26 November 2009

Kultur Komunikasi Jawa

Akhirnya Presiden Yudhoyono menyampaikan sikap terhadap rekomendasi Tim 8 dalam proses hukum pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit-Chandra. Intinya, kasus itu tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam benak masyarakat, ini berarti Presiden memberikan sinyal agar Polri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan kejaksaan menerbitkan surat keputusan pemberhentian penuntutan (SKPP). Sikap itu mendapat perlawanan. Di lain pihak, sikap untuk menyelesaikan kasus di luar pengadilan—SP3 dan SKKP—merupakan hal wajar.

Kultur komunikasi

Sikap Presiden yang dinilai sebagian warga sebagai tidak tegas itu justru merefleksikan ketegasan Presiden untuk tidak mengintervensi proses penegakan hukum, terutama dalam kasus Bibit-Chandra. Konsisten dengannya, maka dalam konteks pro-kontra masyarakat atas sikap Presiden, disarankan agar para pihak tidak melihat, membaca, atau mendengar pernyataan Presiden secara sepotong-sepotong.

Mengapa? Jauh hari sebelumnya, juga sebagai introduksi pernyataan resminya, berulang kali Presiden menyatakan, sebenarnya lebih suka menyerahkan penyelesaian kasus itu lewat proses hukum. Tetapi, setelah mempertimbangkan aspek sosial di luar hukum—khususnya opini publik—terbuka akses konflik horizontal di masyarakat, kepatutan, pertimbangan kemanfaatan dibanding kemudaratan, akhirnya Presiden memutuskan memilih penyelesaian di luar pengadilan.
Atas sikap Presiden, sebaiknya kita memahami kultur komunikasi Jawa. Presiden adalah warga negara Indonesia yang berasal dari Jawa. Karena itu, amat wajar, Presiden terpengaruh kultur lingkungan sosial terdepan, terutama dalam berkomunikasi dengan seluruh bangsanya.

Dalam kultur komunikasi Jawa, ada kecenderungan untuk tidak mempertentangkan konsep dan empirisme negara hukum klasik dengan negara hukum modern, terutama dalam aksentuasi peran negara dalam kehidupan bernegara, lebih khusus dalam ranah komunikasi.

Studi negara hukum klasik memberikan gambaran betapa komunikasi publik dipengaruhi secara ketat oleh peran negara, sebagai ”penjaga malam”, agar ”rakyatnya bisa tidur nyenyak, dan bermimpi indah”. Kultur komunikasi Jawa memprioritaskan pemberian rasa aman buat (komunikator), dan penerima (komunikan), secara setara dan berimbang kendati kepentingan negara menjadi prioritas utama.

Kultur komunikasi Jawa cenderung membatasi peran komunikan (publik) jika kepentingan negara dibutuhkan. Karena itu, tidak mengherankan jika sikap resmi Presiden mengundang pro-kontra. Yang jelas, niat baiknya adalah tidak melakukan intervensi dalam penegakan hukum karena dinilai akan merugikan negara dan rakyat.
Kebebasan individu dalam konteks kultur komunikasi Jawa bukan ditiadakan. Kebebasan individu dalam kultur komunikasi Jawa diberikan, sebatas kebebasan itu benar-benar mampu digunakan untuk mengekspresikan sebesar-besarnya kepentingan komunitas.

Ruang publik

Kultur komunikasi Jawa Presiden kentara sekali, terutama ketika menyatakan tidak mau, dan tidak boleh, melakukan intervensi proses hukum yang menjadi kewenangan lembaga negara. Presiden sadar, jika melakukan intervensi, posisi negara (presiden sebagai kepala negara), dan pemerintah (presiden selaku pimpinan pemerintahan), menjadi tidak benar.

Di sisi lain, kultur komunikasi Jawa sering memberi apresiasi tinggi terhadap kecenderungan kesamaan kedudukan dan kesejahteraan antarorang yang berkomunikasi. Namun, pada banyak aras komunikasi Jawa lainnya, pengaruh feodalisme dan paternalisme tinggi sekali, mengakibatkan ketidaksetaraan dan tidak seimbangnya peran penyampai dan penerima informasi.

Dengan kata lain, kultur komunikasi Jawa sering memberi peran negara lebih besar dibanding ruang publik. Hanya, keberadaan negara terlampau suprem sehingga rakyat terkooptasi aturan hukum, selain kekuasaan pemerintah cukup dominan.

Salah satu indikator kultur komunikasi Jawa adalah saat peran sumber/komunikator dinilai ”mewakili” kepentingan negara. Imbasnya, posisi masyarakat (komunikan) terabaikan, terutama di pasar bebas informasi. Berdasar kecenderungan itu, wajar jika dalam kultur komunikasi Jawa, atas nama dan demi kepentingan negara, simbol-simbol kepentingan rakyat cenderung dinomorduakan.

Kultur komunikasi Jawa memberi negara peran mengendalikan pasar informasi. Namun, di balik posisi tidak seimbang itu, negara dituntut bukan hanya berperan sebagai penjaga malam buat rakyatnya, tetapi juga bertugas memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini dilandasi paradigma negara berorientasi kesejahteraan rakyat, melekat dalam berbagai simbol kearifan kultur komunikasi Jawa.

Kultur komunasi Jawa cenderung tidak mengakses ajaran negara hukum modern (negara hukum demokrasi), di mana pemerintah dan masyarakat saling membuka diri untuk mengontrol dan dikontrol. Untung, kecenderungan itu tidak tampak di balik pernyataan sikap resmi Presiden terkait kasus yang menghebohkan itu. Salah satu indikatornya, meledaknya pro-kontra publik atas sikap Presiden.

NOVEL ALI Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro

Kamis, 26 November 2009

24 November 2009

Aktivis anti korupsi desak SBY copot Kapolri dan Jakgung

JAKARTA - Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) Ray Rangkuti mengatakan pernyataan Presiden SBY tadi malam terkait kasus rekomendasi Tim 8 tak lebih dari pidato biasa saja. Isi-nya tidak jelas dan tidak mengarah kepada perbaikan.

"Untuk itu, kami bersama-sama aktivis dan teman-teman lainnya akan terus berjuang mengingingkan reformasi hukum. Salah satunya agar Kapolri dan Jaksa Agung dapat segera diganti," tegas Ray Rangkuti kepada Harian Terbit, Selasa (24/11).

Menurutnya, pidatu sekitar 35 menit itu, 20 menitnya berisi bunga-bunga saja, retorika dan tidak memberikan jalan keluar. Padahal semua rakyat ingin mendengar keputusan yang konkrit dari presiden sehingga permasalahan hukum yang membelit bangsa ini cepat terselesikan.

"Coba saja berita-berita di media masa banyak yang mengatakan pernyataan SBY semalam menimbulkan multitafsir karena tidak jelas. Ini berarti sama dengan pendapat para aktivis kita yang sedang memperjuangan keadilan," tegasnya.

Menurut Ray pendapat para aktivis bukan subyektif tapi obyektif. Hal itu disebabkan pendapatnya sama dengan masyarakat lainnya, bahwa perlu adanya reformasi hukum, yaitu mengganti Kapolri dan Jaksa Agung.

"Saat ini kan sedang terjadi rekayasa hukum, kenapa dibiarkan. Seharusnya presiden tegas saja mengatakan siapa saja yang perlu diganti," tuturnya. Ray mempertanyakan, kenapa yang kena cuma cere-cerenya saja. Sedangkan pimpinannya tetap duduk manis.

"Keberadaan Anggodo saja tidak disebut-sebut dalam pernyataan presiden. Ini ada apa sebenarnya," Ray mempertanyakan. Seharusnya , kata Ray Presiden SBY tegas jangan sampai kelihatan mengambang seperti sekarang ini. Presiden malam itu hanya berpidato yang tidak mempunyai isi konkrit.

"Untuk itu, kita akan menyikapi pidato SBY itu dengan aksi-aski demo di kemudian hari. Saat ini kita sedang konsolidasi bersama teman-teman untuk melakukan aksi yang lebih besar lagi," tegas Ray Rangkuti.

Akan halnya Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko mengaku memberikan acungan jempol terbalik untuk SBY. Acungan jempol ini sebagai simbol kekecewaan Presiden terhadap komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. "Yang diomongin Presiden tidak jelas," ujar Danang.

Presiden, katanya, hanya menyerahkan kasus ke kepolisian dan kejaksaan yang itu dianggap bertolak dengan rekomendasi tim 8. Menurutnya bahwa Susilo Bambang Yudhoyono, tidak pantas berada di Istana Negara. "Presiden tidak bisa menyelesaikan masalah, percuma," ujar dia.

Koordinator Kompak Fadjroel Rahman juga mengaku kecewa karena SBY yang diharapkan menjadi penerang masayarakat dengan mengembalikan legitimasi moral dan politik, melalui pengambilan keputusan dan mengembalikan Chandra M Hamzah dan Bibit Samat Riyanto, nyatanya tidak mengambil sikap tegas

 "Jadi buat kami, situasi pergantian Presiden sangat serius, karena kami tidak mau dipimpin Presiden yang tidak ada komitmen hukum," katanya. Padahal tadinya kelompok anti korupsi berpikir bahwa Pemerintahan SBY dianggap serius dalam memberantas mafia hukum. Ini terbukti dengan upaya pengungkapan kasus Bank Century dan dibentuknya satuan tugas. "Tapi ternyata mendengar pidatonya, saya mengucapkan selamat tinggal SBY. Karena buat kami, SBY menjadi mafia hukum itu sendiri," ujarnya. Nasib SBY kata dia tidak tertolong lagi.  (junaedi/aryopaku)
Sumber: Harian Terbit

Susno diterpa isu pencopotan dirinya

JAKARTA - Komjen Pol Susno Duadji diterpa isu pencopotan dirinya dari posisinya sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Namun Susno Duadji sendiri mengaku tidak tahu adanya isu pencopotan dirinya. Susno juga memilih tidak menanggapi isu tersebut.

Sebelumnya penasihat Kapolri, Prof Dr Bachtiar Aly, menyatakan Kapolri akan segera menindak tegas Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji. Tindakan ini seiring dengan pembenahan internal Polri.

Menurut Bachtiar Aly, kalau dinonaktifkan dan tetap di Mabes, itu sudah menjadi pukulan berat bagi pejabat tinggi Polri. Ditegaskan Baachtiar, kurang dari 24 jam ke depan Kapolri akan mengambil tindakan terhadap Susno Duadji.

"Wah saya nggak tahu. Nggak tahu," kata Susno sambil jalan menuju mobilnya Nissan Serena Hitam F 1779 BI di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (24/11). Mengenakan kemeja putih, dasi biru, dan celana hitam, Susno justru mengaku akan pergi ke pembukaan Kasatwil Bogor, di Hotel Safari Garden, Bogor, Jawa Barat.

Salah seorang petinggi di Mabes Polri yang enggan disebut namanya saat dikonfirmasi seputar isu pencopotan Susno Duadji - mengaku belum mengetahui adanya pencopotan Komjen Susno Duadji dari jabtan Kepala Badan Reserse Kriminal. Tapi diakui rumor yang berkembang di lingkungan Polri memang seperti itu.

"Sejak semalam rumor pencopotan itu sudah berkembang. Tapi kita kan tak boleh percaya rumor. Tunggulah kalau benar pasti akan dimumkan oleh Kapolri," kata seorang petinggi di Mabes Polri. (antara/marolop)

Sumber: Harian Terbit

Motif Sri Mulyani dan Boediono cari kekuasaan

JAKARTA - Ekonom senior Dr Rizal Ramli mengatakan, dalam kasus Bank Century kepentingan Sri Mulyani (SM) yang saat itu menjabat menteri keuangan dan Boediono (B) yang saat itu gubernur Bank Indonesia, bukanlah uang, tetapi iming-iming kekuasaan.

