03 Mei 2012

Falsafah Hidup Dalam Film Negeri 5 Menara

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Pramoedya Ananta Toer

Tanggal 2 Maret 2012 lalu istri saya memaksa agar saya segera membeli tiket perdana film Negeri 5 Menara. Istri saya sangat excited untuk segera menonton film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi dengan judul yang sama, Negeri 5 Menara. Dulu ketika melamar istri saya pada tahun 2008, novel Ayat-Ayat Cinta saya berikan padanya sebagai hadiah pernikahan. Setelah habis membaca novel tersebut, dia pun tertarik sekali menunggu novel itu di angkat ke layar lebar. Perasaan itulah yang sepertinya sama dengan beberapa tahun yang lalu.

Sejak anak pertama kami lahir praktis kami tak pernah lagi pergi ke bioskop. Sekitar dua tahun lamanya kami memang tidak lagi pergi ke bioskop karena tak tega meninggalkan si kecil bersama neneknya. Tapi demi Negeri 5 Menara, istri saya memaksa saya untuk menonton film yang skenarionya di tulis oleh Salman Aristo. Salman juga tercatat sebagai penulis skenario film fenomenal asli Indonesia yaitu Laskar Pelangi, Sang Penari dan Garuda Di Dadaku 1 dan 2. Film-film tersebut mendulang sukses dalam dunia perfilman tanah air.

Hari itu kami menitipkan si kecil yang sudah menginjak usia 15 bulan pada neneknya. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat, sehingga istri saya lebih leluasa karena esoknya dia libur mengajar. Meskipun kesokan harinya saya tetap masuk kantor namun demi membahagiakan istri saya juga jadi termotivasi untuk nonton film Negeri 5 Menara bersamanya. Setelah mencari informasi pemutaran film tersebut lewat internet pilihan kami jatuh ke bioskop Blitz Megaplex di Teras Kota , BSD Serpong. Perjalanan ke bioskop tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja.

Setelah membeli tiket seharga 50 ribu rupiah untuk dua kursi ditambah 10 ribu untuk air mineral kami pun menunggu di lobby bioskop. Sambil duduk-duduk di sofa saya juga memperhatikan beberapa orang terlihat sudah banyak yang menunggu untuk nonton film yang sama. Meskipun film di putar pada pukul 21.00, saya melihat banyak orang tua yang membawa serta anak-anaknya. Yap benar, kami nonton film Negeri 5 Menara pada pemutaran film terakhir malam itu. Dapat ditebak bahwa kami akan keluar bioskop pada larut malam.

Setelah menungu sekitar 15 menit studio 5 pun dibuka. Saya menggandeng tangan istri saya seolah tak mau kalah dengan pasangan lain menuju kursi paling atas. Kami duduk di kursi nomor 5 dan 6. Disebelah kanan saya ada gadis remaja bersama keluarganya. Di sebelah kiri istri saya ada seorang ibu yang membawa serta putrinya yang kira-kira masih SD. Bioskop ini konon adalah bioskop terbaik di BSD. Dengan harga yang sedikit lebih mahal, saya bisa menikmati film Negeri 5 Menara dengan layar yang lebih lebar dari ukuran bioskop pada umumnya. Aroma pop corn tiba-tiba menyeruak, sementara saya hanya bisa menelan ludah. Lambat laun lampu mulai redup kemudian dipadamkan pertanda film segera diputar.
1331621094144208791
Negeri 5 Menara/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Film Yang Sarat Dengan Falsafah Hidup
Menulislah sedari SD, apapun yang ditulis sedari SD pasti jadi
Pramoedya Ananta Toer

