 hingga 2000, pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah mengurangi perbedaan penghasilan. Pertumbuhan per se, menurut dia, adalah pro poor. Berbeda dengan hitungan PBB, Bhalla mengatakan, tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang menargetkan pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015 sebenarnya telah tercapai tahun 2000.

Argumentasi Bhalla, tentu saja, tidak sesuai kenyataan. Meski demikian, cukup menarik karena ia menunjukkan beberapa kelemahan metodologi terkait ukuran-ukuran kemiskinan.

Hal ini seakan dijawab oleh sebuah penelitian di delapan negara, termasuk Indonesia. Dalam penelitian itu, Ravallion dan Chen mengembangkan sebuah alat Measuring Pro Poor Growth (2003) sebagai metode untuk meneliti pengaruh pertumbuhan terhadap pemerataan penghasilan. Secara teoretis pendekatan ini dianggap ideal, tetapi mensyaratkan tingginya kualitas data yang secara praktis sulit ditemukan di negara-negara berkembang.

Data naratif dan analisis

Karena itu, selain menggabungkan berbagai data ekonomi mikro dan makro, pemanfaatan data naratif dianggap sama pentingnya dengan analisis data kuantitatif. Lebih dari itu, perdebatan tentang pertumbuhan yang berpihak kepada orang miskin sebaiknya mencermati berbagai dimensi kemiskinan, tidak melulu berkutat pada kemiskinan penghasilan.

Pemahaman Amartya Sen (1999), misalnya, bahwa kemiskinan adalah kurangnya kesempatan bagi seseorang untuk secara mandiri memperbaiki kondisi hidupnya, perlu menjadi pertimbangan. Kesehatan yang buruk, konflik kekerasan, lemahnya tanggung jawab negara, serta buruknya kondisi lingkungan hidup adalah berbagai kondisi yang, menurut Sen, ikut membatasi kesempatan itu.

IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik, Co-Pemred Jurnal SosDem


Kamis, 10 September 2009 | 05:12 WIB

Rahasia Negara dan Kebebasan

Ada hal menarik dalam perdebatan RUU Rahasia Negara dan menjadi perhatian insan pers serta masyarakat sipil.

RUU Rahasia Negara memiliki landasan yaitu melindungi penggunaan informasi yang kelak akan digunakan pejabat publik. Landasannya sederhana, RUU Rahasia Negara merupakan pembatasan terhadap informasi yang berpengaruh terhadap keamanan dan kepentingan publik.

Logikanya, jika informasi cukup ”spesial”, informasi itu tidak dapat diakses cuma-cuma. Bagaimana jika, misalnya, rakyat menggunakan akses itu untuk kepentingan akademik? Jika pejabat publik tidak dapat menggunakannya, bukankah rakyat juga mengalami hal serupa? Hal ini akan menimbulkan polemik jika akses rakyat disamakan dengan pejabat. Menjadi lebih pelik lagi jika informasi yang digunakan rakyat, misalnya, juga dapat digunakan pejabat bersangkutan.

Dalam beberapa pasal dinyatakan, RUU Rahasia Negara melegalkan negara memonitor hampir seluruh informasi tentang aspek sosial, hukum, ekonomi, dan pertahanan yang termasuk peliputan terhadap gerak barang, informasi, dan aktivitas di dalamnya. Ini adalah anomali rezim demokratis yang seharusnya melegalkan prinsip dasar kebebasan dan keterbukaan.

Konsep ”panopticon”

Pada dekade 1880-an, Jeremy Bentham mengeluarkan panopticion, konsep penjara untuk mengontrol manusia dalam penjara. Panopticion didesain dengan membatasi kesadaran narapidana dalam beraktivitas dan memberi kemudahan akses bagi sipir penjara untuk mengintai penuh kegiatan narapidana tanpa sepengetahuan narapidana.

Kontrol dilakukan dengan kaca khusus, membuat sipir leluasa mengawasi narapidana. Meski demikian, narapidana tidak menyadari bahwa kegiatannya diobservasi sipir (Bentham: 1882).

Dalam analogi tipe pemerintahan, konsep panopticon menjadi ideal dengan ulah pemerintah atau institusi demokratis yang tidak memberi transparansi atau keterbukaan bagi rakyat untuk menikmati proses pemerintahan yang berjalan.

Dalam RUU Rahasia Negara terlihat upaya negara memonitor rakyat dalam keterbatasan akses dalam dimensi sosial atau ekonomi yang dianggap rahasia. Penerapannya memang tidak seekstrem konsep Bentham, tetapi tidak juga menjauhi konsep Bentham karena pembatasannya membuat negara menjadi katalisator bagi arus informasi yang berkembang biak. Dengan kata lain, memberi peluang bagi terciptanya ruang kebebasan dan keterbukaan untuk dimonopoli ”sipir” berkedok negara.