"Pengambil kebijakan Century Gate (B & SM) motifnya tidak uang, sama dengan kasus Bank Bali dan Gub BI dkk. Motifnya kekuasaan. Untuk itu dilanggar berbagai UU dan Peraturan untuk memperkaya orang lain (tindakan pidana)," ujar Rizal Ramli kepada Harian Terbit, Selasa (24/11).

Jadi, lanjut mantan Menko Perekonomian ini, kampanye SM dan B tentang reformasi birokrasi, transparansi dan good governance hanyalah slogan kosong. Tentu dicoba diberikan alibi bahwa kalau Century tidak ditolong (bail-out) akan berdampak sistemik. Namanya juga alibi, mudah sekali dipatahkan.

"Skandal Century adalah skandal keuangan paling besar setelah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satu faktor kejatuhan Habiebie karena skandal Bank Bali Rp 900 M), Gus Dur dugaan sogokan Rp 35 M ke tukang pijat, atau dana yayasan BI 100 M. Century Gate jauh lebih dahsyat dan merugikan negara (Rp 6.7 T)," papar Rizal.

Soal iming-iming kekuasaan juga terjadi pada kasus Bank Bali. Gubernur BI ketika itu adalah tokoh bersih, tidak menerima uang sepeser pun. Tetapi karena ada iming2 akan diangkat kembali utk 5 tahun, berikutnya, dilakukanlah pembayaran tagihan inter-bank Rp 900 M tanpa verifikasi. Tidak ada motif uang, hanya iming-iming kekuasaan.

"Gubernur dan Deputy-deputy BI berikutnya juga tidak menerima uang, tetapi ingin mengamankan fungsi pengawasan yang basah (yang paling rawan) dalam amendemen UU BI. Karena ada usulan agar fungsi pengawasan tersebut dicabut dari BI sehingga BI hanya mengawasi kebijakan moneter dan kredit seperti halnya di Prancis maupun Inggris. Untuk mengamankan itu, digunakan 100M untuk menyogok anggota DPR," uajr Rizal.

Pada kasus Century dan Bank Bali para pejabat BI dan tidak menerima uang utk pribadi. Motifnya kekuasaan pribadi atau lembaga dgn cara merugikan negara dan memperkaya orang lain (terkena UU anti korupsi) dan menabrak undang2, aturan dan good governance.

Rizal mengatakan, personal integrity tidak selalu sama dengan public integrity. Dalam banyak kasus, kerugian akibat tidak adanya public integrity dan kesalahan kebijakan jauh lebih significant dan merusak.

Menurutnya, ada argumen keblinger yang mengatakan bahwa di Amerika saja ada bail out, apalagi Indonesia. Di Amerika bail out tidak ada kongkalikong antara pejabat dgn perusahaan yangg dibail out. Di Indonesia sebaliknya, ada kongkalikong yg kental sekali seperti pada kasus BLBI, Bank Bali dan Century.

Di Amerika, baik Federal Reserve maupun pemerintah Amerika diuntungkan dari bail out. Sebagai contoh Fed untung dari bunga pinjaman darurat (Libor+3%) yg diberikan kepada Lembaga Keuangan. Pemerintah Amerika membail-out Citi Bank sebesar $US 320 milyar, dan sebagai gantinya mendapatkan saham seharga $US 0,97/saham.

"Jika saat ini, pemerintah Amerika menjual saham itu, mereka akan untung 300 % (saat ini harga saham CitiBank $US 4an/saham). Di Indonesia, bail out bank-bank tahun 1998, negara dirugikan ratusan trilliun rupiah, dan hal ini akan menjadi beban rakyat Indonesia sampai 30 tahun mendatang. Kerugian besar juga akan dialami Bank Century. Kerugian-kerugian sangat besar tersebut terjadi karena adanya kongkalikong, tekanan penjualan firesales oleh IMF (1998) dan keteledoran pengambil keputusan," ungkap Rizal.

Mantan kabulog ini mengatakan, tahun lalu, seorang Menkeu menerbitkan obligasi dollar dengan bunga sangat tinggi hingga mencapai 13%. Meskipun saat ini sudah turun tapi masih tinggi, 10%. Bunga itu sangat tinggi karena swasta Adaro bunganya hanya 7,625%, dan PLN berhasil menerbitkan obligasi dengan suku bunga lebih rendah.

Padahal, lanjut Rizal, seharusnya suku bunga obligasi pemerintah lebih rendah. Dengan selisih bunga 3%, kerugian negara nyaris $300 juta untuk pinjaman senilai $1 milyar dengan jangka waktu 10 tahun.

"Pertanyaannya, apakah si Menkeu sedemikian bodohnya atau ada 'kepentingan'? Jawabannya hanya bisa didapatkan jika dilakukan legal dan finansial audit, tetapi apapun negara sangat dirugikan."

Rizal menegaskan, dalam kasus BLBI dan Century Gate, jelas sekali para ekonom neoliberal sangat kikir untuk rakyat, pengembangan teknologi dan lain-lain, tetapi sangat boros jika menyangkut sektor finansial. Pelaku pengambil kebijakan Century dan BLBI masih orang-orang yang sama. Istilahnya residivis.  (negara)

Sumber: Harian Terbit

Anggodo pilih ditangani polisi

JAKARTA - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP mengaku belum menerima khabar bahwa pihak kepolisian akan melimpahkan kasus Anggodo Widjoyo ke KPK. "Sampai sekarang, kami belum tahu apakah berkas tersebut akan dilimpahkan atau tidak," kata juru bicara, kemarin.

Menurut Johan Budhi, sejauh ini KPK belum menerima berkasnya terkait Anggodo. Johan juga membantah mengenai adanya informasi pemanggilan atau penangkapan Anggodo oleh KPK. "Belum ada penangkapan terhadap Anggodo oleh KPK," tuturnya.

Seperti diketahui, Anggodo adalah adik dari Bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo, yang diduga telah mengalirkan dana ke dua pimpinan nonaktif KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, sehingga keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri.

Secara terpisah, pengacara Anggodo Widjoyo, Bonaran Situmeanglasan, ingin agar kasus kliennya tetap ditangani Mabes Polri . Alasan Bonaran, selain kasus Anggodo tak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi kasus ini sejak awal sudah ditangani kepolisia.

Sebelumnya, polisi telah memeriksa Anggodo dalam enam sangkaan pidana yakni pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan institusi Polri, penyuapan, perbuatan memfitnah orang lain, dan pengancaman.

Menurut Bonaran, kliennya tidak pernah melakukan penyuapan kepada pimpinan KPK. Justru, lanjut Bonaran, KPK yang melakukan pemerasan terhadap Anggoro Widjojo, bos PT Masaro Radiokom. "Anggodo hanya membantu kakaknya itu untuk menyerahkan uang yang diminta KPK," ujarnya.

Dugaan penyuapan itu terkait dengan kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Dalam kasus ini, Anggoro sudah ditetapkan menjadi tersangka. Saat ini Anggoro berstatus buronan.

Terkait kasus Anggodo itu, polisi sudah memeriksa Ary Muladi. Ary diminta untuk menjadi saksi atas kasus penyuapan dan atau melakukan percobaan serta pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dan atau pencemaran nama baik Presiden RI, dan atau penghinaan terhadap institusi dan pejabat publik. Dan atau perbuatan pengancaman, dan atau perbuatan yang memfitnah orang lain melakukan tindak pidana, dan atau pengancaman.

Tindak pidana itu dimaksud dalam Pasal 5 dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor, dan atau Pasal 134 KUHP, dan atau Pasal 310 KUHP, dan atau Pasal 311 KUHP, dan atau Pasal 318 KUHP, dan atau Pasal 368 KUHP jo. Pasal 55 KUHP. (antara/aryopaku)
Sumber: Harian Terbit

Tumpak: KPK siap usut kasus Bank Century

JAKARTA - Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Haturangan Panggabean menyatakan siap melanjutkan pengusutan terhadap kasus Bank Century. "Sekarang kita sudah mengutus staf untuk minta copy hasil audit investigasi BPK untuk dipelajari," katanya menjawab Harian Terbit di Jakarta, Selasa pagi.

Tumpak diminta komentarnya terkait dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang membeberkan berbagai pelanggaran baik dilakukan oleh Bank Indonesia mau pun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pimpinan Menkeu yang merugikan negara triliunan rupiah.

Laporan BPK tersebut dinilai anggota Komisi III DPR-RI , T Gayus Lumbuun dan Koordinasi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sudah bisa dijadikan dasar oleh KPK untuk melakukan pengusutan terhadap kasus Bank Century yang menghebohkan itu.

Tumpak mengatakan dalam pengusutan kasus Bank Century pihaknya segera melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan ." Tapi KPK yang punya hak supervisi tentu posisinya sebagai leader dalam menangani kasus ini," katanya.

Gayus mengatakan laporan hasil audit investigasi BPK sangat jelas membeberkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan BI mau pun KSSKyang dapat dijadikan petunjuk bagi KPK untuk melanjutkan pengusutan terhadap Bank Century.

Menanggapi pidato Presiden SBY yang minta polisi dan kejaksaan menindaklanjuti kasus Bank Century, Gayus mengatakan kurang tepat. Karena pihak Kejaksaan Agung sebelumnya sudah menyatakan tidak ada pelanggaran hukum dalam menyalurkan bailout Rp 6,7 triliun ke Bank Century. Sedangkan pihak kepolisian saat ini masih kurang mendapat kepercayaan masyarakat.

Gayus mengatakan tidak ada masalah kendati KPK melakukan pengusutan dugaan korpsi , sementara pihak DPR menggunakan hak angket untuk membedah kasus penggelontoran dana ke bank tersebut. Hasil temuan panitia angket DPR nantinya juga akan direkomendasikan kepada penegak hukum untuk ditindak lanjuti.

Senada dengan Gayus, Koordinator masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan hasil audit BPK sudah sangat cukup untuk dijadikan petunjuk oleh KPK melakukan pengusutan terhadap dugaan korupsi di Bank Century.

Boyamin mengatakan dalam kasus Bank Century ini untuk dugaan korupsinya sebaiknya ditangani KPK karena lembaga ini memang sudah melakukan penyelidikan sejak Agustus lalu . Sementara pihak kepolisian mengusut aspek kejahatan pencucian uangnya (money loundring). (wilam)

Sumber: Harian Terbit

Jakgung membangkang terhadap Presiden Yudhoyono

Jakgung membangkang terhadap Presiden Yudhoyono

JAKARTA - Presiden SBY meminta kasus Bibit dan Chandra tidak diselesaikan di pengadilan, dan meminta kejaksaan dan kepolisian untuk menggunakan kewenangannya agar menghentikan kasus itu, namun, Kejaksaan Agung tak mengindahkannya. Kejakgung tetap melanjutkan proses hukum terhadap dua mantan pimpinan KPK itu. Sikap Hendarman dinilai pengamat politik Budyatna bentuk pembangkangan terhadap SBY.

"Kejaksaan Agung tetap melakukan proses hukum terhadap pimpinan KPK non aktif Chandra M Ham-zah karena sangkaan yang ditujukan kepada keduanya sudah memenuhi sarat formil dan materil. Penyidik polri telah meme-nuhi petunjuk yang diberikan jaksa peneliti sehingga konsekuensi hukumnya berkas perkara tersangka Chandra harus dinyatakan lengkap (P21)," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji kepada wartawan, Selasa (24/11) pagi menanggapi pidato Presiden SBY tentang Bibit dan Chandra.

Hendarman menegaskan, dua hari lagi Chandra akan dipanggil ke kejaksaan agung. "Pemanggilan Chandra menyusul pelimpahan berkas perkaranya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) tahap kedua."

Menjawab pertanyaan apakah diterbitkan Surat Penghentian Penuntutan (SKP2), Jaksa Agung mengatakan, penerbitan SKP2 tergantung hasil kajian JPU apakah kasus itu layak atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.

JPU akan mengkaji apakah dugaan tindak pidana pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Chandra dapat dimintai pertanggunghawaban kepada yang bersangkutan.