Sesaat ketika film Negeri 5 Menara mulai diputar saya menyiapkan notes untuk mencatat beberapa pelajaran yang mungkin bisa saya rekam. Saya ingat sekali kebiasaan pak Jusuf Kalla yang selalu membawa notes dan bolpen pilot di saku bajunya seperti penuturan mas Wisnu Nugroho seorang wartawan Kompas yang pernah ditugaskan di Istana. Kebiasaan ini juga yang dilakukan oleh wartawan kompas yang sering disapa Inu saat bertugas di Istana sehingga bisa menelurkan karyanya tentang kehidupan di Istana pada masa pemerintahan SBY dan JK. Apa yang dia rasakan, yang dia hirup dan dicerap oleh panca indera dia tuliskan dalam notesnya sehingga bisa menguatkan presepsinya ketika mengingat-ngingat sebuah kejadian.
Kebiasaan itu tentu juga mengingatkan saya pada sosok Ikal dalam Laskar Pelangi yang selalu mencatat peristiwa masa-masa kecilnya sehingga bisa membuahkan maha karya sebuah novel perjuangan pendidikan yang dialaminya yaitu Laskar Pelangi. Kebiasaan ini pula yang ternyata lekat dengan kehidupan sosok Alif Fikri aka Ahmad Fuadi semasa kecil. Membawa-bawa buku catatan kehidupannya kemanapun dia pergi. Buku diary Ikal dan Alif adalah data base kehidupan yang paling berharga. Konon penulis maestro Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer masih memiliki buku diarynya semasa kecil hingga usianya senja. Buku diarynya tebal-tebal, sehingga tak heran jika buku-buku karyanya pun tebal dan sarat makna. Ketiga tokoh tersebut menulis sejak kecil.

13316216011098917117
Lulu Tobing dalam Negeri5Menara/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Ada beberapa falsafah hidup yang saya catat dari film Negeri 5 Menara ini. Yang pertama adalah ketika ibunda Alif yang diperankan oleh Lulu Tobing, menginginkan Alif sekolah di sekolah agama. Memang ini bertentangan dengan keinginan Alif yang ingin bersekolah di SMU agar bisa mendaftar di ITB. Alif bercita-cita seperti Pak Habibie. Ibunda Alif berusaha mengesampingkan ego anaknya dan egonya sebagai orang tua. Ibunda Alif memikirkan ummat. Memikirkan masyarakat. Siapa lagi yang bisa diharapkan selain Alif. Ibunda Alif sudah berpikir selangkah lebih jauh bahwa hidup matinya Alif harus bisa bermanfaat bagi kepentingan ummat. Bukan kepentingan keluarga atau keinginan orang tua semata. Ibunda Alif bahkan menyandingkan foto anaknya itu di sebelah foto Hatta dan Hamka. Berharap Alif bisa mengikuti jejak kesederhanaan Hatta dan menguasai ilmu agama seperti Hamka.

13316213161452318988
Harapan Sang Ibu/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Yang kedua adalah ketika ayah Alif yang diperankan oleh David Chalik, menjual kerbaunya untuk biaya sekolah Alif ke Jawa. Transaksinya dilakukan dengan cara bersalaman dan memberikan kode di dalam sarung menggunakan jari jemari. Cara seperti ini di tanah Minang disebut marosok. Tradisi tawar menawar turun temurun sejak zaman raja-raja yang masih digunakan sampai saat ini. Tentu saja Alif yang melihat dari luar merasa apa yang dilakukan Ayahnya itu cukup aneh. Namun ayahnya Alif menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu sarat dengan pembelajaran. Apa yang dilihat dari luar tidak seburuk dengan apa yang terjadi di dalam. Hal ini seolah menyampaikan pesan bahwa pesantren itu tidak seburuk yang dibayangkan. “Jalani dahulu baru kita akan tahu” begitu tutur Ayahanda Alif. Jika kita menghindarinya kita tak pernah tahu apa yang tersembunyi itu baik atau buruk bagi kita.