Demokrasi Indonesia

Prospek kebebasan dan keterbukaan di Indonesia masih berkutat pada masalah kualitas institusi demokrasi dan komitmen mekanisme demokrasi. YB Mangunwijaya pernah mengingatkan, unsur komunisme dapat berada dalam sistem demokrasi saat kontrol negara menjadi ketat dan tidak memungkinkan masyarakat ”menikmati” proses politik, sosial, dan ekonomi secara bebas (Mangunwijaya: 1997).

Setali tiga uang dengan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003) yang mengatakan, dilema antara korelasi kesuksesan institusi demokrasi dan demokratisasi adalah saat sejumlah institusi demokrasi dengan legitimasinya justru tidak menghadirkan prospek keterbukaan dan kebebasan yang positif.

Artinya, sejumlah partai politik, institusi, dan lembaga demokrasi kebanyakan tidak menjamin prospek kebebasan dan keterbukaan dalam berdemokrasi karena dalam beberapa kasus, tujuan ideal demokrasi menjadi tumpul saat berhadapan dengan negara monopolistik meski berstruktur demokratis.

India memberi contoh baik. Sebagai negara berkasta yang memberlakukan kebebasan informasi bagi rakyatnya dengan Right to Information Act, India tak saja menjamin rakyatnya untuk mengelola informasi, tetapi juga menanyakan masalah kritis mengenai kinerja tata pemerintahan (Newsweek, 15/6/2009).

Bagaimana Indonesia? Sejak masa kemerdekaan, beragam gerakan muncul silih berganti dari zaman Petisi 50, masyarakat reformasi, masyarakat korban lumpur Lapindo hingga masyarakat korban pemilu, serta sejumlah kelompok lain, yang muncul sebagai respons atas kezaliman penguasa terhadap kebebasan dan keterbukaan. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan.

Di balik umur proses transisi demokrasi yang mulai matang, muncul keresahan dalam perkembangan kebebasan dan keterbukaan. Salah satunya adalah kemunculan RUU Rahasia Negara yang tidak saja bersifat politis, tetapi menjadi masalah serius ketika pada saat yang sama rakyat menghasilkan banyak pertanyaan terkait isu penegakan hukum, politik, keamanan, ekonomi serta transparansi birokrasi yang kian menghangat dan pada saat yang sama negara menghasilkan produk RUU yang berpotensi mengaburkan kondisi nyata yang ada.

ARIF WICAKSONO Analis Sosial-Politik; Peminat Studi Demokrasi di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI
Kamis, 10 September 2009 | 05:11 WIB

POLITIK; Oposisi atau Koalisi?

Pemilu Presiden 2009 telah usai, dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono meraih suara terbanyak. Sesuai dengan asas demokrasi, Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014 adalah SBY dan Boediono. Heru Lelono

Sekali lagi atas nama demokrasi, SBY-Boediono adalah pemimpin negeri ini periode 2009-2014. Sesuai dengan amanah rakyat yang telah diemban, pasangan ini harus memiliki perangkat yang dapat membantu mereka menjalankan tugas. Dalam memilih pembantunya, pertimbangan utamanya adalah integritas, kapabilitas, dan loyalitas kerja terhadap kebijakan dan etos kerja SBY sebagai presiden.

Persis sama dengan latar belakang pilihan SBY terhadap wakil presiden terpilih, Boediono. Perjalanan sebuah organisasi pasti akan terwarnai oleh cara, gaya, atau karakter pemimpinnya. Pemerintah adalah sebuah organisasi. Jadi, sebuah kewajaran Pemerintah RI 2009-2014 akan terwarnai oleh gaya atau karakter kepemimpinan SBY.

Dalam pemilu presiden lalu, dasar pilihan rakyat terhadap SBY tidak terlepas dari pilihan terhadap karakter pribadinya. Menurut saya, sulit terbayangkan jika pemerintah ke depan ini tidak berwarna SBY, bahkan buram, luntur, karena terpengaruh oleh tarik-menarik kepentingan.

Kerja sama partai politik

Di mata rakyat, pemerintah maupun DPR secara manfaat bagi pembangunan tidak ada bedanya. Keduanya dianggap rakyat sebagai penyelenggara negara. Masuk akal karena hampir tidak mungkin pemerintah bisa menjalankan kebijakannya tanpa memiliki anggaran, sedangkan anggaran yang dibutuhkan tidak akan didapatkan bila APBN tidak disetujui DPR.

Sekali lagi, di mata rakyat, pemerintah dan DPR harus bisa dan mampu bekerja sama dengan baik. Masalahnya, kita terlalu sering mempermudah dan menyederhanakan istilah. Bekerja sama diartikan secara sempit sebagai ”segalanya setuju”. Jika sedikit atau banyak berbeda, selalu dikatakan ”oposisi”. Anggota DPR memang berasal dari partai politik, tetapi mereka juga adalah wakil rakyat.