Sementara itu, Mabes Polri tetap menyerahkan berkas berita acara pemeriksaan (BAP) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto ke Kejaksaan Agung kendati Presiden telah meminta agar kasus itu tidak dilanjutkan ke pengadilan.

"Berkas ya ke Kejaksaan Agung," kata Direktur Pidana Korupsi dan White Collar Crime (Pidkor dan WWC) Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen Pol Yovianes Mahar di Jakarta, Senin malam.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malam ini menyatakan, Kapolri dan Jaksa Agung tidak perlu membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan. Sulistyo menambahkan, yang jelas, Presiden SBY sudah menyerahkan ke Kapolri dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Menanggapi keputusan Jaksa Agung yang akan meneruskan kasus Bibit dan Chandra itu, pengamat politik UI Budyatna mengatakan, tindakan Hendarman jelas pembangkangan terhadap SBY.

"Kalau kasus Bibit dan Chandra tetap dilanjutkan, ini kasarnya anak buah berbuat kurang ajar kepada pimpinan. Ya, nama manisnya pembangkangan," ujar Budyatna dihubungi terpisah.

Namun, lanjut Budyatna, Presiden SBY memang tidak tegas memberikan perintah kepada Kapolri maupun Jaksa Agung tentang kasus dua pimpinan KPK non aktif. "Maklum, SBY merupakan pemimpin yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah kultur Jawa sehingga perintah yang diberikan demikian," kata dia.

Dihubungi terpisah, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Sundari menilai bahwa apa yang dilakukan Hendarman itu bukanlah pembangkangan karena Presiden SBY tidak tegas mengatakan bahwa penyelesaian kasus Bibit-Chandra ini di luar jalur hukum. "Harusnya SBY minta, bukan berharap. Selain itu juga dijelaskan, proses penyelesaian kasus itu diluar hukum bagaimana. Jadi, jelas," kata dia. (zamzam/akhir)

 Sumber: Harian Terbit

Beirut Mulai Berdandan dan Bangkit Lagi

Seorang wanita bercadar berjalan melewati sebuah gerai produk mode bermerek Cartier di jantung kota Beirut, Lebanon, awal November lalu. Setelah tergusur Dubai, Beirut kini kembali menjadi "Paris di Timur Tengah" dengan gebyar berbagai merek mode dunia, seperti Dior dan Louis Vuitton, setelah krisis ekonomi berlalu.
 
EKONOMI KOTA


Beirut tampaknya sudah kembali berdandan serta mengembalikan reputasinya sebagai surga bagi para penggila belanja. Merek-merek mewah berbagai produk mode, seperti Christian Dior dan Louis Vuitton merupakan toko yang sudah dibuka di Beirut.

Mahkota Beirut diambil oleh Dubai sebagai surga belanja. Untuk mendapatkan mahkota itu kembali, seperangkat promosi dan proyek ambisius mulai dilaksanakan, seperti Pasar Beirut, tempat 400 toko, di mana 49 di antaranya adalah toko perhiasan yang akan dibuka bulan depan.

”Merebaknya barang-barang di Beirut seperti minyak yang ditumpahkan,” ujar Guillaume Boudisseau, konsultan real estat dari Ramco Real Estate. ”Pusat kota merupakan tempat yang tepat untuk berinvestasi,” tambahnya lagi.

Pusat kota Beirut sebelumnya luluh lantak oleh perang sipil Lebanon pada tahun 1975-1990. Selain itu, pusat kota juga sempat dilumpuhkan antara tahun 2007 dan 2008 oleh pendudukan oposisi serta oleh perang Israel-Hezbullah pada tahun 2006. Keadaan pusat kota saat itu sangat kacau, sering dijatuhi hujan mortir.
Keadaan itu seolah sudah berbalik. Beirut bangkit lagi dan mulai menata dirinya menjadi penarik para pencinta barang mewah. Semakin banyak hotel, restoran, dan toko yang dibuka.

Pasar tua juga telah disulap menjadi bangunan senilai ratusan dollar AS menjadi tempat merek-merek terkenal, seperti Vivienne Westwood, Armani, Berluti, dan Cartier.

Memang, sekarang ini apa yang ditawarkan Beirut belum dapat dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh Dubai. Tetapi, ada sesuatu yang dapat menjadi daya tarik Beirut, yaitu semua toko mewah itu dapat dicapai dengan berjalan kaki.

Optimistis 

Tony Salameh, CEO pengimpor barang mewah dari Lebanon, Aishti, berharap kota itu akan kembali memperoleh gelarnya sebagai kota tujuan belanja dalam dua tahun ke depan.

Salameh mengatakan, pasar barang mewah di Lebanon juga meningkat. Dia memperkirakan peningkatan tahunan mencapai 15 persen.

Dengan slogan ”Paris di Timur Tengah” sebelum pecah perang, Beirut berupaya tampil sebagai etalase pajangan untuk barang-barang fashion walaupun perekonomian masih rendah. Infrastruktur itu juga masih kacau pada tahun 1990-an.

Negara itu juga terjerembap pada periode instabilitas setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri. ”Ketika itulah kami tertinggal dari Dubai. Tetapi sekarang krisis global yang menghantam negara Teluk telah menguntungkan Lebanon. Tidak seperti tetangganya, perekonomian Lebanon tetap solid. Sekarang kami memiliki kesempatan kembali menempati urutan pertama selain Dubai karena pelanggan yang terutama adalah warga kaya Rusia semakin tertarik datang ke Beirut,” ujar Salameh yakin. (AFP/joe)

Konfigurasi Ekonomi 2010

Fase krusial dari krisis ekonomi global sudah terlewati. Meski mengalami beberapa gejolak ekonomi, Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yang relatif stabil menghadapi problematik global tersebut.

Namun, pemerintahan SBY-Boediono dengan KIB II sebagai kepanjangan tangannya harus tetap berhati-hati, waspada, dan mawas diri. Masih banyak lubang hitam (black hole) perekonomian dalam skala nasional dan internasional yang mesti ditutup dan dicari formula penawarnya.

Pembangunan ekonomi nasional pada 2010 memang akan menghadapi berbagai tantangan dari global dan domestik yang harus kita jawab dengan langkah-langkah tepat, terukur, nyata, dan komprehensif.

Pekerjaan rumah
Tahun 2010 merupakan tahun 'ketidakpastian' mengingat beberapa faktor yang akan terjadi, yakni perlambatan ekonomi dunia, harga minyak dan pangan yang belum stabil pascakrisis global. Terpilihnya pasangan SBY-Boediono tentu akan memengaruhi sejumlah rencana bisnis, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).

Hal itu tidak terlepas dari pengaruh principal agent dalam kegiatan ekonomi dengan setiap rezim yang berkuasa memiliki pengaruh pada pelaku bisnis. Semua pola pemikiran dari kutub sosialis hingga pandangan liberal menekankan adanya pengaruh rezim ini terhadap kondisi ekonomi.
Hanya tingkat pengaruhnya pada setiap pola yang berbeda.

Bagaimanapun harus diakui bahwa SBY-Beodiono telah menuai respons positif pasar karena keduanya dianggap sebagai pemimpin tepercaya dan memiliki kredibilitas yang sekaligus berpengaruh pada meningkatnya investasi di Indonesia. Karena itu, tim ekonomi yang telah terbentuk saat ini diharapkan dapat memberikan konsistensi kebijakan terhadap keberlanjutan program-program seperti yang tertuang dalam APBN 2010 yang nantinya banyak mengakomodasi dan memberikan ruangan bagi pemerintah baru.

Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa kesimpulan sementara perkembangan ekonomi Indonesia hingga medio akhir 2009 adalah masih banyaknya pekerjaan rumah dalam bidang ekonomi untuk kabinet terpilih pada 2009-2014 mendatang. Dari indikator makro pertumbuhan ekonomi, pencapaian level 6% saat ini belumlah memadai.

Salah satu cara adalah memperbaiki birokrasi yang berhubungan dengan masalah struktural. Di titik ini akselerasi target dan koordinasi antareksekutif, legislatif, dan yudikatif diharapkan dapat ditingkatkan. Artinya, para pemegang kebijakan dalam pemerintahan didorong mampu berfungsi secara maksimal.

Birokrasi hendaknya berada di bawah kepemimpinan kementerian untuk hal-hal seperti revitalisasi industri dengan konsistensi kebijakan dimulai dari masalah pasokan energi atau gas dan kemudian memberikan modal untuk membangun industri yang baru sama sekali. Ini harus dilakukan karena banyak industri merupakan warisan dari zaman Orde Baru sehingga umur dari manufaktur dan pabriknya sudah tua yang membuat produksinya menjadi menurun.
Di sisi lain koordinasi dengan sektor swasta menjadi katalis penting bagaimana mendudukkan peranan pemerintah dalam bidang ekonomi. Pemerintah dapat melakukan pelbagai kerja sama kemitraan bersama swasta sesuai dengan lingkup sektoral.

Peningkatan 2010
Untuk menguatkan perekonomian Indonesia yang dimulai pada 2010, kita harus memperhatikan beberapa variabel ekonomi dan menjaganya agar berada pada level yang dapat menyokong perbaikan ekonomi Indonesia.

Setiap kebijakan harus memperhatikan variabel-variabel ini agar perekonomian Indonesia tidak keluar dari jalur yang benar.

Pertama, pemulihan ekonomi dunia 2010 masih rapuh dan gejolak pasar uang, pasar modal, dan harga komoditas masih akan menyertainya.

Oleh karena itu, perlu dipelihara stabilitas ekonomi nasional berbasis APBN 2010 yang memasukkan faktor risiko di dalamnya.

Kedua, dengan belajar dari krisis 1998 di Indonesia dan krisis ekonomi dunia saat ini, perekonomian Indonesia harus dibangun dengan bertumpu pada sumber pertumbuhan domestik dan berbasis kewilayahan.

Akibat kurang terkelolanya pertumbuhan domestik sektoral adalah peningkatan angka pengangguran karena banyak potensi sumber daya manusia yang tak terpakai. Oleh sebab itu, Indonesia masih perlu menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan dengan meneruskan program-program berbasis kesejahteraan rakyat.

Ketiga, menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan meningkatkan upaya penegakan hukum, harmonisasi UU kebijakan penanaman modal, mengatasi kemacetan pada masalah pertahanan dan tata ruang, dan perbaikan birokrasi yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Keempat, meningkatkan ketersediaan dan pemerataan infrastruktur yang memadai dan berkualitas sebagai prasyarat untuk dapat mencapai kemakmuran dan menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Di sini dibutuhkan peningkatan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam proses pembangunan. Peran sektor swasta, perguruan tinggi, dan LSM harus ditingkatkan sehingga kebergantungan pembiayaan pembangunan dari luar negeri dapat terus dikurangi.

Kelima, prioritas untuk menjaga ketahanan pangan dan energi harus terus dijaga dan ditingkatkan. Revitalisasi industri pengolahan baik di hilir maupun di hulu juga perlu dilakukan untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa. Demikian pula otonomi daerah dan desentralisasi memberikan kesempatan dan tantangan bagi kita dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berkualitas, rata, dan adil.

Faktor makro yang masih menghantui perekonomian 2010 adalah fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah. Selama beberapa tahun ini Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai upaya agar nilai tukar rupiah stabil dan hal itu ditunjukkan oleh penurunan tingkat volatilitas menjadi 0,61% dari 1,42%. Meski demikian, BI juga dihadapkan pada persoalan berat, yakni krisis kepercayaan pada lembaga tersebut.

Kenaikan harga minyak dunia yang diikuti harga pangan mengakibatkan inflasi 2009 melebihi 12%. Apabila ekspektasi masyarakat juga melihat fenomena kenaikan tersebut masih dirasakan hingga akhir 2009 nanti, inflasi masih tetap tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah kenaikan upah buruh menyusul penaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) hingga 15% sebagai akibat penaikan harga BBM pada 2008.

Pada akhirnya, pemerintah harus tetap optimistis bahwa perekonomian pada 2010 akan stabil usai krisis ekonomi global, meski perekonomian 2010 diperkirakan masih diliputi beragam tantangan.