13316216581908208867
David Chalik Dalam Negeri5Menara/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Pada masa itu bagi sebagian orang memang pesantren dianggap pendidikan kelas dua. Pesantren dianggap sebagai sekolah bagi anak-anak yang bermasalah. Pesantren dianggap sebagai bengkel akhlak atau budi pekerti. Stigma negatif inilah yang sepertinya ingin dirubah Ahmad Fuadi melalui novel dan filmnya. Pesantren masa kini bisa bersaing dan disejajarkan dengan sekolah-sekolah unggul lainnya. Pesantren kini berubah menjadi pesantren modern yang tak melulu mengajarkan kitab kuning. Lab IPA, lab komputer, lab Bahasa sudah jamak ditemukan di pesantren-pesantren modern. Bahkan sudah banyak lulusan pesantren yang menjadi tokoh nasional di Indonesia. Tak terhitung jua alumni Gontor yang menjadi pemimpin-pemimpin institusi formal dan non formal. Tentu juga kita tahu bahwa comunnity editor kompasiana Iskandar Zulkarnen adalah alumnus Gontor.
Bahkan pesantren adalah pelopor pendidikan di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau oleh fasilitas pemerintah. Pesantren memiliki peran membangun desa, memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar. Madrasah-madrasah menjadi alternatif pendidikan bagi mereka yang tinggal jauh dari peradaban kota di masa sulit. Sekolah Muhammadiyah di Gantong, Belitong adalah bukti nyata bahwa sekolah agama memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak bangsa.
Yang ketiga adalah bolpen yang diberikan oleh Ayah Alif untuknya. Bolpen itu diisi tinta malam hari sebelum Alif ikut ujian tes masuk pondok Madani. Ayahanda Alif menyampaikan bahwa bolpen itu adalah bolpen pemberian kakek Alif dan masih terjaga keasliannya. Adegan tersebut mengajarkan kita bahwa warisan yang paling berharga bukanlah rumah besar, mobil mewah atau tanah berhektar-hektar. Warisan yang paling mulia adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya ketika kita berpulang kelak. Sebaik-baiknya warisan adalah meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi anak cucu kita. Harta dan benda akan habis. Sedangkan ilmu akan kekal jika diamalkan.


Masjid Pondok Madani/dwikisetiyawan.wordpress.com

Yang keempat adalah ketika Alif memandangi menara yang menjulang tinggi. “Tinggi ya menara itu?” Tanya Baso yang menghentikan bacaannya. Baso seakan menyentil kita bahwa manusia ini kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan menara itu. Di akhir cerita pun Kyai Rois menyampaikan bahwa untuk menjadi orang besar adalah menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Tak ada artinya punya pangkat tinggi, harta banyak, dan kemewahan berlimpah ruah jika tak bisa bermanfaat bagi orang lain.

13316217341666796979
Kisah Enam Sahabat/youtube.com/FilmNegeri5menara

Yang kelima adalah mantra yang menjadi motivasi besar Alif dalam meraih kesuksesan. “Man Jadda Wajada” adalah kalimat yang kerap kali diajarkan di pesantren. Namun hanya sedikit sekali yang bisa mengamalkannya. Alif dan sahabat-sahabatnya termasuk orang orang yang berhasil mengamalkan dan membuktikan kekuatan sebuah mantra “Man Jadda Wajada.”

13316217991475545261
Motivasi Meraih Kesuksesan/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Beruntung mantra ini diberikan pertama kali ketika Alif belajar di pondok Madani. Terlebih dahulu ustadz Salman mendeskripsikannya dengan memotong sebilah bambu dengan sebuah golok yang telah berkarat. Dengan susah payah akhirnya bamboo itu terbelah dua. “Bukan yang paling tajam, tetapi yang paling bersungguh-sungguh” tuturnya dengan sorot mata tajam dan penuh keyakinan. Semua orang hakikatnya bisa meraih kesuksesan dengan syarat selalu konsisten dan pantang menyerah.