Bekerja sama memang harus memiliki dan dilandasi pada kesamaan tujuan yang akan dicapai. Sebagai pihak yang sama-sama dipilih rakyat, pemerintah, dalam hal ini presiden, dan DPR tentu sudah memiliki kesamaan tujuan, yaitu menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa. Bahkan tujuan itu sebenarnya lebih bermakna sebagai kewajiban.

Bekerja sama tidak harus selalu setuju, tetapi tidak pula harus selalu berbeda. Bila setuju, harus didasari pada kesepakatan bahwa apa yang akan diputuskan benar-benar bermanfaat bagi seluruh rakyat. Berbeda pun bisa bermanfaat asal berdasarkan argumentasi yang jujur, bertanggung jawab, dan teruji alasannya. Bahkan, sebenarnya perbedaan yang ada dapat melahirkan berbagai alternatif sebelum diambil pilihan terbaik. Namun, pada akhirnya, setuju atau berbeda dalam sebuah proses, keputusan yang diambil harus menjadi keputusan bulat dan didukung bersama. Semua demi tujuan yang sama, yaitu kepentingan rakyat.

Menyusun kabinet

Masa-masa seorang presiden terpilih menyusun kabinet dan memilih menteri selalu menjadi sumber berita menarik. Banyak muncul analis dengan ragam analisisnya. Ada yang mempermasalahkan asal usul partai calon menteri, ada yang mempermasalahkan umur, ada yang mempermasalahkan jender, ada yang mempermasalahkan rekam jejak kinerja, dan banyak lagi.

Ratusan bahasan yang membanjiri media saat ini sering dinilai benar. Memang demikian adanya karena kebenaran selalu bergantung kepada faktor siapa dan bagaimana cara menilainya.

Dari semua itu, yang paling menonjol adalah berita hubungan antara Partai Demokrat, PDI-P, dan Golkar, tiga partai besar yang dalam pemilu presiden lalu saling berkompetisi. Pantaskah PDI-P dan Golkar masuk kabinet? Bahkan dari PDI-P, Taufik Kiemas menyatakan, ”Sedang berkuasa, kalah. Saat beroposisi, juga kalah. Apa salahnya sekarang berkoalisi.”

Bukankah sesuai dengan undang-undang seorang presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara? Personel kabinet pasti pilihan presiden berdasarkan integritas, kapabilitas, dan loyalitas terhadap presiden. Itulah mengapa memilih menteri adalah hak prerogatif presiden. Karena itu, untuk dapat menjalankan amanah rakyat dengan benar, berilah kesempatan seorang presiden terpilih untuk bekerja dan mempertimbangkan dengan tenang pilihannya terhadap punggawa kabinetnya mendatang. Jangan ada yang menjadi calo, jangan ada partai politik yang saling menekan, sehalus apa pun. Siapa pun menterinya, dari mana pun datangnya, akhirnya yang mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah kepada rakyat tetap presiden.

Bekerja sama tidak harus selalu sama dan setuju, juga tidak harus selalu beda, apalagi asal beda. Jika kita menempatkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara sebagai tujuan serta di atas kepentingan masing-masing yang sempit, menjadi oposisi atau berkoalisi sama-sama bernilai. Bagi rakyat, yang penting elite penyelenggara negara, apakah itu DPR, DPRD, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lainnya, mau dan mampu memperjuangkan kesejahteraan. Bekerja keras dan jujur bagi rakyat itu yang penting. Beroposisi atau berkoalisi, sama saja.

Heru Lelono Staf Khusus Presiden
Kamis, 10 September 2009 | 05:20 WIB

08 September 2009

Umat Islam Perlu Perkuat Iptek; Peradaban Islam adalah Peradaban Ilmiah

Presiden Susilo BambangYudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla hadir dalam peringatan Nuzulul Quran di Istana KepresidenanBogor, Jawa Barat, Senin (7/9) malam. Hadir pula dalam acara tersebut Ny Ani Yudhoyono, Menteri Agama M Maftuh Basyuni dan Ny Wiwik Basyuni, Menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan pejabat negara lainnya, serta undangan.

Bogor - Peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang perlu menjadi perhatian umat Islam. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi itulah fungsi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dilakukan.

Pesan itu pula yang terkandung pada ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan hal itu dalam peringatan Nuzulul Quran tingkat nasional di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (7/9).

Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat Islam di dalam Al Quran adalah perintah untuk membaca, meneliti, dan melakukan observasi.

”Yang harus dibaca adalah ayat-ayat yang tertulis di kitab suci maupun fenomena ciptaan Allah yang tersebar di seluruh jagat raya,” ujar Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Umar Anggara Jenie yang memberikan ceramah pada acara peringatan ini.

Presiden menyebutkan, perintah membaca adalah awal dan inti dari proses pembelajaran. Aktivitas membaca itu mendasari proses pembangunan manusia yang berpengetahuan dan berketuhanan. Membaca atas nama Tuhan, seperti yang disebutkan ayat itu, menekankan pentingnya dicapai kecerdasan intelektual yang sejalan dengan kecerdasan spiritual.

”Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam adalah peradaban ilmiah, sarat dengan pemikiran intelektual, inovasi teknologi, serta pengabdian kepada kemanusiaan dan kemasyarakatan,” ujar Presiden.

Sebagai bangsa dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, masyarakat Indonesia juga mewarisi peradaban Barat, Timur, dan Islam. ”Saya berharap kalangan intelektual Muslim dapat mengaplikasikan penguasaan ilmu untuk berkontribusi bagi kemaslahatan umat manusia,” kata Presiden Yudhoyono.

Presiden juga mengingatkan, Al Quran memperkuat eksistensi keberagaman perbedaan tidak perlu dipertentangkan. Sebaliknya, perbedaan justru melahirkan berbagai pandangan untuk mencapai kesempurnaan.

Turut hadir dalam acara ini, Wakil Presiden M Jusuf Kalla, pemimpin lembaga tinggi negara, sejumlah menteri, dan duta besar negara-negara sahabat. Peringatan tahun ini bertema ”Dengan Semangat Nuzul Al Quran, Kita Bangun Kapasitas Sumber Daya Manusia Indonesia dalam Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Meningkatkan Daya Saing Nasional”.

Dalam ceramahnya, Jenie menyebutkan, penerapan atas perintah Al Quran untuk ”membaca” itu telah mengantarkan Islam mencapai peradaban tinggi pada abad ke-8-11. Peradaban Islam di Andalusia dan Baghdad itu telah memberikan pencerahan kepada bangsa-bangsa di Eropa sehingga memunculkan kebangkitan kembali peradaban Barat yang dikenal sebagai Renaisans. (DAY)
Presiden Susilo BambangYudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla hadir dalam peringatan Nuzulul Quran di Istana KepresidenanBogor, Jawa Barat, Senin (7/9) malam. Hadir pula dalam acara tersebut Ny Ani Yudhoyono, Menteri Agama M Maftuh Basyuni dan Ny Wiwik Basyuni, Menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan pejabat negara lainnya, serta undangan.

Muslim Tiongkok dalam Diplomasi Zhou En Lai

Iwan Santosa

Terlupakan dari sejarah, pada tahun 1950-an Muslim Tiongkok pernah berperan penting dalam diplomasi Asia-Afrika, di Bandung dan dunia ketiga. Serombongan mahasiswa-mahasiswi Tiongkok sangat aktif terlibat dalam Konferensi Asia-Afrika di Gedung Merdeka, Bandung, tahun 1955.

Wartawan senior Mahbub Djunaidi mencatat, seorang mahasiswi Muslim Tiongkok, seorang Uighur, bernama Amankuli Wo Cheng Mu meninggalkan kesan mendalam karena cantik dan luwes bergaul.

”Dia cantik luar biasa. Rambut panjang berkepang melebihi pinggul, memakai gaun warna kulit harimau Benggali. Sehingga Bandung, yang gudangnya mojang rupawan, ternganga-nganga melihatnya. Saya masih menyimpan tanda tangan dan namanya yang ditulis dengan huruf Arab dan China,” ujar Mahbub yang aktif di Nahdlatul Ulama (NU).

Lebih lanjut Mahbub mengenang, para pemimpin Pemuda Ansor yang mengadakan jamuan makan malam untuk segenap delegasi Asia-Afrika di lobi Hotel Savoy Homann akan sulit menelan makanan jika bertatap mata dengan Amankuli Wo Cheng Mu.

Keberadaan Amankuli dan kawan-kawan diawali dengan kemenangan Partai Komunis China (Gong Chan Dang) atas kelompok Guo Min Dang yang lari ke Taiwan tahun 1949. Sejumlah tokoh Muslim Tiongkok pada tanggal 27 Juli 1952 pun berinisiatif membentuk Asosiasi Muslim Tiongkok.

Para tokoh di antaranya Bao’erhan (Burhan) Shaxidi, Liu Geping, Saifuding Aizezi (Saifudin Aziz), Da Pusheng, dan Ma Jian. Dalam buku Islam in China karya Mi Shoujiang dan You Jia dicatat, Muslim Tiongkok pun mengadakan konferensi pertama tanggal 11 Mei 1953 di Beijing yang dihadiri 111 wakil.

Seiring kebijakan persaudaraan Asia-Afrika menentang kolonialisme, Pemerintah Tiongkok pun mengirim misi diplomatik pertama tahun 1952. Jalan panjang ditempuh mereka dari Beijing, Hongkong, New Delhi.