Oleh Dr Poempida Hidayatullah, Ketua Komite Tetap Kadin

Soetanto, Mendidik dan Menggali Kepintaran

Di balik pencapaian gelar profesor dan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang, Ken Kawan Soetanto punya pengalaman penuh liku. ”Apa bisa orang Indonesia mengajar orang Jepang?” begitu ungkapan yang merendahkan dia sewaktu mengajukan diri menjadi dosen di salah satu universitas di Jepang setelah meraih gelar doktor keduanya pada 1988.

Dengan dana beasiswa Pemerintah Jepang dan semangat belajar tinggi, Soetanto, panggilannya, menjadi guru besar di beberapa universitas di Jepang. Di Amerika Serikat, tahun 1988-1993, ia menjadi associate professor di Universitas Drexel dan Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia. Sejak 2005 ia menjadi guru besar Venice International University, Italia.

Keahlian Soetanto bisa ditelusuri dari minat studinya. Keempat gelar doktor dia peroleh di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003).
”Sejak 2003 saya memegang rekor gelar empat doktor sekaligus di Jepang,” katanya.

Dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi, dia menghasilkan 29 paten di Jepang dan 2 paten di AS. Pencapaian riset dengan paten paling mutakhir diakui di Jepang, yakni The Nano-Micro Bubble Contrast Agent. Pemerintah Jepang melalui NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.
”Itu riset smart medicine atau obat cerdas yang mampu menelusuri sistem jaringan pembuluh darah untuk mencari sel-sel kanker dan melumpuhkannya,” kata Soetanto.

Mendidik itu menggali

”Negara tanpa riset akan lemah. Riset harus dikembangkan melalui pendidikan yang baik,” kata Soetanto.
Pemikiran mengenai pendidikan yang baik, menurut Soetanto, kembali pada pengertian to educe, yaitu untuk menggali. Pendidikan itu menggali kemampuan atau kepintaran diri setiap orang. Pendidikan tidak mendiskriminasikan kondisi fisik seseorang dan tidak membatasi kemampuan ekonominya.

Pendidikan untuk menggali kepintaran setiap orang, termasuk orang yang kehilangan semangat belajar atau yang dianggap bodoh. Pendidikan tidak hanya untuk orang kaya. Berdasarkan pengalaman Soetanto mengajar di Jepang, justru orang miskin memiliki kemauan belajar yang lebih tinggi.

”Berapa doktor dari Indonesia yang belajar ke luar negeri dengan membayar mahal, lalu pulang dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa?” sergahnya.

Soetanto dalam menjalankan proses pendidikan di Jepang tidak hanya berteori. Namun, ia berusaha benar-benar menggali kepintaran setiap peserta didik.

Metode Soetanto mengajar di Jepang sempat dikenal sebagai ”metode Soetanto” atau ”efek Soetanto”. Suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik dan mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih.

”Manusia yang sebelumnya bodoh atau tak memiliki semangat belajar sama sekali harus didaur ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya,” ujarnya.

Pengalaman Soetanto pertama kali mengajar di Jepang adalah di Toin University of Yokohama pada 1993. Di universitas itu, sekitar 80 persen mahasiswa tidak memiliki motivasi belajar yang baik.

”Toin University of Yokohama itu universitas ’kelas bebek’, bukan universitas unggulan, sehingga motivasi belajar para mahasiswanya rendah,” katanya.

Soetanto berhasil mengubah keadaan. Mekanisme pengajarannya untuk pencapaian kesadaran penuh mengenai apa yang sedang dijalani siswa, dan mereka pun mengerti tujuan yang ingin diraih.

Energi tersembunyi

Berbagai penghargaan diterima Soetanto, antara lain Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS, tahun 1990.

Ia juga meraih predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut (1994-2000) di Toin University of Yokohama.

Soetanto termasuk kategori satu di antara tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang. Sejak 2003 dia menjadi guru besar di Universitas Waseda dan menjabat Kepala Divisi Urusan Internasional. Dia juga menjadi orang pertama dari luar Jepang dalam 125 tahun terakhir ini yang diajukan menduduki jabatan setingkat kepala divisi di Universitas Waseda.

Sampai kini lebih dari 1.100 karya ilmiah Soetanto telah dipublikasikan. Dalam menjalani sejumlah aktivitas tersebut, kata Soetanto, ia merasa ada hidden power (energi tersembunyi).

Energi tersembunyi itu

terlahir dari perasaan terhina sebagai orang Indonesia yang masih diremehkan di Jepang. Di Indonesia, Soetanto juga pernah merasakan terbuang.

Tahun 1965, ketika terjadi pergolakan politik menentang komunisme, hak mendapat pendidikan Soetanto terampas. Sekolahnya, Chung-Chung High School di Surabaya, ditutup untuk selamanya. Soetanto hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas I SMA.

Selama tak lagi bersekolah, dia bekerja mereparasi elektronik di toko abangnya di Surabaya. Setelah uang terkumpul, berangkatlah dia ke Jepang tahun 1974 untuk belajar lebih jauh mengenai elektronika.

Pada 1977 Soetanto mengikuti ujian negara di Jepang dan berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Teknik dan Pertanian Universitas Tokyo.


***


KEN KAWAN SOETANTO ATAU CHEN WEN QUAN

• Lahir: Surabaya, 1951

• Istri: Jennie Hermanto (58)

• Anak: - Nerrie (32), Jun Adi (29), Ainie (25)

• Pendidikan:

- SD Ta Chung Surabaya (kelas I-II), SD Shi Hwa (kelas II-III), SD Ming Jiang (kelas IV-VI)
- SMP Chung-Chung - SMA Chung-Chung, sampai kelas I pada 1965
- 1965-1974 tak bersekolah, bekerja mereparasi produk elektronik
-1974: ke Osaka, Jepang
- 1977: S-1 Universitas Tokyo, Fakultas Teknik dan Pertanian
- Meraih doktor di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), doktor dalam ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003)
- 1988-1993: menjadi associate professor di Drexel University dan School of Medicine, Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, AS
- 1993-kini: guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang
 - 1997-kini: Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology
- 2003-kini: guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda
Soetanto, Mendidik dan Menggali Kepintaran
Selasa, 17 November 2009 | 02:54 WIB

NAWA TUNGGAL
Di balik pencapaian gelar profesor dan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang, Ken Kawan Soetanto punya pengalaman penuh liku. ”Apa bisa orang Indonesia mengajar orang Jepang?” begitu ungkapan yang merendahkan dia sewaktu mengajukan diri menjadi dosen di salah satu universitas di Jepang setelah meraih gelar doktor keduanya pada 1988.
Dengan dana beasiswa Pemerintah Jepang dan semangat belajar tinggi, Soetanto, panggilannya, menjadi guru besar di beberapa universitas di Jepang. Di Amerika Serikat, tahun 1988-1993, ia menjadi associate professor di Universitas Drexel dan Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia. Sejak 2005 ia menjadi guru besar Venice International University, Italia.
Keahlian Soetanto bisa ditelusuri dari minat studinya. Keempat gelar doktor dia peroleh di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), ilmu farmasi dari Science University
of Tokyo (2000), dan ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003).
”Sejak 2003 saya memegang rekor gelar empat doktor sekaligus di Jepang,” katanya.
Dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi, dia menghasilkan 29 paten di Jepang dan 2 paten di AS. Pencapaian riset dengan paten paling mutakhir diakui di Jepang, yakni The Nano-Micro Bubble Contrast Agent. Pemerintah Jepang melalui NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.
”Itu riset smart medicine atau obat cerdas yang mampu menelusuri sistem jaringan pembuluh darah untuk mencari sel-sel kanker dan melumpuhkannya,” kata Soetanto.
Mendidik itu menggali
”Negara tanpa riset akan lemah. Riset harus dikembangkan melalui pendidikan yang baik,” kata Soetanto.
Pemikiran mengenai pendidikan yang baik, menurut Soetanto, kembali pada pengertian to educe, yaitu untuk menggali. Pendidikan itu menggali kemampuan atau kepintaran diri setiap orang. Pendidikan tidak mendiskriminasikan kondisi fisik seseorang dan tidak membatasi kemampuan ekonominya.
Pendidikan untuk menggali kepintaran setiap orang, termasuk orang yang kehilangan semangat belajar atau yang dianggap bodoh. Pendidikan tidak hanya untuk orang kaya. Berdasarkan pengalaman Soetanto mengajar di Jepang, justru orang miskin memiliki kemauan belajar yang lebih tinggi.
”Berapa doktor dari Indonesia yang belajar ke luar negeri dengan membayar mahal, lalu pulang dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa?” sergahnya.
Soetanto dalam menjalankan proses pendidikan di Jepang tidak hanya berteori. Namun, ia berusaha benar-benar menggali kepintaran setiap peserta didik.
Metode Soetanto mengajar di Jepang sempat dikenal sebagai ”metode Soetanto” atau ”efek Soetanto”. Suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik dan mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih.
”Manusia yang sebelumnya bodoh atau tak memiliki semangat belajar sama sekali harus didaur ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya,” ujarnya.
Pengalaman Soetanto pertama kali mengajar di Jepang adalah di Toin University of Yokohama pada 1993. Di universitas itu, sekitar 80 persen mahasiswa tidak memiliki motivasi belajar yang baik.
”Toin University of Yokohama itu universitas ’kelas bebek’, bukan universitas unggulan, sehingga motivasi belajar para mahasiswanya rendah,” katanya.
Soetanto berhasil mengubah keadaan. Mekanisme pengajarannya untuk pencapaian kesadaran penuh mengenai apa yang sedang dijalani siswa, dan mereka pun mengerti tujuan yang ingin diraih.
Energi tersembunyi
Berbagai penghargaan diterima Soetanto, antara lain Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS, tahun 1990.
Ia juga meraih predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut (1994-2000) di Toin University of Yokohama.
Soetanto termasuk kategori satu di antara tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang. Sejak 2003 dia menjadi guru besar di Universitas Waseda dan menjabat Kepala Divisi Urusan Internasional. Dia juga menjadi orang pertama dari luar Jepang dalam 125 tahun terakhir ini yang diajukan menduduki jabatan setingkat kepala divisi di Universitas Waseda.
Sampai kini lebih dari 1.100 karya ilmiah Soetanto telah dipublikasikan. Dalam menjalani sejumlah aktivitas tersebut, kata Soetanto, ia merasa ada hidden power (energi tersembunyi).
Energi tersembunyi itu
terlahir dari perasaan terhina sebagai orang Indonesia yang masih diremehkan di Jepang. Di Indonesia, Soetanto juga pernah merasakan terbuang.
Tahun 1965, ketika terjadi pergolakan politik menentang komunisme, hak mendapat pendidikan Soetanto terampas. Sekolahnya, Chung-Chung High School di Surabaya, ditutup untuk selamanya. Soetanto hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas I SMA.
Selama tak lagi bersekolah, dia bekerja mereparasi elektronik di toko abangnya di Surabaya. Setelah uang terkumpul, berangkatlah dia ke Jepang tahun 1974 untuk belajar lebih jauh mengenai elektronika.
Pada 1977 Soetanto mengikuti ujian negara di Jepang dan berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Teknik dan Pertanian Universitas Tokyo.

***

KEN KAWAN SOETANTO ATAU CHEN WEN QUAN

• Lahir: Surabaya, 1951

• Istri: Jennie Hermanto (58)

• Anak: - Nerrie (32), Jun Adi (29), Ainie (25)

• Pendidikan:

- SD Ta Chung Surabaya (kelas I-II), SD Shi Hwa (kelas II-III), SD Ming Jiang (kelas IV-VI)
- SMP Chung-Chung - SMA Chung-Chung, sampai kelas I pada 1965
- 1965-1974 tak bersekolah, bekerja mereparasi produk elektronik
-1974: ke Osaka, Jepang
- 1977: S-1 Universitas Tokyo, Fakultas Teknik dan Pertanian
- Meraih doktor di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), doktor dalam ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003)
- 1988-1993: menjadi associate professor di Drexel University dan School of Medicine, Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, AS
- 1993-kini: guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang
 - 1997-kini: Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology
- 2003-kini: guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda

Berkaca pada KPK Hongkong

Didi Irawadi Syamsuddin

Pada tahun 1970-an, korupsi menjadi masalah krusial di Hongkong. Mengakarnya budaya korupsi membuat sopir ambulans enggan membawa pasien kritis sekalipun tanpa mendapatkan ”uang teh”.