13316219081064475979
Enam Sahabat/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Yang keenam dan yang paling penting adalah konsep orang besar dalam kacamata Kyai Rais. Orang besar bukanlah mereka yang duduk di posisi penting, bukan mereka yang memiliki harta berlimpah hingga tak kan habis hingga tujuh turunan. Melainkan mereka yang lulus pondok kemudian mengajar di pelosok pelosok desa dan mengamalkan ilmunya. Itulah orang besar. Menjadi orang yang bisa bermanfaat ilmunya, umurnya dan tenaganya. Minimal untuk keluarga dan utamanya untuk kepentingan masyarakat luas.

Hal tersebut diwujudkan oleh Ahmad Fuadi dengan membangun komunitas Negeri 5 menara yang menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di Bintaro, Tangerang Selatan.

Menghadirkan Film Indonesia Terbaik

Menulislah dari sekarang, sebelum namamu di tulis di batu nisan - Anonymous

Film ini bergenre pendidikan. Tak ayal inilah yang menjadi alasan utama bagi para orang tua membawa serta anak-anaknya nonton bersama. Sangat disayangkan adegan pertama divisualisasikan ayahanda Alif yang sedang merokok dengan cukup jelas. Saya termasuk orang yang anti rokok. Phillip Morris tentu saja senang jika salah satu scene dalam film negeri lima menara secara tidak langsung mempromosikan rokok secara gamblang. Jika merujuk pada film Laskar Pelangi tidak ada adegan seseorang yang merokok dengan begitu jelas. Adegan tersebut baru muncul di film Sang Pemimpi. Iklan saja dilarang untuk merekam adegan orang yang sedang merokok. Ada baiknya jika adegan tersebut dikaburkan/blur.

Bombardir iklan rokok sudah sangat gamblang bahwa yang ditargetkan menjadi pelanggan rokok masa depan adalah anak anak. Fuad Baradja pasti sangat sedih. Pemeran ayah Jun dalam sinetron Jin dan Jun yang kini giat menjadi aktifis anti rokok pernah mengatakan demikian ketika menjadi pembicara di salah satu acara penyuluhan yang saya hadiri beberapa tahun lalu.

Memang film yang diadaptasi tidak sebaik novelnya. Namun tidak sedikit film yang berhasil mewujudkan imajinasi para pembaca dalam sebuah film. Menciptakan imajinasi pembaca yang menikmati novel dalam sebuah tontonan kerap kali di bantu dengan animasi film.

Masih lekat dalam ingatan saya ketika Ikal terpesona melihat kuku jari Aling dalam film Laskar Pelangi. Sontak disekelilingnya ada bunga-bunga yang berguguran dengan indah. Seolah mewakili perasaan bahagia Ikal saat itu yang tengah jatuh cinta. Juga ketika Ikal merasa kecewa karena ternyata Aling sudah pindah ke Jakarta. Tiba-tiba saja barang-barang yang berada di warung berjatuhan seperti terjadi gempa, padahal hal tersebut sengaja dibuat untuk menggambarkan betapa kalutnya hati Ikal. Animasi dan imajinasi sepele seperti inilah yang minim saya temukan dalam film Negeri 5 Menara.

1331622626228806615
Man Jadda Wajada/youtube.com/FilmNegeri5Menara

Sosok yang paling menonjol dalam film Negeri 5 Menara adalah Baso. Seorang anak yang memiliki mimpi yang berasal dari Sulawesi. Baso selalu menebarkan perasaan positif dan selalu berusaha optimis. Kepiawaiannya dalam menghafal Al-Quran berpengaruh besar terhadap perilakunya sehari-hari. Baso selalu murah senyum dan tak sedikitpun pernah terlihat murung. Tak heran jika Baso menjadi salah satu inspirasi bagi kawan-kawannya. Scene terbaik dalam film Negeri 5 Menara ini adalah ketika Baso berpamitan pada teman-temannya di Pondok Madani. Baso terpaksa harus pulang karena tak ada lagi keluarga yang dapat mengurus neneknya yang sudah tua selain dirinya. Tak ayal sayapun meneteskan air mata. Anak-anak masa kini mungkin lebih memilih memasukkan orang tuanya yang renta ke panti jompo. Sedangkan Baso harus menunda impiannya agar dapat merawat neneknya yang sudah sakit-sakitan.

