24 Juni 2014

Diujinya Netralitas TNI dan Polri dalam Pilpres 2014



Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman menegaskan netralitas jajaran TNI dan Polri saat perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli mendatang. Netralitas ini kembali ditegaskan sesaat setibanya kedua petinggi TNI/Polri itu di Bandara Pattimura Ambon, pada 9 Juni 2014. Ke-duanya berada di Ambon dalam rangkan memantau situasi dan kondisi keamanan di Maluku menjelang Pilpres.

Netralitas TNI memang akhir-akhir ini kembali diuji, menyusul tersiarnya berita oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang diduga mengintimidasi penduduk Jakarta awal pekan ini untuk memilih Capres tertentu. Jika di Jakarta saja dengan kualitas pe¬milih yang jauh lebih baik, ternyata ada oknum Babinsa sudah melakukan intimidasi, bagaimana dengan pemilih di 33 provinsi lain?

Tidak berlebihan jika intimidasi Babinsa di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat mendapat pemberitaan luas dan reaksi keras masyarakat. Pertama, pasal 30 ayat (2) hingga ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa TNI dan Pol¬ri harus netral karena tugas mereka sangat strategis. Anggota kedua institusi ini harus netral. Pasal 260 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wapres menyebutkan, anggota TNI dan Polri tidak meng¬gunakan haknya untuk memilih. Mahkamah Konstitusi juga tetap mempertahankan ketentuan ini saat digugat mantan ketua Komnas HAM.

Kedua, TNI dan Polri memiliki kewenangan yang sangat besar. Anggota kedua institusi ini memiliki senjata api. Jika tidak diwajibkan oleh hukum agar netral. anggota TNI dan Polri sangat mudah untuk menyalahgunakan kekuasaan. Masyarakat Indonesia dengan tingkat pendidikan yang masih rendah sangat rentan terhadap pengaruh pihak yang memiliki kewenangan dan bersenjata api seperti TNI dan Polri. Apalagi ada pengalaman pada masa Orde Baru, dimana peran TNI dan Polri seringkali disalahgunakan. Kedua institusi ini kerap menjadi alat politik untuk mendukung partai berkuasa.
Tentu kita tidak ingin kasus yang sekarang terjadi di Thailand menimpa Indonesia, karena militer ikut berkecimpung di politik. Segala cara akan dilakukan untuk bagaimana kepentingan militer diikuti oleh rakyat yang tentunya belum tentu diterima oleh seluruh lapisan rakyat.

Penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tak boleh tinggal diam dengan kasus-kasus seperti ini. Sebagai pengawas/pengawal Pemilu yang berintegritas, Bawaslu harus merespons cepat kasus tersebut. Bawaslu diminta agar tidak sibuk mengawasi hal-hal sepele tapi malah luput menangani kasus-kasus yang mengancam prinsip-prinsip Pemilu, yakni adil, jujur dan bebas.

Harus diingat bahwa pengerahan Babinsa untuk mendukung Capres tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap posisi TNI yang harus netral sebagaimana diamanatkan oleh UU. Sudah selayaknya TNI dan Polri menjaga dan merawat posisinya yang paling strategis dan terhormat, yakni netralitasnya dalam kehidupan kenegaraan. Institusi ini tidak boleh berpihak ke mana-mana, dan tidak boleh berpolitik. Semoga apa yang dianyatakan Panglima TNI dan Kapolri dapat diterapkan hingga ke jajaran terbawah.