Tradisi ”uang pelicin” juga mengakar di tubuh kepolisian. Bahkan, saat itu mafia Triad seolah menjadi pengendali institusi kepolisian karena hampir semua polisi bisa dibeli. Puncaknya, Kepala Kepolisian Hongkong Peter Godber dinyatakan terlibat. Godber menyembunyikan 4,3 juta dollar Hongkong dan 600.000 dollar AS di rekeningnya di luar negeri. Godber lalu memanfaatkan statusnya sebagai polisi, kabur meninggalkan Hongkong, bersembunyi di London.

Kasus Godber memicu kemarahan masyarakat Hongkong. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan menuntut pembentukan komisi antikorupsi. Desakan ini mendorong lahirnya ICAC (Independent Commission Against Corruption), 15 Februari 1974.

Awalnya banyak kalangan meragukan keberhasilan komisi ini dalam memberantas korupsi. Bahkan, tak sedikit yang menyebutnya tak mungkin dilakukan. Namun, komisi ini menunjukkan tajinya melalui keberhasilan menyeret Godber kembali ke Hongkong dan mengadilinya.

Bukan hanya ”menyapu” pucuk pimpinan, komisi juga tak segan-segan melibas polisi di tingkat bawah. Padahal, institusi kepolisian sendiri menempatkan ratusan personel dalam ICAC.

Gebrakan komisi itu membuat polisi di Hongkong marah. Puncaknya, tiga tahun setelah ICAC berdiri, sejumlah polisi menyerbu kantor ICAC, melemparinya dengan batu. Inilah kerusuhan massal yang dipicu upaya pemberantasan korupsi.
Kerusuhan berhasil diredam setelah ICAC mengumumkan amnesti bagi korupsi skala kecil yang dilakukan sebelum 1977. Meski demikian, ICAC tetap menjerat beberapa unsur pimpinan teras Kepolisian Hongkong sebagai tersangka korupsi. Selain itu, 119 polisi Hongkong, termasuk seorang petugas Bea dan Cukai, diadili dan 24 polisi dikenai tuduhan konspirasi. Ratusan aparat pemerintahan yang korup juga dilaporkan diringkus.

Korupsi turun

Sejak itu, korupsi di tubuh polisi turun hingga 70 persen. Dari 1.443 laporan pada 1974, menjadi 446 laporan pada 2007. Hongkong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI). ICAC terus beroperasi hingga kini. Bahkan, pemerintahnya menggunakan slogan ”The Competitive Advantage of Hong Kong is the ICAC” untuk menarik minat investor asing agar menanam modalnya di Hongkong. Investor pun berduyun-duyun menanamkan uang di negara bekas jajahan Inggris ini. Kini di Hongkong berdiri tak kurang dari 7.500 gedung pencakar langit yang membuat negara itu dikenal sebagai kota "terjangkung" di dunia.

Menurut Tony Kwok Man-wai, mantan Kepala Operasi ICAC, keberhasilan komisi tidak lepas dari dukungan politik yang kuat dari pemerintah. ICAC diposisikan sebagai lembaga yang langsung bertanggung jawab terhadap pemimpin pemerintahan tertinggi dan menjadi lembaga yang benar-benar independen. Hal itu meyakinkan ICAC bebas dari campur tangan dalam melakukan penyelidikan.

Dukungan politik yang kuat juga diartikan sebagai dukungan finansial. ICAC mungkin merupakan badan antikorupsi paling mahal di dunia. Pada tahun 2002, ICAC ”menghabiskan biaya” 90 juta dollar AS. Meski terlihat besar, jika dibandingkan dengan anggaran belanja Hongkong, nilainya tak lebih dari 0,3 persen. Nilai itu amat kecil jika dibandingkan dengan hasil yang didapat, yakni masyarakat bersih dari korupsi yang berimbas pada derasnya arus investasi ke Hongkong.

Empat pilar

Mr Ambrose Lee Siu-kwong, Komisioner ICAC, mengatakan, ada empat pilar keberhasilan Hongkong dalam perang melawan korusi. Pertama, komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. Kedua, ICAC beroperasi secara independen. Ketiga, ICAC memiliki tim yang bekerja profesional. Keempat, dukungan kuat komunitas dalam pemberantasan korupsi.

Atas pengalaman Hongkong, apa yang kini dialami Indonesia, kurang lebih serupa. Jika akhirnya Hongkong berhasil mengatasi konflik yang melibatkan aparatur penegak hukum, sudah saatnya Indonesia belajar dari pengalaman itu dan memberi ruang bagi KPK untuk membuktikan dirinya.

Didi Irawadi Syamsuddin Anggota Komisi III DPR

23 November 2009

Hukum Tanpa Detak Keadilan

Tidak ada yang lebih jahat ketimbang penegakan hukum tanpa keadilan. Hukum tanpa keadilan ibarat tubuh tak bernyawa. Pasal-pasal pada secarik kertas tidak bermakna apa-apa. Pasal-pasal mati.
Patut dicatat, keadilan lebih dari sekadar nyawa bagi dokumen hukum. Institusi penegak hukum pun sepatutnya bernyawakan keadilan. Semua proses yang terjadi pada institusi itu harus bernapaskan keadilan. Proses yang terjadi bukan sekadar memenuhi proseduralitas dan formalitas legal. Kita harus berani mengatakan ini.

Formalitas dan proseduralitas legal sekadar sarana bagi keadilan. Apabila sarana itu dipakai untuk melukai rasa keadilan, tidak ada pilihan lain: keputusan politik harus dijatuhkan berdasar doktrin kedaruratan.

Luka keadilan

Di negeri ini keadilan dilukai berkali-kali. Kriminalisasi KPK baru pemanasan saja. Belum lagi kasus itu terselesaikan, pers mendapat perlakuan sama.

Dua unsur pimpinan redaksi dipanggil berdasar laporan pencemaran nama baik oleh Anggodo. Sosok satu ini sepertinya berkeliaran di ruang hampa hukum, ikut mengendalikan hukum tanpa dia terjerat hukum.

Dari dua peristiwa itu, kita saksikan luka keadilan lain. Minah, seorang ibu tua, dikenai hukuman percobaan akibat mengambil tiga buah kakao untuk dijadikan bibit. Rasa keadilan kembali terkoyak. Sang hakim tahu, dia memutus berdasar hukum tertulis, bukan rasa keadilan. Dia menjadi hamba secarik kertas, bukan dewi keadilan yang mulia dan sublim.

Compang-camping praktik penegakan hukum berujung pada ketidakpercayaan publik. Ini fatal.
Ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum dipicu absennya keadilan sebagai prinsip dasar sebuah tertib sosial. Keadilan adalah prinsip hidup bersama dalam sebuah tertib sosial bernama negara.

Keadilan adalah maksud suci kelahiran negara itu sendiri. Jika maksud suci itu dikhianati aparat negara, alasan keberadaan negara bisa jadi tak ada lagi. Maka, perilaku institusional yang melukai keadilan dapat berakibat hilangnya tertib sosial, bernama negara.

Mungkin hal itu terdengar radikal. Namun, imajinasi kita harus dapat menerobos rezim aktualitas guna menemukan alasan politik. Apalagi kita sudah diingatkan filsuf Perancis, Louis Althusser. Rezim boleh berganti, tetapi aparat ideologis dan represif negara bergeming. Reformasi boleh berjalan lama, tetapi pengkhianatan terhadap keadilan berulang kali dilakukan tanpa punitas. Institusi penegak hukum tetap sama. Itu adalah alat kekuasaan untuk mengamankan diri secara ideologis dan represif dengan memutarbalikkan rasa keadilan masyarakat.

Lalu apa?

Luka keadilan amat sulit disembuhkan. Politik pencitraan pasti tumpul saat berhadapan dengan rakyat yang terluka rasa keadilannya. Tim 8 sudah selesai bekerja. Rekomendasinya amat komprehensif dan untuk sementara meredam amuk politik rakyat. Namun, kita semua masih berharap, Presiden akan bertindak. Jika tidak (bertindak) dan pasif, dapat membuat kredibilitas Tim 8 rusak. Tim 8 akan dipersepsi rakyat sebagai bagian politik pencitraan.
Luka keadilan sudah cukup dalam. Kita ada di pengujung gerakan sosial yang masif. Rakyat bukan anak kecil yang terdiam setelah diberi baju baru. Hampir di semua media, rakyat yang anonim menjadi subyek lugas dan beridentitas. Rakyat bukan lagi ruang kosong dalam demokrasi. Dia muncul nyata di berbagai forum publik. Rakyat yang nyata memiliki kekuatan yang tidak kalah nyatanya.

Kita sudah menyaksikan bagaimana kriminalisasi tidak hanya menyentuh pejabat negara atau pimpinan media. Ketidakadilan sudah dirasakan rakyat jelata bernama Minah. Minah lebih mudah dijadikan ikon guna mengidentifikasikan diri. Kejelataan Minah mampu memompa solidaritas dalam skala besar yang (dapat saja) memiliki konsekuensi politik serius.

Dalam kondisi abnormal seperti ini bukan saatnya berdebat tentang hukum tata negara. Konstitusi adalah dokumen yang dihidupkan keadilan. Konstitusi adalah sarana, bukan keadilan itu sendiri. Kehendak politik yang menciptakan konstitusi harus diperhatikan. Apa kehendak politik itu? Kehendak politik adalah penciptaan sebuah tertib sosial berkeadilan. Kekuasaan terikat pada kehendak politik itu, bukan pasal-pasal mati konstitusi.

Saat keadilan terluka, kekuasaan dapat mengambil bentuk mistisnya. Kekuasaan eksekutif dapat melepas ikatan konstitusionalnya saat keadilan dalam bahaya. Presiden dapat melepaskan diri dari batas-batas konstitusional dan melakukan intervensi yang diperlukan atas yudikatif.
Dengan demikian, Presiden melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mengembalikan kepercayaan rakyat.
Kedua, meletakkan batu pertama reformasi institusi penegak hukum. Intervensi yudikatif adalah langkah konkret pertama dalam upaya pemberantasan mafia peradilan.
Presiden Soekarno keras menerabas prinsip trias politika saat membubarkan konstituante.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang menjadi perdebatan hukum tata negara tanpa henti. Namun, dekrit itu, tak dapat disangkal, adalah monumen politik yang menunjukkan kepekaan dan ketegasan Presiden terhadap abnormalitas politik yang sedang terjadi.

Presiden memang tidak perlu bertindak sejauh itu, cukup melakukan dua hal. Pertama, memberhentikan proses hukum Bibit-Chandara. Kedua, mencopot pejabat yang terlibat persekongkolan jahat itu. Setelah itu, proses reformasi institusional berkelanjutan dilakukan. Tanpa itu semua, pemerintahan akan dihantui ketidakpercayaan rakyat yang kian menggumpal. Keadilan mungkin buta, tetapi dia dapat melihat di kegelapan.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Hukum UI

Selamat Tinggal Perdamaian

Rencana Mahmoud Abbas untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilu presiden Palestina awal tahun depan memunculkan kekhawatiran atas masa depan proses perdamaian.
Abbas dikenal konsisten mengedepankan negosiasi penyelesaian Israel-Palestina.

Banyak yang mengaitkan keputusan itu dengan kekecewaan Abbas atas AS yang dinilai tidak mendukung perdamaian, seperti sikap AS dalam pembangunan permukiman Yahudi. Yang penting bagi Palestina--dibandingkan dengan mencari tahu alasan dan untuk apa keputusan itu diambil--adalah menyiapkan regenerasi kepemimpinan secara damai.

