17 Februari 2010

Persepsi Elite Politik terhadap Publik

Ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespons kasus ini menunjukkan bahwa pemerintahan eksekutif yang terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009 terbukti gamang dalam memperjuangkan agenda antikorupsi ataupun menyelesaikan konflik antara lembaga negara yang berada di bawah otoritasnya.
Sementara lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat belum menunjukkan komitmennya terhadap suara rakyat yang menghendaki pengungkapan seterang-terangnya kejahatan korupsi yang melibatkan elite- elite kekuasaan. Meskipun usul Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century tengah bergulir, masih muncul kerisauan di hati publik terkait kekhawatiran tindakan politik ini akan berakhir pada praktik kompromi dan negosiasi politik.

Sementara itu, kita telah menyaksikan bagaimana sejuknya suasana pembicaraan dalam rapat kerja antara DPR dan kepolisian ataupun kejaksaan berbanding terbalik dengan panasnya gejolak tuntutan masyarakat yang menginginkan terbukanya kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Century, beserta selubung kepentingan- kepentingan elite politik yang ada di dalamnya.

Pertanyaan penting yang patut dilontarkan terkait dengan kaburnya respons elite politik terhadap suara publik adalah mengapa para elite yang baru saja terpilih ini dapat begitu mudah abai, bahkan melawan kehendak publik. Bagaimana sebenarnya para elite politik ini memaknai masyarakat sebagai konstituen politik mereka. Pendeknya, jawaban terhadap persepsi elite politik akan dinamika suara di arus bawah akan memastikan arah dan kualitas dari politik representasi selama lima tahun ke depan untuk membawa perubahan politik yang bermakna.

Terkait dengan persepsi elite politik terhadap dinamika suara rakyat yang tentunya dapat menjadi acuan kita dalam melihat karakter elite di Indonesia, WF Wertheim (1984) dalam Elite Perception and The Masses; The Indonesian Case menguraikan pandangannya tentang sociology of ignorance (sosiologi ketidaktahuan).
Menurut Wertheim, ketidaksensitifan elite terhadap aspirasi dan kehendak rakyat, terlepas dari mereka kerap menyatakan diri sebagai artikulator kehendak publik, menunjukkan dua hal. Pertama, ada tembok yang begitu tebal membatasi kehidupan sosial dari kelompok elite dengan masyarakatnya. Mereka hidup di ruang-ruang yang terpisah dan jarang sekali terdapat hubungan intens antara elite dan publik.

Untuk kasus interaksi antara kelompok elite politik dan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan segera menjadi elite politik minoritas dan menarik batas tegas dari dinamika kehendak publik. Para elite politik itu segera membentuk gaya hidup komunitasnya sendiri dan berjarak dengan denyut nadi kehidupan rakyat.

Kedua, semestinya meskipun mereka berjarak dengan suasana dan kehidupan dari masyarakatnya, para elite ini mampu berhubungan, mendengar, dan bertindak sesuai dengan aspirasi publik mengingat mereka dekat dan menguasai saluran-saluran komunikasi. Dalam konteks ini, para elite politik sebenarnya mengetahui apa yang hadir dan menjadi kegelisahan di kalangan masyarakat akar rumput. Meski demikian, mereka memanfaatkan informasi yang mereka terima ataupun pengetahuan mereka akan realitas sosial di tingkat bawah untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang terpisah dengan kepentingan publik.

Pada kasus kriminalisasi KPK, informasi dan pengetahuan para elite tentang tuntutan publik akan keadilan dan terbukanya jejaring intrik dan kepentingan ekonomi-politik yang ada di dalamnya bertolak belakang dengan kepentingan politik mereka. Dominasi kepentingan kekuasaan dalam konfigurasi politik di DPR dan bungkamnya suara oposisi terkait dengan dugaan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom membatasi potensi DPR sebagai penyeimbang eksekutif ataupun kekuatan kunci yang berpotensi membuka misteri kasus ini.

Artinya, para elite politik sebenarnya mengetahui kegelisahan yang muncul di publik, tetapi mereka menyimpan rapat-rapat pengetahuan itu karena bertentangan dengan kepentingan utama dari kelompok mereka.

Berani menolak publik

Keterpisahan ruang-ruang kehidupan dan perbedaan kepentingan antara elite politik dan publik membuat para elite tidak segera bersuara ketika gelombang arus pasang tuntutan publik begitu kuat untuk mendesak terbukanya keadilan dalam kasus kriminalisasi KPK. Selain fenomena tersebut, satu hal yang sangat merisaukan kita terkait dengan langkah dan tindakan dari anggota Dewan terkait dengan kasus ini, bahkan mereka para elite politik tidak saja diam, tetapi juga berani menentang arus besar tuntutan rakyat.