Film Negeri 5 Menara dianggap kurang greget seperti beberapa penuturan para penggemar novel Negeri 5 Menara. Tak sengaja saya menemukan kekurang telitian dalam proses editing. Ketika Alif dan Ayahnya berangkat dari rumah menggunakan bus. Bus itu divisualisasikan melewati danau Maninjau yang indah. Coba perhatikan ketika bus tersebut melewati danau. Ada tower berwarna merah putih menjulang tinggi di sebelah kanan layar. Tower itu tentu saja merusak imajinasi saya.

Jika merujuk pada film Laskar Pelangi, Mira Lesmana dan Riri Reza berhasil membawa penonton kembali ke zaman Belitong dahulu kala. Setiap detail di perhatikan. Mulai dari mobil hingga kancing baju. Semua nampak seperti zaman dahulu.

Namun, saya cukup memaklumi kesalahan kecil tersebut. Para aktor, artis, kru film pasti sudah susah payah dan memusatkan pikiran dan tenaganya untuk membuahkan maha karya ini. Apalagi film ini dibuat dalam kondisi berpuasa disaat pondok modern Gontor sedang libur panjang ketika bulan Ramadhan. Sempitnya waktu inilah yang mungkin menyebabkan semua adegan harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang sangat ketat dan padat.

Ada lagi satu hal yang mengganggu pikiran saya. Ketika kita melihat Dian Sastro tentu kita akan ingat dengan sabun kecantikan. Ketika kita melihat Pak Bondan Winarno tentu saja orang langsung mengidentikkan dengan wisata kulinernya yang maknyos. Nah celakanya ketika saya melihat Ikang Fawzi saya berimajinasi melihat sosoknya sebagai bintang iklan kesehatan pria dewasa. Maaf kalau imajinasi saya agak liar.

Secara keseluruhan saya menilai film Negeri 5 Menara ini dalam skala 1 - 5 dengan nilai bintang 4,8. Beberapa kekurangan memang konsekuensi adaptasi yang tidak akan sepenuhnya berhasil dituangkan dalam sebuah durasi film yang terbatas. Terlepas itu semua film ini layak disandingkan dengan film Laskar Pelangi. Isinya menyentuh, menginspirasi dan membuat para lulusan pesantren bernostalgia dengan kehidupannya semasa di pesantren.

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga lulusan pondok pesantren Pabelan di Magelang mengatakan bahwa Film Negeri 5 Menara mengingatkannya semasa ia masih nyantri (ANT). Anis Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina pun mengatakan bahwa “Film ini menurut saya powerful mengirimkan pesan bahwa belajar dan pendidikan itu adalah kunci untuk bisa mencapai puncak menara-menara impian. Melihat film ini mungkin seperti menengok pada kaca cermin sejarah perjalanan hidup,” yang dikutip dari pikiranrakyat.com.

Masyarakat Indonesia pasti bangga dengan insan perfilman yang telah bekerja keras sepenuh hati dan sepenuh tenaga mencurahkan segala daya upaya demi menciptakan kualitas film Indonesia yang terbaik seperti Film Negeri 5 Menara. Masyarakat sangat mengapresiasi karya-karya dan prestasi anak bangsa ini.
Khairunnas Anfauhum Linnas
(Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya).
Pamulang, Tengerang Selatan

Ditulis Oleh : Dzulfikar
OST. Negeri 5 Menara - Man Jadda Wajada - Yovie & Nuno
Official Trailer Negeri 5 Menara HD (2012)
Behind the Scene Negeri 5 Menara
Sempat berfoto dengan Ahmad Fuadi saat acara Kompasianival 2011
Bersama Penulis/dok.pribadi
Bersama Penulis/dok.pribadi