Regenerasi

Sebagai tangan kanan Yasser Arafat, Abbas dianggap bagian rezim lama Palestina, menjadikan posisi politiknya sering dipertanyakan. Munculnya Marwan Barghouti, kandidat presiden dalam pemilu terdahulu, atau upaya kudeta oleh Mohammad Dahlan adalah salah satu contoh. Hal ini merupakan bagian konflik kelompok muda dan tua Fatah, berakar pada ketidakpuasan generasi muda Fatah terhadap ”pembantu Arafat”. Mundurnya Abbas dari politik Palestina akan membuka perubahan yang berdampak pembaruan kebijakan dan ide dasar perdamaian.

Tidak seperti hilangnya Arafat dari politik Palestina, pilihan untuk memberikan sinyal yang dilakukan Abbas akan dimanfaatkan untuk menjaga regenerasi berjalan lancar. Sebagai dasar, Abbas telah melakukan aneka perubahan, berpusat pada upaya membuka jalur politik bagi kelompok muda. Reformasi terhadap komite pusat atau dewan revolusioner dalam Fatah telah memberikan akses lebih besar bagi kemunculan generasi muda Fatah. Pelaksanaan kongres Fatah menjadi indikasi lain bagi regenerasi ala Abbas dalam tubuh Fatah.

Upaya regenerasi ini akan berdampak positif pada citra Fatah yang terkikis beberapa tahun terakhir karena korupsi dan mismanajemen. Pilihan ini akan meningkatkan daya tawar Fatah vis-à-vis Hamas dalam pemilu legislatif yang akan digelar hampir bersamaan. Menciptakan sinergi antara kelompok muda dan tua menjadi pekerjaan tersendiri.

Perimbangan kekuasaan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait rencana Abu Mazen adalah program reformasi sistem ketatanegaraan. Salah satu kelemahan yang sering dimanfaatkan dalam perdamaian adalah dominasi peran presiden dalam sistem politik Palestina.

Proses perdamaian sering hadir sebagai one man show dari sisi Palestina. Pemusatan kekuasaan di tangan memungkinkan presiden mengontrol hasil perdamaian dalam bentuk apa pun tanpa perlu dikonsultasi dengan cabang-cabang kekuasaan lain. Akibatnya, keputusan berdamai sering dipandang mengingkari kebutuhan mendasar publik. Tidak jarang, keputusan berdamai menimbulkan perpecahan kian lebar. Situasi ini menjadi ciri utama politik perdamaian di Palestina sejak penandatanganan Oslo.

Kondisi perimbangan kekuasaan harus mulai ditumbuhkan untuk bisa menjadikan proses perdamaian sebagai urusan semua pihak. Meski hal ini akan menyulitkan negosiasi damai, penolakan terhadap hasil negosiasi damai akan menjadi minimal. Selain itu, langkah ini juga akan mampu memperbaiki perseteruan intra-Palestina yang sebenarnya berpusat pada keinginan untuk menggapai kekuasaan dan ketidaksepakatan mengenai skema perdamaian.
Kinerja Abbas dalam hal ini memang belum maksimal. Meski membuka saluran bagi masuknya berbagai kelompok di luar PLO untuk terlibat kehidupan demokrasi, beberapa pembenahan perlu dilakukan. Tantangan terbesar untuk program pembenahan ini, selain niat kuat politik, adalah gangguan kondisi eksternal. Rencana yang digulirkan Abbas bisa dijadikan pijakan untuk menumbuhkan niatan politik itu. Abbas akan dikenal sebagai penjaga proses transisi menuju Palestina yang lebih baik.

Tantangan

Selain itu, keputusan Abbas memunculkan dua tantangan mendesak untuk dilakukan.
Pertama, upaya untuk membangun kondisi yang kondusif di dalam negeri. Siapa pun bisa memanfaatkan keputusan Abbas, baik mereka yang ada di Fatah maupun Hamas, untuk memaksimalkan posisi politiknya menjelang pemilu. Kedewasaan untuk tidak mengambil keuntungan dengan kekerasan, atau memaksimalkan akumulasi sumber kekerasan, menjadi penting.
Dalam kebutuhan ini, peringatan dini Abbas harus dilihat sebagai kesempatan untuk bertarung di gelanggang politik sekaligus membangun jejaring dalam menghadapi pemilu secara fair. Upaya rekonsiliasi yang difasilitasi Mesir dapat diarahkan dalam kebutuhan ini.

Kedua, meyakinkan pihak luar, terutama donor. Proses perdamaian terikat aliran dana para donor. Mundurnya figur Abbas yang identik dengan perdamaian akan memunculkan tantangan untuk meyakinkan donor bahwa stabilitas di Palestina dan niatan untuk menggelar proses perdamaian akan tetap terjaga.

Keberhasilan dari upaya itu akan ditentukan kemampuan para pihak di Palestina untuk tetap teduh hingga pelaksanaan pemilu. Kebutuhan untuk menjaga kondisi teduh ini akan jadi kian sulit mengingat provokasi Israel terus berlangsung. Kemampuan aneka kelompok Palestina untuk menahan diri dari provokasi Israel menjadi hal penting.

Jika memang Abu Mazen memilih mengakhiri karier politiknya pada pemilu mendatang, hal itu harus dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk memperbarui proses perdamaian dan bukan sebagai sinyal kematian proses perdamaian.

Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI

Selamat Tinggal Perdamaian

Rencana Mahmoud Abbas untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilu presiden Palestina awal tahun depan memunculkan kekhawatiran atas masa depan proses perdamaian.
Abbas dikenal konsisten mengedepankan negosiasi penyelesaian Israel-Palestina.

Banyak yang mengaitkan keputusan itu dengan kekecewaan Abbas atas AS yang dinilai tidak mendukung perdamaian, seperti sikap AS dalam pembangunan permukiman Yahudi. Yang penting bagi Palestina--dibandingkan dengan mencari tahu alasan dan untuk apa keputusan itu diambil--adalah menyiapkan regenerasi kepemimpinan secara damai.

Regenerasi

Sebagai tangan kanan Yasser Arafat, Abbas dianggap bagian rezim lama Palestina, menjadikan posisi politiknya sering dipertanyakan. Munculnya Marwan Barghouti, kandidat presiden dalam pemilu terdahulu, atau upaya kudeta oleh Mohammad Dahlan adalah salah satu contoh. Hal ini merupakan bagian konflik kelompok muda dan tua Fatah, berakar pada ketidakpuasan generasi muda Fatah terhadap ”pembantu Arafat”. Mundurnya Abbas dari politik Palestina akan membuka perubahan yang berdampak pembaruan kebijakan dan ide dasar perdamaian.

Tidak seperti hilangnya Arafat dari politik Palestina, pilihan untuk memberikan sinyal yang dilakukan Abbas akan dimanfaatkan untuk menjaga regenerasi berjalan lancar. Sebagai dasar, Abbas telah melakukan aneka perubahan, berpusat pada upaya membuka jalur politik bagi kelompok muda. Reformasi terhadap komite pusat atau dewan revolusioner dalam Fatah telah memberikan akses lebih besar bagi kemunculan generasi muda Fatah. Pelaksanaan kongres Fatah menjadi indikasi lain bagi regenerasi ala Abbas dalam tubuh Fatah.

Upaya regenerasi ini akan berdampak positif pada citra Fatah yang terkikis beberapa tahun terakhir karena korupsi dan mismanajemen. Pilihan ini akan meningkatkan daya tawar Fatah vis-à-vis Hamas dalam pemilu legislatif yang akan digelar hampir bersamaan. Menciptakan sinergi antara kelompok muda dan tua menjadi pekerjaan tersendiri.

Perimbangan kekuasaan

Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait rencana Abu Mazen adalah program reformasi sistem ketatanegaraan. Salah satu kelemahan yang sering dimanfaatkan dalam perdamaian adalah dominasi peran presiden dalam sistem politik Palestina.

Proses perdamaian sering hadir sebagai one man show dari sisi Palestina. Pemusatan kekuasaan di tangan memungkinkan presiden mengontrol hasil perdamaian dalam bentuk apa pun tanpa perlu dikonsultasi dengan cabang-cabang kekuasaan lain. Akibatnya, keputusan berdamai sering dipandang mengingkari kebutuhan mendasar publik. Tidak jarang, keputusan berdamai menimbulkan perpecahan kian lebar. Situasi ini menjadi ciri utama politik perdamaian di Palestina sejak penandatanganan Oslo.

Kondisi perimbangan kekuasaan harus mulai ditumbuhkan untuk bisa menjadikan proses perdamaian sebagai urusan semua pihak. Meski hal ini akan menyulitkan negosiasi damai, penolakan terhadap hasil negosiasi damai akan menjadi minimal. Selain itu, langkah ini juga akan mampu memperbaiki perseteruan intra-Palestina yang sebenarnya berpusat pada keinginan untuk menggapai kekuasaan dan ketidaksepakatan mengenai skema perdamaian.
Kinerja Abbas dalam hal ini memang belum maksimal. Meski membuka saluran bagi masuknya berbagai kelompok di luar PLO untuk terlibat kehidupan demokrasi, beberapa pembenahan perlu dilakukan. Tantangan terbesar untuk program pembenahan ini, selain niat kuat politik, adalah gangguan kondisi eksternal. Rencana yang digulirkan Abbas bisa dijadikan pijakan untuk menumbuhkan niatan politik itu. Abbas akan dikenal sebagai penjaga proses transisi menuju Palestina yang lebih baik.

Tantangan

Selain itu, keputusan Abbas memunculkan dua tantangan mendesak untuk dilakukan.
Pertama, upaya untuk membangun kondisi yang kondusif di dalam negeri. Siapa pun bisa memanfaatkan keputusan Abbas, baik mereka yang ada di Fatah maupun Hamas, untuk memaksimalkan posisi politiknya menjelang pemilu. Kedewasaan untuk tidak mengambil keuntungan dengan kekerasan, atau memaksimalkan akumulasi sumber kekerasan, menjadi penting.
Dalam kebutuhan ini, peringatan dini Abbas harus dilihat sebagai kesempatan untuk bertarung di gelanggang politik sekaligus membangun jejaring dalam menghadapi pemilu secara fair. Upaya rekonsiliasi yang difasilitasi Mesir dapat diarahkan dalam kebutuhan ini.

Kedua, meyakinkan pihak luar, terutama donor. Proses perdamaian terikat aliran dana para donor. Mundurnya figur Abbas yang identik dengan perdamaian akan memunculkan tantangan untuk meyakinkan donor bahwa stabilitas di Palestina dan niatan untuk menggelar proses perdamaian akan tetap terjaga.

Keberhasilan dari upaya itu akan ditentukan kemampuan para pihak di Palestina untuk tetap teduh hingga pelaksanaan pemilu. Kebutuhan untuk menjaga kondisi teduh ini akan jadi kian sulit mengingat provokasi Israel terus berlangsung. Kemampuan aneka kelompok Palestina untuk menahan diri dari provokasi Israel menjadi hal penting.

Jika memang Abu Mazen memilih mengakhiri karier politiknya pada pemilu mendatang, hal itu harus dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk memperbarui proses perdamaian dan bukan sebagai sinyal kematian proses perdamaian.

Broto Wardoyo Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI

Pajak Penjualan Jadi Sumber Pendapatan

Oleh Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo

Di bidang ekonomi, kita sering mengetahui adanya pendulum ke kiri dan kanan bagaikan bandul jam. Pendulum itu juga terjadi di dunia perpajakan internasional.

Suatu saat, Pajak Penjualan merupakan sumber pendapatan utama pemerintah. Untuk memaksimalkan pendapatan, pajak ini dikembangkan dengan varian lain, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Namun, karena kompleksnya upaya pengumpulan, pendulum bergerak ke kanan di mana Pajak Penghasilan lalu mendapat dorongan besar sebagai sumber penghasilan utama.