Keberanian dari elite politik untuk menentang suara rakyat, seperti yang telah terlontar dalam pernyataan anggota DPR bahwa telah terjadi kriminalisasi publik terhadap kepolisian, menunjukkan bahwa para elite politik sebenarnya tidak terlalu menghitung kehadiran suara masyarakat, kekuatan yang sebelumnya membuat mereka terpilih sebagai elite politik.

Ketika suara publik tidak dihitung sebagai kekuatan signifikan yang harus direpresentasikan dalam dinamika politik di lembaga legislatif, amatlah susah membayangkan suatu perubahan politik yang bermakna di tangan para elite politik. Seperti diutarakan oleh Bertolt Brecht dalam karyanya Opera Pengemis, beberapa orang ada di dalam kegelapan, sementara beberapa lainnya di tempat yang terang, orang tentu melihat mereka yang ada di tempat terang, sementara mereka yang di kegelapan tetaplah tidak terlihat!

Argumen-argumen para elite politik cenderung mendukung kondisi status quo kekuasaan yang memberikan penghidupan mewah bagi kepentingan mereka dan kelompok-kelompoknya sehingga adalah sia-sia memasrahkan terbukanya kebenaran di tangan para elite politik saat kepentingan mereka bertentangan dengan nurani publik. Selama kepentingan ekonomi-politik para elite tidak terganggu oleh berbagai skandal dan salah urus pengelolaan negara di negeri ini, mereka tidak akan bertindak aktif untuk menghadirkan kebenaran di hadapan konstituen ataupun rakyat.

Hanya gerakan dan kekuatan rakyat yang hadir bagai gelombang besar yang berlipat-lipat menuntut dan mengingatkan kembali mandat dari rakyat kepada para elite politiklah yang mampu membuka kebebalan para elite politik dan memastikan kontrol demokratik rakyat tetap bekerja.

Airlangga Pribadi Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Koordinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga

KESEJAHTERAAN PRAJURIT TNI Mewujudkan Rumah Impian Prajurit

Oleh WISNU DEWABRATA

Memiliki sebuah rumah yang layak huni, walaupun kecil dan sederhana, boleh jadi adalah mimpi terbesar Prajurit Kepala Feddy Eko Juniyanto. Ia adalah petugas pengemudi di Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Cilangkap, Jakarta Timur.

Sudah 11 tahun ia mengabdi sebagai prajurit TNI. Masa itu buatnya bukanlah waktu yang sebentar. Namun, satu hal dia masih kerap sesalkan, 11 tahun bekerja masih belum mampu menyediakan tempat tinggal tetap bagi istri dan seorang anaknya yang sekarang berusia empat tahun.

Setiap bulan, Feddy dan istri terpaksa masih harus menyisihkan nyaris sebagian besar dari gaji yang diterima untuk menyewa rumah kontrakan sederhana di kawasan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Ia ingin bisa mengontrak lebih dekat lagi di daerah Cilangkap.

Namun, apa daya, semakin dekat, harga pasaran rumah kontrakan di kawasan Cilangkap kian mahal. Jauh dari jangkauan keuangan Feddy. Padahal, bisa tinggal di dekat kantor adalah kebutuhan utama baginya.
Konduite (performa) kerjanya sangat ditentukan dari situ. Sebagai seorang pengemudi, ia harus bersiap lebih awal menjemput atasannya. Bahkan, kerap kali ia pulang paling akhir, tergantung waktu kerja atasannya tadi. Paling tidak, setiap pagi, pukul 07.00 tepat, dia harus hadir untuk apel pagi.

”Sebelumnya kami mengontrak di Depok. Istri saya dahulu bekerja menjadi buruh pabrik di sana. Setelah tidak lagi bekerja, saya cari kontrakan mendekati Cilangkap. Kepinginnya bisa mengontrak lebih dekat lagi,” ujar Feddy.

Feddy bukan tidak berusaha mencari informasi tentang kompleks perumahan baru. Namun, apa daya, tak hanya letak proyek perumahan baru yang ada terbilang di luar Kota Jakarta, harganya pun jauh dari jangkauan pendapatan bulanannya sebagai seorang prajurit TNI.

Rata-rata, ujar Feddy, pengembang kompleks perumahan baru meminta uang muka sedikitnya Rp 60 juta. Cicilan per bulan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta selama 15 tahun. Nilai itu tentunya tak bisa ”masuk” dengan pendapatan rutinnya setiap bulan, sehemat apa pun dia dan istri berusaha.

Setiap bulan, Feddy membawa pulang pendapatan (take home pay) tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Jumlah itu masih dipotong Rp 1 juta untuk membayar utang di koperasi dan bank. Beberapa waktu lalu ia terpaksa meminjam uang untuk pengobatan orangtuanya yang sakit di kampung.

”Tahun depan anak saya mulai bersekolah. Tak tahu lagi harus bagaimana membagi uang gaji untuk membiayai semua keperluan. Ibaratnya sekarang, saya dan istri benar-benar berhemat, makan seadanya. Prioritas kami untuk membeli susu anak. Selama 11 tahun bertugas, saya masih belum bisa membelikan mereka tempat tinggal,” ungkap Feddy dengan suara lirih.

