Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dan Kapolri Jenderal
Polisi Sutarman menegaskan netralitas jajaran TNI dan Polri saat perhelatan
Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli mendatang. Netralitas ini kembali ditegaskan
sesaat setibanya kedua petinggi TNI/Polri itu di Bandara Pattimura Ambon, pada
9 Juni 2014. Ke-duanya berada di Ambon dalam rangkan memantau situasi dan
kondisi keamanan di Maluku menjelang Pilpres.
Netralitas TNI memang akhir-akhir ini kembali diuji,
menyusul tersiarnya berita oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang diduga
mengintimidasi penduduk Jakarta awal pekan ini untuk memilih Capres tertentu.
Jika di Jakarta saja dengan kualitas pe¬milih yang jauh lebih baik, ternyata
ada oknum Babinsa sudah melakukan intimidasi, bagaimana dengan pemilih di 33
provinsi lain?
Tidak berlebihan jika intimidasi Babinsa di sebuah kelurahan
di Jakarta Pusat mendapat pemberitaan luas dan reaksi keras masyarakat.
Pertama, pasal 30 ayat (2) hingga ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa TNI dan
Pol¬ri harus netral karena tugas mereka sangat strategis. Anggota kedua
institusi ini harus netral. Pasal 260 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wapres menyebutkan, anggota TNI dan Polri tidak meng¬gunakan
haknya untuk memilih. Mahkamah Konstitusi juga tetap mempertahankan ketentuan
ini saat digugat mantan ketua Komnas HAM.
Kedua, TNI dan Polri memiliki kewenangan yang sangat besar.
Anggota kedua institusi ini memiliki senjata api. Jika tidak diwajibkan oleh
hukum agar netral. anggota TNI dan Polri sangat mudah untuk menyalahgunakan
kekuasaan. Masyarakat Indonesia dengan tingkat pendidikan yang masih rendah
sangat rentan terhadap pengaruh pihak yang memiliki kewenangan dan bersenjata
api seperti TNI dan Polri. Apalagi ada pengalaman pada masa Orde Baru, dimana
peran TNI dan Polri seringkali disalahgunakan. Kedua institusi ini kerap
menjadi alat politik untuk mendukung partai berkuasa.
Tentu kita tidak ingin kasus yang sekarang terjadi di
Thailand menimpa Indonesia, karena militer ikut berkecimpung di politik. Segala
cara akan dilakukan untuk bagaimana kepentingan militer diikuti oleh rakyat
yang tentunya belum tentu diterima oleh seluruh lapisan rakyat.
Penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tak boleh tinggal diam dengan kasus-kasus
seperti ini. Sebagai pengawas/pengawal Pemilu yang berintegritas, Bawaslu harus
merespons cepat kasus tersebut. Bawaslu diminta agar tidak sibuk mengawasi
hal-hal sepele tapi malah luput menangani kasus-kasus yang mengancam
prinsip-prinsip Pemilu, yakni adil, jujur dan bebas.
Harus diingat bahwa pengerahan Babinsa untuk mendukung
Capres tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap posisi TNI yang harus
netral sebagaimana diamanatkan oleh UU. Sudah selayaknya TNI dan Polri menjaga
dan merawat posisinya yang paling strategis dan terhormat, yakni netralitasnya
dalam kehidupan kenegaraan. Institusi ini tidak boleh berpihak ke mana-mana,
dan tidak boleh berpolitik. Semoga apa yang dianyatakan Panglima TNI dan
Kapolri dapat diterapkan hingga ke jajaran terbawah.