Mengingat besarnya kebutuhan keuangan pemerintah di negara maju, Pajak Penghasilan diupayakan sebesar mungkin dengan meningkatkan tarif pajak disertai tingkat progresivitas tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir kita melihat pendulum bergerak kembali. Negara Hongkong dan Singapura merupakan pelopor pergerakan pendulum itu. Tarif Pajak Penghasilan diturunkan signifikan. Kedua negara itu seakan bersaing untuk menjadi yang paling kompetitif di bidang perpajakan sehingga akhirnya menarik banyak perusahaan untuk membukukan laba di negara itu melalui transfer pricing.

Sementara itu, bagi banyak individu, Singapura dimanfaatkan untuk menghindarkan pajak di dalam negeri yang tinggi. Keadaan itu memperkuat Singapura sebagai tempat menaruh dana oleh perusahaan maupun individu dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Negara lain yang juga berhasil menggerakkan pendulum itu adalah Rusia, di mana tarif Pajak Penghasilan dibuat rata, pada tingkat 13 persen saja. Ternyata kesederhanaan peraturan dan perhitungannya membuat Rusia mampu mengumpulkan pajak berkali lipat.

Indonesia

Indonesia sendiri merupakan contoh menarik dalam pendulum perpajakan. Dari pengandalan pada Pajak Penjualan di awal pembangunan, pendulum bergerak ke arah Pajak Penghasilan. Dalam RAPBN 2010 misalnya, target Pajak Penghasilan diharapkan mencapai Rp 340 triliun (termasuk PPH Migas).

Sementara Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai ditargetkan Rp 267 triliun. Komposisi semacam itu terjadi meski tarif Pajak Penghasilan sudah mengalami penurunan signifikan. Hanya dalam tiga tahun, tarif Pajak Penghasilan Badan diturunkan dari 30 persen menjadi 25 persen. Bahkan, perusahaan yang sahamnya terdaftar di pasar modal dan saham yang floating melebihi 40 persen mendapat insentif perpajakan lebih lanjut sebesar 5,0 persen sehingga tarif pajaknya menjadi 20 persen.

Pada tingkat ini tarif pajak menjadi kian kompetitif, mendekati tarif yang ada di Singapura. Keputusan menurunkan tarif Pajak Penghasilan itu merupakan keputusan amat berani dan patut diberikan apresiasi.

Melihat perkembangan itu, rasanya tepat waktu untuk merencanakan pergerakan pendulum baru, dengan mendorong sumber perpajakan dari Pajak Penjualan. Singapura menerapkan strategi itu dengan awalnya memperkenalkan goods and services tax (GST) yang tarifnya dimulai 3,0 persen tahun 1994. Perlahan, tarif GST itu lalu dinaikkan dan sejak 2007 menjadi 7,0 persen. Dengan demikian, sumber perpajakan Singapura menjadi lebih berimbang, di mana Pajak Penghasilan-nya amat kompetitif, sedangkan Pajak Penjualan menjadi sumber pendapatan yang kian penting.

Pajak Penjualan

Pajak Penjualan di Indonesia berpotensi luar biasa. Perekonomian Indonesia, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) pada harga yang berlaku (PDB nominal), mengalami pertumbuhan amat tinggi. Tahun 2008, saat PDB riil tumbuh 6,1 persen, PDB nominal tumbuh 25,4 persen. Itulah yang membuat PPN mengalami pertumbuhan tinggi. Rasio Pajak Penghasilan terhadap PPN yang semula 1,40 (2004) menjadi 1,12 (2009).

Melihat prospek perekonomian Indonesia pada masa mendatang, potensi pengembangan Pajak Penjualan akan kian besar. Tahun 2015, misalnya, PDB nominal Indonesia mungkin mencapai di atas Rp 10.000 triliun. Jumlah ini memungkinkan tercapainya penghasilan Pajak Penjualan lebih besar karena daya beli masyarakat akan memungkinkan terjadinya transaksi jual beli yang jumlahnya dua kali lipat dari yang ada kini, dan amat mungkin terjaring pajak itu.

Di tingkat bisnis ritel, kian banyak kegiatan jual beli yang dilakukan melalui modern trade, seperti pasar swalayan, toserba, dan minimarket. Sebuah perusahaan multinasional di bidang barang konsumsi mengatakan, komposisi penjualan mereka yang dilakukan melalui modern trade meningkat pesat dari sekitar 20 persen beberapa tahun lalu kini mendekati 50 persen.

Demikian pula bisnis hotel, restoran, dan hiburan lain tumbuh subur. Jenis perdagangan barang dan hiburan ini menggunakan administrasi lebih modern sehingga pengenaan Pajak Penjualan dan pengumpulannya jauh lebih mudah dilakukan.

Untuk memperkuat pergeseran itu, pemerintah dapat memulainya dengan sedikit menaikkan tarifnya, misalnya dari 10 persen menjadi 11 persen. Penaikan tarif itu rasanya tidak akan secara signifikan memengaruhi tingkat inflasi kita. Dalam jangka waktu lima tahun, tarif pajak itu dapat diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi hasil signifikan, tetapi tetap tidak menjadi beban. Dengan cara ini tarif Pajak Penghasilan dapat dibuat lebih kompetitif lagi pada tahun-tahun mendatang.

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi

Masalah Pertanian Kita

Berbeda dengan para menteri pertanian sebelumnya yang ingin menggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria.

Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.

Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).

Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.

Agenda lanjutan

Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.

Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.

Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.

Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.

Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.

Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.

Perlu lompatan

Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.

Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.

Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.

Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.

Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

Aktivis Mahasiswa Unjuk Rasa

Kasus Century Harus Diusut
 
Senin, 23 November 2009 | 04:16 WIB

Jakarta, Kompas - Aktivis mahasiswa 1998, yang tergabung dalam Indonesia Crisis Center, mendesak pengusutan kasus Bank Century. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memberikan keleluasaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan membongkar kasus itu.

Aksi Indonesia Crisis Center (ICC) di pelataran Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Minggu (22/11), diikuti oleh sekitar seratus orang. Acara bertema ”Petisi Kaum Muda, Bebaskan Indonesia dari Korupsi” itu diisi dengan orasi dari beberapa aktivis 1998, kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu ”Darah Juang”. Pada akhir acara, mereka berdiri di tangga Kantor KPK untuk membacakan Petisi Kaum Muda.

Ada empat tuntutan Petisi Kaum Muda, salah satunya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengusut tuntas dugaan korupsi dalam kasus Bank Century.
Di akhir petisi, ICC menyatakan, ”Maaf, kami belum memiliki kepercayaan kepada institusi penegak hukum lain, seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, sampai reformasi menyeluruh dilakukan terhadap kedua lembaga itu.”
”Ketegasan yang harus dijalankan Presiden ini menjadi ukuran apakah rakyat akan tetap mempertahankan mandat atau menariknya kembali. Sekali lagi, maaf, kami tidak bisa menerima pernyataan ’jangan paksa saya’. Hari ini, kami memaksa,” tegas juru bicara ICC, Mixil Minamunir, ketika membacakan petisi kaum muda.
Mixil mengatakan, Presiden tidak boleh tebang pilih dalam pemberantasan kasus korupsi, termasuk untuk kasus Bank Century harus diusut tuntas. Menurut Mixil, paling tidak ada dua pejabat yang harus diperiksa dalam kasus Bank Century.

Aktivis lainnya, Harris Rusli, mengatakan, dalam kasus Bank Century ada penyalahgunaan wewenang yang harus diusut tuntas. Dalam kasus Bank Century, menurut Harris, telah terjadi penyalahgunaan wewenang luar biasa. ”Presiden harus turun tangan karena ada indikasi kuat dua pejabat yang terlibat,” katanya.

Harris juga mengatakan, keputusan pemerintah untuk mengucurkan dana ke Bank Century dengan alasan mencegah krisis perbankan adalah ilegal. Menurut dia, bangkrutnya Bank Century semat-mata karena kejahatan keuangan, bukan disebabkan oleh krisis ekonomi. ”Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang menjadi dasar penyelamatan Bank Century tidak diterima oleh DPE. Maka, perppu itu batal karena tidak lebih dari dagelan aparat pemerintah yang melakukan korupsi,” kata dia. (SIE)

MAFIA PERADILAN Dari Recehan sampai Miliaran

Senin, 23 November 2009

Cerita tentang mafia peradilan bukan dongeng belaka. Gambaran karut-marutnya dunia hukum di Indonesia itu terjadi di banyak tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga rumit, melibatkan recehan hingga uang miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi pemain di dalamnya.

Tawaran permainan uang secara sederhana dikisahkan Nugroho kepada Kompas, Sabtu (21/11). Sekitar sembilan tahun lalu ibunya yang berprofesi sebagai pedagang diciduk polisi dengan tuduhan menadah barang curian.

Sri, ibu Nugroho, kebetulan mendapat tawaran sepatu dengan harga ”cuci gudang” alias obral dari seorang sales. Namun, sepekan setelah transaksi terjadi, polisi datang ke rumah Sri bersama si sales. Ternyata sepatu yang dijual sales tersebut adalah sepatu curian!

Esoknya, Sri diminta datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan kemudian menandatangani surat berupa blangko yang diisi tulisan tangan.

Sri, sebagai masyarakat yang tidak paham hukum dan malu dikaitkan dengan persoalan hukum, ingin cepat-cepat menyelesaikan pemeriksaan. Akibatnya, tanpa dibaca, surat yang disodorkan polisi ditandatangani. Ternyata surat itu menyebutkan Sri sebagai tersangka, dikenai pasal 480 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Penadahan.

Sri mempertanyakan status tersangka itu hingga oknum polisi menawarinya untuk berdamai. Sri harus menyediakan uang Rp 20 juta agar statusnya dapat berubah menjadi saksi. Tanpa uang, Sri akan terus menjadi tersangka dan diseret ke pengadilan. Setelah melalui proses tawar-menawar yang alot, akhirnya tercapai ”harga damai” Rp 7 juta.

Kenapa Sri memutuskan meladeni permintaan uang itu? Alasannya, jika maju ke pengadilan, akan menghabiskan lebih banyak waktu, lebih banyak uang, dan lebih banyak malu.

Dipermainkan

Tak pernah terbayang dalam pikiran Wijaya—bukan nama sebenarnya—salah satu pimpinan perusahaan telekomunikasi swasta nasional, berhubungan dengan polisi.
Urusan ini bermula ketika laki-laki keturunan Tionghoa itu didatangi calon investor yang mengaku memiliki uang Rp 80 miliar hingga Rp 100 miliar.

Calon investor itu ingin membeli perusahaan Wijaya. Lantas si calon investor itu bertanya-tanya tentang data perusahaan, termasuk pernah bersengketa ataukah tidak.

Wijaya mengakui, perusahannya pernah terbelit sengketa yang sebenarnya sudah selesai secara substansi. Menanggapi hal itu, si calon investor—yang mengaku kenal pejabat tinggi di kepolisian dan kejaksaan—menawarkan bantuan menyelesaikan sengketa itu. Wijaya tergoda sehingga menyerahkan pengurusan perkara sengketa tersebut ke calon investor.

Alih-alih perkara selesai, Wijaya malah dipusingkan dengan perkara pidana baru yang tiba-tiba saja muncul. Ia memercayakan pengurusan ini kepada calon investor. Wijaya terpaksa mengeluarkan uang Rp 4 miliar untuk si calon investor dan Rp 13 miliar untuk mengurus kasus.

Lama-lama Wijaya sadar bahwa dirinya dipermainkan. Si calon investor ini sebenarnya ingin mencaplok perusahaannya tanpa melalui proses jual beli. ”Dia ini canggih sekali. Ia tidak hanya memfasilitasi penyelesaian kasus, tapi bisa membuat kasus,” ujarnya.

Mengakar ke mana-mana

Advokat Petrus Selestinus mengungkapkan, praktik-praktik semacam itu lazim terjadi di dunia penegakan hukum Indonesia. Bahkan, ada juga oknum pengacara yang dekat dengan jaksa dan polisi sehingga seolah-olah menjadi ”rekanan” penegak hukum itu. Tersangka atau saksi yang diperiksa di kejaksaan atau kepolisian disarankan memakai jasa pengacara itu.

Sebaliknya, oknum pengacara itu melakukan lobi-lobi kasus, menawarkan ataupun diperalat oleh penegak hukum untuk mengatur uang dari klien. Model-model tawaran bantuan yang diberikan bermacam-macam. Ada paket menghentikan status tetap sebagai saksi dan tidak menjadi tersangka, tersangka tetapi tidak ditahan, upaya agar kasus tidak sampai ke penuntutan, dan sebagainya.

Tarifnya beragam, tergantung dari kemampuan orang yang terkena masalah hukum, mulai dari jutaan rupiah hingga puluhan miliar rupiah.

Menurut Petrus Selestinus, makelar kasus ini beroperasi hampir di semua lembaga penegak hukum, baik polisi, jaksa, pengadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun komisi hukum DPR. ”Bahkan, jangan lupakan juga di Badan Pemeriksa Keuangan terkait penerbitan hasil audit tentang ada tidaknya kerugian negara,” kata Petrus.
Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Sementara KPK, membantah tudingan itu.

Satjipto Rahardjo, guru besar emiritus sosiologi hukum Diponegoro, Semarang, menyebutkan, salah satu peluang terciptanya mafia peradilan adalah banyaknya telinga di sekitar pengambil putusan dan proses pengambilan putusan. Misalnya, saat munculnya advis—yang bisa menunjukkan arah putusan—sesudah majelis hakim berunding tentang putusan. Para pemilik telinga, antara lain asisten, juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang berkepentingan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy kepada wartawan, Jumat (20/11), mengakui, ada banyak cara yang digunakan makelar kasus untuk memengaruhi proses penanganan perkara, misalnya agar proses penyidikan diperlama. Namun, Marwan menjamin, ia telah menegaskan kepada anak buahnya agar mempercepat penanganan perkara.

Ketua Muda (MA) Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali menyatakan, MA sudah serius mengawasi hakim dan aparat pengadilan. Sepanjang tahun 2009, sebanyak 74 hakim dijatuhi sanksi.
Kini, kembali pada niat untuk membersihkan institusi hukum dari mafia peradilan. Bersihkan dan jangan menutup mata! (susana rita/dewi indriastuti)

Kondisi Dokter Umum Memprihatinkan

MUKTAMAR IDI
Senin, 23 November 2009 | 04:08 WIB
 
PALEMBANG, KOMPAS Kondisi dokter umum di Indonesia memprihatinkan. Sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan masyarakat, mereka belum mendapatkan jaminan kesejahteraan yang layak.

Demikian dikemukakan dr Prijo Sidipratomo SpRad (K) seusai dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2009-2012 dalam Muktamar Dokter Indonesia XXVII yang digelar pada 18-22 November di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (22/11) dini hari.

Prijo menilai gaji dokter umum tidak sebanding dengan pengabdian dan tuntutan profesi. Selain itu, jenjang karier, baik struktural maupun profesional, tidak jelas. Hal itu, misalnya, untuk menjadi dokter spesialis, dokter umum harus berinisiatif dan menanggung biaya pendidikan sendiri. Menurut Prijo, pendidikan spesialis seharusnya menjadi sistem reward bagi dokter umum atas pengabdiannya.

Akibat rendahnya jaminan kesejahteraan, dari sekitar 65 juta dokter umum, 80 persen bertugas di Pulau Jawa. Mereka enggan bertugas di luar Jawa karena beban hidup keluarga maupun profesi tidak dijamin. Untuk itu, IDI mendesak pemerintah segera melaksanakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pemberlakuan UU itu diharapkan mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi dokter umum sehingga tidak enggan bertugas di daerah terpencil.

Pada Sabtu, Sekretaris Jenderal PB IDI periode lalu, dr Zaenal Abidin MHKes, terpilih sebagai president elect (presiden terpilih). Presiden IDI terpilih akan menjadi Ketua PB IDI periode 2012-2015 yang akan dikukuhkan pada Muktamar XXVIII tahun 2012. Zaenal mengalahkan dua kandidat lain, Prof Dr dr Eddy Rahardjo (IDI Jatim) SpAn (K)IC dan Dr Djoko Widyarto JS DMH MHKes (IDI Jateng). (LAS)

INFRASTRUKTUR Sifon Kali Malang Dibangun Juni 2010

Senin, 23 November 2009 | 03:30 WIB

Bekasi, Kompas - Gorong- gorong (sifon) untuk memisahkan air dari Saluran Irigasi Tarum Barat/Kali Malang dengan air Kali Bekasi di sekitar Bendung Bekasi, Kota Bekasi, akan dibangun mulai Juni 2010. Pembangunan sifon Saluran Tarum Barat itu didanai pemerintah pusat dan dikerjakan Departemen Pekerjaan Umum.

Sifon dibutuhkan untuk menjaga kualitas air dari Saluran Irigasi Tarum Barat yang menjadi sumber air baku air minum bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), baik di Kota Bekasi maupun DKI Jakarta. Selain itu, pembangunan sifon juga dapat mengurangi banjir di wilayah perkotaan di Kota Bekasi. Hal itu dikatakan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad, Sabtu (21/11).

”Kami sudah bertemu Menteri Pekerjaan Umum beberapa waktu lalu. Hasilnya, dalam enam bulan ke depan akan ada kegiatan terkait penanganan banjir di Bekasi. Salah satu kegiatan yang akan dikerjakan adalah pembangunan sifon Kali Malang,” kata Mochtar.

”Pembangunan sifon Kali Malang menggunakan dana APBN dan dana bantuan dari ADB (Bank Pembangunan Asia),” ujar Mochtar.

Saluran Irigasi Tarum Barat membelah Kota Bekasi dari timur ke barat, sementara Kali Bekasi membelah dari selatan ke utara. Kedua aliran sungai itu bersilangan di sekitar Bendung Bekasi, Bekasi Timur, Kota Bekasi. Dari Bendung Bekasi itu, air Kali Malang yang sudah bercampur dengan air Kali Bekasi dialirkan ke barat menuju wilayah DKI Jakarta.

Selain untuk menjaga kemurnian kualitas air baku air minum dari Jatiluhur, pemisahan Saluran Irigasi Tarum Barat dengan Kali Bekasi juga akan mengurangi ancaman banjir di kawasan perkotaan. (COK)

20 November 2009

Memboikot Sertifikasi

Jumat, 20 November 2009 | 04:10 WIB
Ki Supriyoko
Sungguh mengejutkan. Forum Rektor Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan akan memboikot pelaksanaan sertifikasi tahun 2010.
Pasalnya ada ketidakberesan masalah keuangan terkait pengembalian honor para instruktur yang telah dibayarkan; padahal tenaga instruktur diambil dari kalangan profesional, doktor, hingga profesor.
Konon, persoalan dimulai dari pemeriksaan keuangan oleh Inspektorat Jenderal Depdiknas yang mengambil tenaga dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pihak BPKP merasa bekerja berdasarkan peraturan; sementara pihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menganggap peraturan itu amat tidak manusiawi jika diterapkan dalam konteks sertifikasi.
Dengan hati-hati, Menteri Pendidikan Nasional mencoba merespons boikot itu sambil memberikan klarifikasi kepada masyarakat bahwa pelaksanaan sertifikasi tidak akan dihentikan.
Positif
Ada pengalaman empiris yang perlu dicatat. Baru saja kami menemui ratusan guru di seluruh Indonesia yang telah menerima tunjangan profesi atas keberhasilannya dalam sertifikasi, baik melalui jalur portofolio maupun jalur diklat. Sebagai catatan, guru yang lolos sertifikasi akan menerima tunjangan profesi. Mereka ada yang tinggal di kota seperti di Jakarta dan Medan, dan ada pula yang tinggal di daerah seperti Ternate, Maluku Utara, dan Kupang, NTT.
Meski tempat tinggal berbeda, respons atas diterimanya tunjangan profesi sama: gembira dan bersyukur. Seorang guru SD negeri di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, amat senang menerima tunjangan profesi karena gajinya di atas Rp 5 juta. Seorang guru TK swasta di Gorontalo bersyukur karena menerima tunjangan profesi hampir empat kali lipat gajinya. Secara kuantitatif, ratusan guru yang kami temui menyambut gembira hal ini.
Dampak
Bahwa sertifikasi berdampak menambah kesejahteraan keluarga guru, ini fakta tidak terbantahkan. Sekitar 60 persen dari ratusan guru yang kami wawancarai menggunakan tambahan penghasilannya itu untuk membeli laptop guna meningkatkan produktivitas pengajaran. Sampai di sini tunjangan profesi berdampak positif terhadap kesejahteraan keluarga dan pemenuhan perangkat pembelajaran.
Namun, saat ditanyakan apakah tunjangan profesi yang diterima berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar anak didik, mereka kesulitan untuk menjawab secara lugas.
Sebagian guru menyatakan, tunjangan profesi yang diterima belum berpengaruh pada prestasi belajar anak didik. Sebagian lagi menjawab tidak tahu, tidak yakin, dan yang lain menjawab ada pengaruh positif meski masih amat kecil.
Jadi, sertifikasi berdampak dan berpengaruh positif pada kesejahteraan keluarga. Itu tidak terbantahkan. Namun, apakah sertifikasi berpengaruh positif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa masih harus dikaji lebih mendalam.
Di sisi lain, sertifikasi juga berdampak negatif. Mengapa? Karena umumnya tidak semua guru di suatu sekolah sudah mendapat giliran sertifikasi. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemburuan antarguru. Hujan tidak merata karena rezeki hanya diberikan kepada guru yang telah bersertifikat. Apalagi guru yang sudah bersertifikat mulai melancarkan aneka tuntutan tanpa memedulikan guru yang belum bersertifikat. Tuntutan itu antara lain agar pemerintah membayar tunjangan profesi tepat waktu, agar nominal tunjangan profesi dinaikkan, dan sebagainya.
Gertak sambal
Berbagai temuan empiris itu perlu dikemukakan agar pemerintah mengerti bahwa para guru dan Forum Rektor LPTK mengetahui serta memahami persoalan yang muncul sebagai dampak sertifikasi. Jika Forum Rektor dan pimpinan LPTK ngambek dengan memboikot pelaksanaan sertifikasi, tentu akan muncul masalah baru yang ujungnya akan merugikan guru.
Bahwa sertifikasi belum membawa dampak nyata bagi peningkatan prestasi belajar siswa kiranya benar, tetapi setidaknya sertifikasi secara riil telah meningkatkan kesejahteraan guru yang diharapkan dalam jangka panjang membawa kemajuan pendidikan nasional. Dengan kesejahteraan itu, diharapkan keprofesionalan pun akan diraih.
Seandainya Forum Rektor LPTK benar-benar memboikot pelaksanaan sertifikasi, bisa jadi akan terjadi kemandekan, bahkan mungkin kekacauan dalam pelaksanaan sertifikasi guru yang ratusan ribu jumlahnya. Hal itu memang benar, tetapi bukan berarti tanpa peran Forum Rektor LPTK, semua akan berakhir. Itu sebabnya Depdiknas—khususnya Mendiknas—perlu segera menyelesaikan ”kemelut” ini secara bijak.
Pada sisi lain, diharapkan Mendiknas memahami ”psikologi orang Indonesia”. Ancaman boikot seperti itu bisa jadi hanya gertak sambal, sebagai siasat agar pimpinan departemen memberikan perhatian serius dalam penyelesaian masalah. Kita yakin teman-teman Forum Rektor LPTK punya nurani yang tidak akan menegakan nasib ratusan ribu guru beserta keluarganya.
Menyelesaikan masalah yang dihadapi Forum Rektor LPTK kiranya penting. Namun, menyelesaikan masalah yang dihadapi para guru yang belum mendapat giliran sertifikasi adalah jauh lebih penting.
Ki SupriyokoDirektur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa, Yogyakarta