Pendapatan Feddy setiap bulannya memang langsung habis, bahkan tak lama setelah dia menerima gaji. Meski begitu, ia mengaku tetap mengupayakan semaksimal mungkin agar bisa menabung walau Rp 100.000 per bulan. Tabungan itu untuk berjaga-jaga dalam kondisi darurat.

Biaya ”over garap”

Lantas, bagaimana dengan fasilitas rumah dinas? Feddy hanya menggeleng. Fasilitas rumah dinas yang ada, selain jauh dari tempatnya bertugas, juga masih diisi prajurit TNI aktif lainnya.

Kalau ada peluang untuk masuk dan tinggal di lingkungan rumah dinas, ia mengaku masih harus keluar uang lagi untuk membayar biaya yang kerap diistilahkan uang ”over garap”. Nilainya lumayan besar, mencapai Rp 60 juta.
Uang itu menjadi semacam pengganti ongkos pemeliharaan rumah selama ditinggali penghuni lama dan menjadi semacam kesepakatan bersama. Uang dibayarkan sebelum penghuni lama keluar dari rumah dinas itu.

”Padahal, kalau cuma diberi kesempatan menempati rumah dinas, saya sangat bersyukur. Namanya juga anak buah, saya hanya bisa patuh pada perintah atasan. Sekarang ini saya hanya berharap kebijakan menaikkan remunerasi prajurit TNI bisa segera direalisasi. Kami sangat berharap dengan itu,” ujarnya.

Kebiasaan dan tata cara memberikan uang ”over garap” dari calon pengisi rumah dinas kepada penghuni lama juga diakui Eli Sutianti, istri Sersan Mayor (Mar) Riyanto yang bertugas sebagai prajurit Marinir sejak 1978.
Baru setelah 12 tahun menikah, pada 1993 Eli dan suaminya mampu membeli sebidang tanah di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Ia mengaku pernah juga ditawari masuk dan tinggal di perumahan dinas milik Korps Marinir di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Namun, ia mengaku tidak sanggup membayar uang ”over garap”.
”Waktu itu saya pikir, mendingan uang untuk ’over garap’ disimpan dan nanti dipakai membeli tanah atau uang muka rumah. Kalau dipakai untuk bayar rumah dinas, waktu pensiun nanti kami tidak punya rumah sebab harus keluar,” ujar Eli.

Pasangan itu memiliki dua anak, salah satunya bernama Dwi Yulianti yang menikah juga dengan seorang prajurit Marinir, Prajurit Kepala (Mar) Muryoto. Kepada anaknya, Eli juga menasihati hal serupa, lebih baik menabung dan membeli rumah daripada berharap untuk tinggal di rumah dinas.

Sekarang Eli tinggal di rumah dengan tanah seluas 90 meter persegi. Lahan itu ia beli secara bertahap dari pemilik lama, mulai dari harga tanah Rp 60.000 per meter persegi, Rp 80.000 per meter persegi, hingga merangkak menjadi Rp 100.000 per meter persegi.

”Kalau dahulu bisa disiplin menabung karena kondisinya tak seperti sekarang. Pasar atau mal di mana-mana. Dahulu saya tak pernah keluar jauh-jauh dari rumah. Belanja pun paling sebulan sekali. Jadi bisa nabung walau gaji Bapak tahun 1981 cuma Rp 28.000,” kenang Eli.

Eli dan Feddy hanya cermin dari betapa persoalan kesejahteraan prajurit TNI memang masih saja memprihatinkan. Seiring berjalannya waktu, pemerintah tidak kunjung mampu mencukupi kesejahteraan prajurit mereka, terutama yang berpangkat rendah.

Padahal, sebagai prajurit TNI, mereka dituntut berkorban bagi bangsa dan negara ini. Tidak hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga nyawa.

Teramat sulit membayangkan seorang prajurit TNI berlatih dan bekerja mempertaruhkan nyawa, sementara pada saat bersamaan dia juga harus berpikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk membeli susu bagi anak-anaknya atau memperpanjang kontrakan rumah tempat dia dan keluarga tinggal.

Pemerintah seharusnya tidak sekadar memikirkan cara bagaimana mencukupi kebutuhan rumah dinas prajurit TNI. Akan jauh lebih baik jika pemerintah mencari cara meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI, khususnya yang berpangkat rendah, sehingga kebutuhan primer mereka bisa terpenuhi.

Rumah tinggal milik sendiri yang dapat menjadi tempat bernaung dan berlindung permanen bagi prajurit TNI beserta keluarga mereka. Itulah harapan mereka.

Benua Atlantis itu Bernama Indonesia

Musibah alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis? Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis. Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of  Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Konteks Indonesia Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda. Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking. Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantaibenua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada  Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali. Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui),  tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau. Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.


Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis