“Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat
dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian“
Pramoedya Ananta Toer
Tanggal 2 Maret 2012 lalu istri saya
memaksa agar saya segera membeli tiket perdana film Negeri 5 Menara.
Istri saya sangat excited untuk segera menonton film yang diadaptasi
dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi dengan judul yang sama, Negeri 5
Menara. Dulu ketika melamar istri saya pada tahun 2008, novel Ayat-Ayat
Cinta saya berikan padanya sebagai hadiah pernikahan. Setelah habis
membaca novel tersebut, dia pun tertarik sekali menunggu novel itu di
angkat ke layar lebar. Perasaan itulah yang sepertinya sama dengan
beberapa tahun yang lalu.
Sejak anak pertama kami lahir praktis
kami tak pernah lagi pergi ke bioskop. Sekitar dua tahun lamanya kami
memang tidak lagi pergi ke bioskop karena tak tega meninggalkan si kecil
bersama neneknya. Tapi demi Negeri 5 Menara, istri saya memaksa saya
untuk menonton film yang skenarionya di tulis oleh Salman Aristo. Salman
juga tercatat sebagai penulis skenario film fenomenal asli Indonesia
yaitu Laskar Pelangi, Sang Penari dan Garuda Di Dadaku 1 dan 2.
Film-film tersebut mendulang sukses dalam dunia perfilman tanah air.
Hari itu kami menitipkan si kecil yang
sudah menginjak usia 15 bulan pada neneknya. Kebetulan hari itu adalah
hari Jumat, sehingga istri saya lebih leluasa karena esoknya dia libur
mengajar. Meskipun kesokan harinya saya tetap masuk kantor namun demi
membahagiakan istri saya juga jadi termotivasi untuk nonton film Negeri 5
Menara bersamanya. Setelah mencari informasi pemutaran film tersebut
lewat internet
pilihan kami jatuh ke bioskop Blitz Megaplex di Teras Kota , BSD
Serpong. Perjalanan ke bioskop tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar
30 menit saja.
Setelah membeli tiket seharga 50 ribu
rupiah untuk dua kursi ditambah 10 ribu untuk air mineral kami pun
menunggu di lobby bioskop. Sambil duduk-duduk di sofa saya juga
memperhatikan beberapa orang terlihat sudah banyak yang menunggu untuk
nonton film yang sama. Meskipun film di putar pada pukul 21.00, saya
melihat banyak orang tua yang membawa serta anak-anaknya. Yap benar,
kami nonton film Negeri 5 Menara pada pemutaran film terakhir malam itu.
Dapat ditebak bahwa kami akan keluar bioskop pada larut malam.
Setelah menungu sekitar 15 menit studio 5
pun dibuka. Saya menggandeng tangan istri saya seolah tak mau kalah
dengan pasangan lain menuju kursi paling atas. Kami duduk di kursi nomor
5 dan 6. Disebelah kanan saya ada gadis remaja bersama keluarganya. Di
sebelah kiri istri saya ada seorang ibu yang membawa serta putrinya yang
kira-kira masih SD. Bioskop ini konon adalah bioskop terbaik di BSD.
Dengan harga yang sedikit lebih mahal, saya bisa menikmati film Negeri 5
Menara dengan layar yang lebih lebar dari ukuran bioskop pada umumnya.
Aroma pop corn tiba-tiba menyeruak, sementara saya hanya bisa menelan
ludah. Lambat laun lampu mulai redup kemudian dipadamkan pertanda film
segera diputar.
Film Yang Sarat Dengan Falsafah Hidup
“Menulislah sedari SD, apapun yang ditulis sedari SD pasti jadi“
Pramoedya Ananta Toer
Sesaat ketika film Negeri 5 Menara mulai
diputar saya menyiapkan notes untuk mencatat beberapa pelajaran yang
mungkin bisa saya rekam. Saya ingat sekali kebiasaan pak Jusuf Kalla
yang selalu membawa notes dan bolpen pilot di saku bajunya seperti
penuturan mas Wisnu Nugroho seorang wartawan Kompas yang pernah
ditugaskan di Istana. Kebiasaan ini juga yang dilakukan oleh wartawan
kompas yang sering disapa Inu saat bertugas di Istana sehingga bisa
menelurkan karyanya tentang kehidupan di Istana pada masa pemerintahan
SBY dan JK. Apa yang dia rasakan, yang dia hirup dan dicerap oleh panca
indera dia tuliskan dalam notesnya sehingga bisa menguatkan presepsinya
ketika mengingat-ngingat sebuah kejadian.
Kebiasaan itu tentu juga mengingatkan
saya pada sosok Ikal dalam Laskar Pelangi yang selalu mencatat peristiwa
masa-masa kecilnya sehingga bisa membuahkan maha karya sebuah novel
perjuangan pendidikan yang dialaminya yaitu Laskar Pelangi. Kebiasaan
ini pula yang ternyata lekat dengan kehidupan sosok Alif Fikri aka
Ahmad Fuadi semasa kecil. Membawa-bawa buku catatan kehidupannya
kemanapun dia pergi. Buku diary Ikal dan Alif adalah data base kehidupan
yang paling berharga. Konon penulis maestro Bumi Manusia, Pramoedya
Ananta Toer masih memiliki buku diarynya semasa kecil hingga usianya
senja. Buku diarynya tebal-tebal, sehingga tak heran jika buku-buku
karyanya pun tebal dan sarat makna. Ketiga tokoh tersebut menulis sejak
kecil.
Ada beberapa falsafah hidup yang saya
catat dari film Negeri 5 Menara ini. Yang pertama adalah ketika ibunda
Alif yang diperankan oleh Lulu Tobing, menginginkan Alif sekolah di
sekolah agama. Memang ini bertentangan dengan keinginan Alif yang ingin
bersekolah di SMU agar bisa mendaftar di ITB. Alif bercita-cita seperti
Pak Habibie. Ibunda Alif berusaha mengesampingkan ego anaknya dan egonya
sebagai orang tua. Ibunda Alif memikirkan ummat. Memikirkan masyarakat.
Siapa lagi yang bisa diharapkan selain Alif. Ibunda Alif sudah berpikir
selangkah lebih jauh bahwa hidup matinya Alif harus bisa bermanfaat
bagi kepentingan ummat. Bukan kepentingan keluarga atau keinginan orang
tua semata. Ibunda Alif bahkan menyandingkan foto anaknya itu di sebelah
foto Hatta dan Hamka. Berharap Alif bisa mengikuti jejak kesederhanaan
Hatta dan menguasai ilmu agama seperti Hamka.
Yang kedua adalah ketika ayah Alif yang
diperankan oleh David Chalik, menjual kerbaunya untuk biaya sekolah Alif
ke Jawa. Transaksinya dilakukan dengan cara bersalaman dan memberikan
kode di dalam sarung menggunakan jari jemari. Cara seperti ini di tanah
Minang disebut marosok. Tradisi tawar menawar turun temurun
sejak zaman raja-raja yang masih digunakan sampai saat ini. Tentu saja
Alif yang melihat dari luar merasa apa yang dilakukan Ayahnya itu cukup
aneh. Namun ayahnya Alif menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu
sarat dengan pembelajaran. Apa yang dilihat dari luar tidak seburuk
dengan apa yang terjadi di dalam. Hal ini seolah menyampaikan pesan
bahwa pesantren itu tidak seburuk yang dibayangkan. “Jalani dahulu baru
kita akan tahu” begitu tutur Ayahanda Alif. Jika kita menghindarinya
kita tak pernah tahu apa yang tersembunyi itu baik atau buruk bagi kita.