Pada Konferensi Asia-Afrika, Imam Da Pusheng, Wakil Ketua Asosiasi Muslim Tiongkok, menjadi Wakil Ketua Delegasi Tiongkok sebagai salah seorang penasihat keagamaan Perdana Menteri Zhou En Lai. Mereka menjelaskan kebebasan beragama di Tiongkok pasca-1949.

Zhou En Lai bertemu dengan Raja Faisal dari Arab Saudi dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Kesepakatan dicapai untuk mengirim jemaah haji Tiongkok pertama ke Tanah Suci. Walhasil, Imam Da Pusheng bersama 19 Muslim Tiongkok pun berhaji pada Agustus 1955.

Jemaah haji pertama itu mendapat perhatian luas negara-negara Islam. Delegasi kedua pun menyusul tahun 1956, sebanyak 37 anggota jemaah dipimpin Bao’erhan kembali tiba di Mekkah dan Madinah disambut langsung Raja Faisal. Seluruh jemaah diberi kesempatan mencium Hajar Aswad di Kabah.

Bahkan Bao’erhan diundang menghadiri pembersihan Kabah dan mendapat kenangan langka sepotong Kizwah (kain pembungkus Kabah).

Islam pun bertumbuh di Tiongkok. Pada tahun 1980-an tercatat ada 2.800 masjid di Tiongkok yang bertambah menjadi 35.000 masjid saat ini. Rasio masjid dengan umat adalah 1:600.

Situasi normal dan Muslim Tiongkok terus berkembang hingga insiden kerusuhan di Xinjiang terjadi. Pihak yang tidak tahu situasi Tiongkok dan informasi yang sebagian besar berasal dari Barat tidak banyak mengungkap fakta adanya kesenjangan pembangunan Tiongkok.

Pembangunan pesat di Tiongkok yang berkembang di pesisir timur meninggalkan kawasan tengah dan barat, seperti Provinsi Xinjiang tempat penduduk Muslim hidup dari suku Uighur. Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta Wang Yan membenarkan adanya kesenjangan ekonomi di Tiongkok.

”Pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk kawasan tengah dan barat memang menjadi tantangan bagi pemerintah. Tidak benar kalau ada persoalan antaretnis karena masalah agama yang dijamin kebebasannya di Tiongkok,” kata Wang Yang.

Mengingat keberhasilan diplomasi Zhou En Lai bersama tokoh Muslim Tiongkok di tahun 1950-an, kecil kemungkinan jika Tiongkok mengabaikan hubungan baik dengan negara-negara Islam dan kemajuan masyarakat Muslim di negara berpenduduk 1,3 miliar itu.

07 September 2009

PERBATASAN SELATAN PAPUA; Merebut Hati Rakyat


Pasukan Batalyon Infanteri 752/VYS Sorong selaku pasukan pengawas perbatasan di selatan Papua kerap melaksanakan tugas operasi di dekat 17 tugu perbatasan Papua-Papua Niugini agar posisi tugu tersebut tetap berada di tempatnya.



Korano Nicolash LMS

Perbatasan kerap menjadi kawasan yang penuh arti mengingat perbatasan akan bercerita sekaligus merepresentasikan bagaimana kemajuan dan perhatian dari pemerintah pusat untuk memberikan pengayoman kepada masyarakat perbatasan yang jauh dari pusat pemerintahan.

Salah satu perbatasan yang mampu memberikan gambaran kemajuan atau keberhasilan bangsa ini berada di wilayah selatan Provinsi Papua, yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini.

Secara keseluruhan jumlah tugu perbatasan yang tersebar dari wilayah utara Papua hingga ke selatan mencapai 52 buah, yang tersebar di sekitar 760 kilometer perbatasan Papua-Papua Niugini.

Jumlah tugu perbatasan yang berada di wilayah selatan Papua hanya 17 buah, yang terdapat di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digul—hasil pemekaran Kabupaten Merauke sebagai kabupaten induknya dulu.

Tentu dengan pembagian Pemerintah Belanda dan Inggris atas Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar di dunia ini, hampir semua masyarakat adat yang mendiami kawasan perbatasan Papua-Papua Niugini terpisah oleh tatanan kenegaraan.

Seperti masyarakat adat Muyu yang mendiami kawasan Mindiptana, Waropko, hingga Boven Digul, serta masyarakat adat Marind di sepanjang perbatasan Bupul hingga Sota dan Kondo yang berada di wilayah selatan Papua.

Saat ini dari Mindiptana-Waropko-Boven Digul-Bupul-Erambu-Sota hingga Merauke sudah ada jalan sekalipun masih berbadan tanah merah yang sedikit ditaburi semen, dengan jarak yang mencapai sekitar 550 kilometer. Jalan tersebut tidak bisa digunakan pada musim hujan.

Pos pengawasan wilayah perbatasan Papua-Papua Niugini yang dilaksanakan TNI dimulai dari Sota hingga ke Mindiptana, yang jaraknya sekitar 500 kilometer. Jumlah pos pengamanan TNI itu saat ini lebih dari 20 pos, yang dimulai dari Kondo, Yanggandur, Sota, hingga Bupul.

Dari pandangan TNI, kawasan selatan Papua ini masih termasuk kategori rawan gangguan keamanan, yakni dari kelompok yang mereka namakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Itu sebabnya pelaksanaan tugas penjagaan keamanan di wilayah selatan Papua ini kadang dirasakan tidak memberikan rasa merdeka kepada masyarakat adat setempat.

”Bagaimana mo rasa merdeka kalau setiap kali kitorang mo ke Merauke saja harus lapor di lebih dari 15 pos. Belum lagi pulangnya. Di pos itu bukan sekadar lapor saja, tapi nanti dong tanya lagi, mo bikin apa di Merauke. Mo jual apa, mo beli apa,” kata Harry Woersok, Sekretaris Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, mengutip sejumlah keluhan warga perbatasan yang ditemui.

Itu sebabnya, tambah Harry, masyarakat Merauke sempat kaget ketika ada seseorang yang bernama William Onde dikatakan sebagai pemimpin OPM di wilayah selatan Papua. Melihat namanya memang orang itu bukan berasal dari masyarakat adat setempat.

”Kagetnya masyarakat karena orang itu tempat tinggalnya di depan salah satu Pos Kostrad, yang terdapat di dalam kawasan yang sudah diserahkan kepada perusahaan Korindo untuk perkebunan kelapa sawit,” ungkapnya.

Namun, beberapa waktu lalu, lanjut Harry, ”Kami dengar orang itu sudah mati dalam kondisi mengenaskan, dengan meninggalkan utang di bar-bar dan sejumlah rumah makan yang ada di Kota Merauke.”

Anggota TNI

Suasana ketegangan akibat banyaknya jumlah anggota TNI itu tidak hanya dirasakan warga transmigrasi lokal, tetapi juga transmigran yang berada di Sota. Hanya mungkin cara mengungkapkannya yang berbeda.

”Tapi betul, kok, Mas. Di sini sekarang jauh lebih aman. Sebab, mau tentara dari satuan mana saja pasti ada. Mau Kopassus, ada. Kostrad, ada. Tentara reguler juga ada. Apalagi polisi, ada. Brimob juga ada. Pokoknya jumlahnya sudah lebih banyak dari warga Sota. Makanya sekarang kami bisa tidur tenang,” kata Ny Mulyo yang tinggal di Jalur III, kawasan Transmigrasi Sota, dengan nada yang berbeda.

Namun, saat ini kondisi tegang yang tercipta selama pelaksanaan pengamanan perbatasan di selatan Papua tersebut sudah semakin terkikis, bahkan bisa dikatakan sudah jauh menurun. ”Sebab, yang melakukan pengawasan itu satuan dari Papua sendiri, yakni Batalyon Infanteri 752/VYS (Vira Yudha Sakti) dari Sorong,” kata Urbanus Bohoji, warga transmigran lokal Sota.

Batalyon Infanteri 752/VYS berkekuatan 650 personel yang menempati 24 pos yang tersebar dari Kondo hingga Pos Kali Wanggo. Setiap pos diperkuat 22 personel, kecuali di Pos Kali Wanggo, Pos Sota, dan Pos Nowari yang jauh lebih besar anggotanya.

”Dong dari Papua sini, jadi dong tau sedikit tong pu budaya. Makanya sekarang biar pos banyak, tapi torang tara perlu lapor di semua pos, macam dulu. Sekarang dong juga tidak tanya tong mo bikin apa. Paling dong cuma tanya tong mo pi mana,” kata Frans Kukpit, juga dari Sota.

Hal serupa disampaikan Geradus Murip, warga Desa Erambu, yang katanya termasuk daerah merah dalam peta TNI. ”Sekarang tong paling lapor di Pos Kali Wanggo saja,” kata Geradus yang membonceng kedua anak dan istrinya, Lenda Tahapari, guru di Erambu, menuju Merauke.

Pusat pengamanan

Berbeda dengan satuan sebelumnya, Batalyon Infanteri 752/VYS dalam melaksanakan tugasnya lebih banyak memusatkan pengamanan pada tugu-tugu perbatasan yang jumlahnya mencapai 17 tugu itu.

”Karena itu, sedikit sekali hubungan kami dengan masyarakat adat. Kalaupun ada, hubungan kami lebih banyak untuk membantu masyarakat. Sejauh yang bisa kami berikan, seperti bantuan angkutan atau bahan makanan. Itu pun kalau ada kegiatan gereja atau pesta adat,” kata Letnan Kolonel Inf Abdurrahman, Danyon 752/VYS, yang didampingi Kapten Eko dan Kapten Dwi dari Penerangan Batalyon Infanteri 752/VYS.