Pada masa itu bagi sebagian orang memang
pesantren dianggap pendidikan kelas dua. Pesantren dianggap sebagai
sekolah bagi anak-anak yang bermasalah. Pesantren dianggap sebagai
bengkel akhlak atau budi pekerti. Stigma negatif inilah yang sepertinya
ingin dirubah Ahmad Fuadi melalui novel dan filmnya. Pesantren masa kini
bisa bersaing dan disejajarkan dengan sekolah-sekolah unggul lainnya.
Pesantren kini berubah menjadi pesantren modern yang tak melulu
mengajarkan kitab kuning. Lab IPA, lab komputer, lab Bahasa sudah jamak
ditemukan di pesantren-pesantren modern. Bahkan sudah banyak lulusan
pesantren yang menjadi tokoh nasional di Indonesia. Tak terhitung jua
alumni Gontor yang menjadi pemimpin-pemimpin institusi formal dan non
formal. Tentu juga kita tahu bahwa comunnity editor kompasiana Iskandar
Zulkarnen adalah alumnus Gontor.
Bahkan pesantren adalah pelopor
pendidikan di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau oleh fasilitas
pemerintah. Pesantren memiliki peran membangun desa, memberdayakan
ekonomi masyarakat sekitar. Madrasah-madrasah menjadi alternatif
pendidikan bagi mereka yang tinggal jauh dari peradaban kota di masa
sulit. Sekolah Muhammadiyah di Gantong, Belitong adalah bukti nyata
bahwa sekolah agama memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak
bangsa.
Yang ketiga adalah bolpen yang diberikan
oleh Ayah Alif untuknya. Bolpen itu diisi tinta malam hari sebelum Alif
ikut ujian tes masuk pondok Madani. Ayahanda Alif menyampaikan bahwa
bolpen itu adalah bolpen pemberian kakek Alif dan masih terjaga
keasliannya. Adegan tersebut mengajarkan kita bahwa warisan yang paling
berharga bukanlah rumah besar, mobil mewah atau tanah berhektar-hektar.
Warisan yang paling mulia adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat akan terus
mengalir pahalanya ketika kita berpulang kelak. Sebaik-baiknya warisan
adalah meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi anak cucu kita. Harta dan
benda akan habis. Sedangkan ilmu akan kekal jika diamalkan.
Yang keempat adalah ketika Alif
memandangi menara yang menjulang tinggi. “Tinggi ya menara itu?” Tanya
Baso yang menghentikan bacaannya. Baso seakan menyentil kita bahwa
manusia ini kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan menara itu. Di
akhir cerita pun Kyai Rois menyampaikan bahwa untuk menjadi orang besar
adalah menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Tak ada
artinya punya pangkat tinggi, harta banyak, dan kemewahan berlimpah ruah
jika tak bisa bermanfaat bagi orang lain.
Yang kelima adalah mantra yang menjadi
motivasi besar Alif dalam meraih kesuksesan. “Man Jadda Wajada” adalah
kalimat yang kerap kali diajarkan di pesantren. Namun hanya sedikit
sekali yang bisa mengamalkannya. Alif dan sahabat-sahabatnya termasuk
orang orang yang berhasil mengamalkan dan membuktikan kekuatan sebuah
mantra “Man Jadda Wajada.”
Beruntung mantra ini diberikan pertama
kali ketika Alif belajar di pondok Madani. Terlebih dahulu ustadz Salman
mendeskripsikannya dengan memotong sebilah bambu dengan sebuah golok
yang telah berkarat. Dengan susah payah akhirnya bamboo itu terbelah
dua. “Bukan yang paling tajam, tetapi yang paling bersungguh-sungguh”
tuturnya dengan sorot mata tajam dan penuh keyakinan. Semua orang
hakikatnya bisa meraih kesuksesan dengan syarat selalu konsisten dan
pantang menyerah.
Yang keenam dan yang paling penting
adalah konsep orang besar dalam kacamata Kyai Rais. Orang besar bukanlah
mereka yang duduk di posisi penting, bukan mereka yang memiliki harta
berlimpah hingga tak kan habis hingga tujuh turunan. Melainkan mereka
yang lulus pondok kemudian mengajar di pelosok pelosok desa dan
mengamalkan ilmunya. Itulah orang besar. Menjadi orang yang bisa
bermanfaat ilmunya, umurnya dan tenaganya. Minimal untuk keluarga dan
utamanya untuk kepentingan masyarakat luas.
Hal tersebut diwujudkan oleh Ahmad Fuadi
dengan membangun komunitas Negeri 5 menara yang menyediakan pendidikan
gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di Bintaro, Tangerang Selatan.
Menghadirkan Film Indonesia Terbaik
“Menulislah dari sekarang, sebelum namamu di tulis di batu nisan“ - Anonymous
Film ini bergenre pendidikan. Tak ayal
inilah yang menjadi alasan utama bagi para orang tua membawa serta
anak-anaknya nonton bersama. Sangat disayangkan adegan pertama
divisualisasikan ayahanda Alif yang sedang merokok dengan cukup jelas.
Saya termasuk orang yang anti rokok. Phillip Morris tentu saja senang
jika salah satu scene dalam film negeri lima menara secara
tidak langsung mempromosikan rokok secara gamblang. Jika merujuk pada
film Laskar Pelangi tidak ada adegan seseorang yang merokok dengan
begitu jelas. Adegan tersebut baru muncul di film Sang Pemimpi. Iklan
saja dilarang untuk merekam adegan orang yang sedang merokok. Ada
baiknya jika adegan tersebut dikaburkan/blur.
Bombardir iklan rokok sudah sangat
gamblang bahwa yang ditargetkan menjadi pelanggan rokok masa depan
adalah anak anak. Fuad Baradja pasti sangat sedih. Pemeran ayah Jun
dalam sinetron Jin dan Jun yang kini giat menjadi aktifis anti rokok
pernah mengatakan demikian ketika menjadi pembicara di salah satu acara
penyuluhan yang saya hadiri beberapa tahun lalu.
Memang film yang diadaptasi tidak sebaik
novelnya. Namun tidak sedikit film yang berhasil mewujudkan imajinasi
para pembaca dalam sebuah film. Menciptakan imajinasi pembaca yang
menikmati novel dalam sebuah tontonan kerap kali di bantu dengan animasi
film.
Masih lekat dalam ingatan saya ketika
Ikal terpesona melihat kuku jari Aling dalam film Laskar Pelangi. Sontak
disekelilingnya ada bunga-bunga yang berguguran dengan indah. Seolah
mewakili perasaan bahagia Ikal saat itu yang tengah jatuh cinta. Juga
ketika Ikal merasa kecewa karena ternyata Aling sudah pindah ke Jakarta.
Tiba-tiba saja barang-barang yang berada di warung berjatuhan seperti
terjadi gempa, padahal hal tersebut sengaja dibuat untuk menggambarkan
betapa kalutnya hati Ikal. Animasi dan imajinasi sepele seperti inilah
yang minim saya temukan dalam film Negeri 5 Menara.
Sosok yang paling menonjol dalam film
Negeri 5 Menara adalah Baso. Seorang anak yang memiliki mimpi yang
berasal dari Sulawesi. Baso selalu menebarkan perasaan positif dan
selalu berusaha optimis. Kepiawaiannya dalam menghafal Al-Quran
berpengaruh besar terhadap perilakunya sehari-hari. Baso selalu murah
senyum dan tak sedikitpun pernah terlihat murung. Tak heran jika Baso
menjadi salah satu inspirasi bagi kawan-kawannya. Scene terbaik dalam
film Negeri 5 Menara ini adalah ketika Baso berpamitan pada
teman-temannya di Pondok Madani. Baso terpaksa harus pulang karena tak
ada lagi keluarga yang dapat mengurus neneknya yang sudah tua selain
dirinya. Tak ayal sayapun meneteskan air mata. Anak-anak masa kini
mungkin lebih memilih memasukkan orang tuanya yang renta ke panti jompo.
Sedangkan Baso harus menunda impiannya agar dapat merawat neneknya yang
sudah sakit-sakitan.
Film Negeri 5 Menara dianggap kurang
greget seperti beberapa penuturan para penggemar novel Negeri 5 Menara.
Tak sengaja saya menemukan kekurang telitian dalam proses editing.
Ketika Alif dan Ayahnya berangkat dari rumah menggunakan bus. Bus itu
divisualisasikan melewati danau Maninjau yang indah. Coba perhatikan
ketika bus tersebut melewati danau. Ada tower berwarna merah putih
menjulang tinggi di sebelah kanan layar. Tower itu tentu saja merusak
imajinasi saya.
Jika merujuk pada film Laskar Pelangi,
Mira Lesmana dan Riri Reza berhasil membawa penonton kembali ke zaman
Belitong dahulu kala. Setiap detail di perhatikan. Mulai dari mobil
hingga kancing baju. Semua nampak seperti zaman dahulu.
Namun, saya cukup memaklumi kesalahan
kecil tersebut. Para aktor, artis, kru film pasti sudah susah payah dan
memusatkan pikiran dan tenaganya untuk membuahkan maha karya ini.
Apalagi film ini dibuat dalam kondisi berpuasa disaat pondok modern
Gontor sedang libur panjang ketika bulan Ramadhan. Sempitnya waktu
inilah yang mungkin menyebabkan semua adegan harus diselesaikan dengan
tenggat waktu yang sangat ketat dan padat.
Ada lagi satu hal yang mengganggu
pikiran saya. Ketika kita melihat Dian Sastro tentu kita akan ingat
dengan sabun kecantikan. Ketika kita melihat Pak Bondan Winarno tentu
saja orang langsung mengidentikkan dengan wisata kulinernya yang
maknyos. Nah celakanya ketika saya melihat Ikang Fawzi saya berimajinasi
melihat sosoknya sebagai bintang iklan kesehatan pria dewasa. Maaf
kalau imajinasi saya agak liar.
Secara keseluruhan saya menilai film
Negeri 5 Menara ini dalam skala 1 - 5 dengan nilai bintang 4,8. Beberapa
kekurangan memang konsekuensi adaptasi yang tidak akan sepenuhnya
berhasil dituangkan dalam sebuah durasi film yang terbatas. Terlepas itu
semua film ini layak disandingkan dengan film Laskar Pelangi. Isinya
menyentuh, menginspirasi dan membuat para lulusan pesantren bernostalgia
dengan kehidupannya semasa di pesantren.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga lulusan pondok
pesantren Pabelan di Magelang mengatakan bahwa Film Negeri 5 Menara
mengingatkannya semasa ia masih nyantri (ANT).
Anis Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina pun mengatakan
bahwa “Film ini menurut saya powerful mengirimkan pesan bahwa belajar
dan pendidikan itu adalah kunci untuk bisa mencapai puncak
menara-menara impian. Melihat film ini mungkin seperti menengok pada
kaca cermin sejarah perjalanan hidup,” yang dikutip dari pikiranrakyat.com.
Masyarakat Indonesia pasti bangga dengan
insan perfilman yang telah bekerja keras sepenuh hati dan sepenuh
tenaga mencurahkan segala daya upaya demi menciptakan kualitas film
Indonesia yang terbaik seperti Film Negeri 5 Menara. Masyarakat sangat
mengapresiasi karya-karya dan prestasi anak bangsa ini.
“Khairunnas Anfauhum Linnas“
(Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya).
Pamulang, Tengerang SelatanDitulis Oleh : Dzulfikar
OST. Negeri 5 Menara - Man Jadda Wajada - Yovie & Nuno
Official Trailer Negeri 5 Menara HD (2012)
Behind the Scene Negeri 5 Menara
Sempat berfoto dengan Ahmad Fuadi saat acara Kompasianival 2011