Pastor Kees de Roou MSC yang sudah bertugas puluhan tahun di pedalaman Mindiptana dan Boven Digul ikut merasakan hal itu. ”Saya tiap minggu pasti turun ke Merauke untuk urus masyarakat adat punya hasil kebun karet. Jadi rasa sekali perbedaan itu,” ucapnya.

Tentu kalau TNI bertugas sesuai dengan fungsinya, yakni mengamankan tugu perbatasan agar tetap pada tempatnya, masyarakat, khususnya masyarakat adat perbatasan di selatan Papua, akan merasakan arti kehadiran mereka.

November nanti Batalyon Infanteri 752/VYS akan meninggalkan perbatasan selatan Papua-Papua Niugini. Mudah-mudahan penggantinya mampu meneruskan apa yang sudah dicapai mereka, mencuri hati masyarakat adat perbatasan.

Bukannya malah membuat perlawanan baru....

PROBLEM PERBATASAN; Birokrasi Papua, "Ada Ka Tra Da"?

Menjelang pukul 12.00 WIT, ratusan siswa SD Inpres Kwamki Baru II, Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, justru baru tiba di sekolah. Halaman sekolah yang luasnya hanya seukuran separuh lapangan sepak bola itu begitu padat karena ratusan siswa lainnya justru bersiap pulang.



”Kami punya 1.971 siswa, tetapi hanya memiliki 12 ruang kelas,” kata Kepala Sekolah SD Inpres Kwamki Baru II Lukas Berkat, Rabu (12/8). Bertahun-tahun sekolah yang dekat dengan pusat Kota Timika itu selalu kelebihan murid. Tahun 2008, jumlah siswa sudah 1.624 orang dan tahun ini jumlahnya membengkak menjadi 1.971 orang. Padahal, sekolah itu hanya punya 12 ruang kelas, 30 guru tetap, dan sekitar 30 guru honorarium.

”Kami memiliki 34 rombongan belajar, yang terbagi dalam dua pul. Pul A terdiri dari 17 rombongan belajar yang masuk pagi, sementara pul B terdiri dari 17 rombongan belajar yang masuk sore. Karena kelas hanya 12, siswa kelas I dan II di masing-masing pul harus masuk bergantian. Siswa kelas III, IV, V, dan VI masuk pada waktu yang sama, tetapi karena digabung-gabung, satu rombongan belajar jumlah muridnya bisa sampai 70-an siswa,” kata Lukas.

Lukas sudah mengusulkan agar rombongan belajar pul B dijadikan SD Inpres Kwamki Baru III. ”Bahkan, kami sudah menyepakati siapa Kepala Sekolah SD Inpres Kwamki Baru III. Gurunya pun sudah kami bagi dua. Usul itu kabarnya sudah disetujui, tetapi secara administratif saya belum melihat ada surat registrasi SD Inpres Kwamki Baru III. Saya juga belum tahu di mana gedung sekolah SD Inpres Kwamki Baru III nanti akan dibangun. Ini memang masalah sulit karena menurut data PGRI Kabupaten Mimika kekurangan sedikitnya 500 guru SD,” ujar Lukas yang juga Ketua I Pengurus Daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Mimika.

Kelalaian

Apa yang terjadi di SD Inpres Kwamki Baru II—sekolah yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika—hanyalah potret kecil kelalaian aparatur negara mengurus rakyat di Papua.

Data Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua menunjukkan, hingga awal 2008 sejumlah kabupaten memiliki angka partisipasi sekolah dasar di bawah 70 persen. Kabupaten itu antara lain Sarmi (69,32 persen), Supiori (67,98 persen), Mimika (66,72 persen), Puncak Jaya (65,53 persen), Asmat (57,93 persen), Mappi (55,76 persen), Yahukimo (53,52 persen), Tolikara (48,61 persen), dan Pegunungan Bintang (44,94 persen).

Karakteristik demografi Papua yang penduduknya terserak dalam banyak kelompok kecil yang saling berjauhan selalu menjadi tantangan pelayanan publik di Papua. Banyak kampung yang jauh, terpencil, dan sulit dijangkau. Badan Pusat Statistik Papua tahun 2007 mencatat, dari 2.442 desa di Papua, 1.254 desa berada di lokasi terpencil, dengan jarak pasar terdekat lebih dari 25 kilometer. Hanya 734 desa yang bisa diakses lewat jalan darat memakai kendaraan roda empat. Pelayan publik di Papua mahal.

Sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otonomi Khusus) berlaku, pemerintah pusat selama 8 tahun terakhir telah menggelontorkan Rp 16,6 triliun bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua (total Rp 17,8 triliun jika digabung dengan dana otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat 2009). UU Otonomi Khusus mengamanatkan dana itu digunakan memperbesar dukungan anggaran bagi penyelenggaraan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Mandek

Direktur Eksekutif Institute for Civil Strengthening Papua Budi Setyanto menyebutkan total dana otonomi khusus, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana perimbangan yang diterima pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Papua pada 2009 sekitar Rp 19 triliun. ”Banyak dana masuk ke Papua, tetapi banyak salah pengelolaan dana. Baik dana otonomi khusus, DAU, maupun DAK tidak efektif,” kata Budi.



Salah satu pokok masalahnya adalah mandeknya koordinasi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. ”Koordinasi antara pusat dengan kabupaten dan provinsi pun mandek. Itu menyebabkan pemborosan anggaran, baik yang dikorupsi maupun yang tidak efektif. Yang lebih disayangkan lagi, kalau dirata-rata, hanya sekitar 30 persen anggaran publik yang digunakan untuk hal yang bersentuhan langsung dengan publik. Sisanya kebanyakan terserap untuk membiayai birokrasi,” kata Budi.

Di luar itu, lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan lembaga legislatif memperparah persoalan. Ketua DPRD Mimika Yopi Kilangin mengungkapkan, dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Mimika, Komisi C DPRD dan manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika sepakat menganggarkan Rp 4 miliar dana pengadaan obat.

”Waktu itu, baik Komisi C maupun manajemen RSUD mengira kesepakatan itu akan termuat dalam APBD. Ternyata dalam dokumen APBD yang disahkan, anggaran itu tidak tercantum dan RSUD tidak bisa membeli obat yang dibutuhkan. DPRD Mimika sudah memutuskan RSUD mendapat tambahan kekurangan anggaran itu, dan anggaran itu akan dicantumkan dalam Perubahan Anggaran Keuangan 2009. Karena mendesak, anggaran itu bisa dicantumkan sekarang sebelum pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan,” kata Kilangin.

Lemah

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Jayapura, Pastor Neles Tebay Pr menilai lemahnya penyelenggaraan pelayanan publik di tanah Papua dipengaruhi perubahan orientasi kerja aparatur. ”Dulu birokrat orang Papua memiliki mentalitas sebagai pengabdi masyarakat, ingin memajukan bangsanya. Sekarang aparatur berorientasi kepada uang. Iklim kerja birokrasi sekarang adalah proyek. Hanya bekerja jika ada proyek dan berhenti bekerja setelah proyek selesai,” kata Tebay.



Lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah diperparah maraknya pemekaran daerah. ”Sebelum pemekaran, pemerintah kabupaten induk sudah kekurangan orang berkompeten. Kabupaten pemekaran memiliki banyak lowongan jabatan yang harus diisi, tetapi tidak ada orang yang kompeten. Sekarang banyak camat di Papua yang berlatar belakang pendidikan guru. Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan justru memburuk,” kata Tebay.

Sayangnya, pemekaran masih menjadi komoditas politik yang laku untuk mewujudkan cita-cita Papua yang lebih baik. DPRD dan Pemerintah Kabupaten Mimika, misalnya, pada 2009 menyisihkan Rp 200 miliar dari total Rp 1,3 triliun APBD mereka untuk membiayai proses pembentukan Provinsi Papua Tengah.

”Pemekaran memang bukan hanya untuk Mimika, tetapi kami ingin Timika nantinya menjadi ibu kota provinsi itu. Karena itu, Mimika harus proaktif,” kata Kilangin beralasan.

Padahal, Papua justru sangat membutuhkan birokrasi yang kuat dan efektif, yang jelas untuk mengantarkan masyarakat tradisional subsisten memperbaiki taraf hidupnya dan selamat dalam lompatan modernisasi. Lemahnya birokrasi, juga politik anggaran publik yang belum berpihak kepada rakyat, membuat Papua jalan di tempat.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua menyebutkan, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Papua pada Maret 2009 sebesar 760.000 jiwa (37,53 persen). Adapun penduduk miskin pada Maret 2008 berjumlah 733.000 jiwa. Sejak otonomi khusus diberlakukan, angka kemiskinan berfluktuasi 37 hingga 42 persen. Indeks Pembangunan Manusia di Papua hingga 2007 tetap yang terendah di Indonesia, hanya 63,41.

Lalu, di mana birokrasi yang mahal itu? Mereka ada, tetapi seperti tiada. Penggelontoran uang memang tidak selamanya menyelesaikan masalah di Papua. Jika bangsa ini masih ingin mencuri hati orang Papua, butuh upaya lebih dari sekadar menggelontor uang lalu malas tahu.

Kalau tong malas tau, orang Papua juga bisa malas tau to?

oleh Aryo Wisanggeni Genthong