11 Oktober 2010

Pengakuan RI Merdeka Tahun 1945

Pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-9 Oktober 2010, Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI.

Kunjungan tersebut mendadak dibatalkan. Padahal, pengakuan itu memberi kedudukan hukum penting bagi RI sebagai negara di mata Belanda.

Pengakuan ini sekaligus merupakan pengakuan de jure terhadap RI, artinya Belanda melihat RI sebagai negara yang berdaulat atas wilayahnya. Pengakuan tertulis itu menyebutkan Belanda menyatakan RI merdeka tahun 1945 (Kompas, 2/10).
Pengakuan itu juga akan menandai sejarah dan lembaran baru bagi hubungan kedua negara. Begitu Belanda mengakui RI adalah negara berdaulat sejak 1945, sejak itu pula RI memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban sesuai hukum internasional. Yang juga penting, pengakuan Belanda mengakhiri polemik kapan sebenarnya penyerahan kedaulatan Belanda ke RI.
Menjadi polemik karena menurut Belanda status kedaulatan RI belum jelas. Belanda melihat kedudukan RI sebagai negara berdaulat masih bermasalah secara hukum internasional.
Segera setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda berupaya mengambil kembali kekuasaannya atas wilayah Indonesia. Upaya pengambilalihan secara militer ini dikenal sebagai agresi militer kesatu (1947) dan kedua (1949).
Pengakuan kedaulatan RI justru datang dari Mesir dan India, yang sebenarnya sudah cukup memperkuat status hukum RI sebagai negara baru menurut hukum internasional.
Dua bentuk pengakuan
Pengakuan suatu negara dapat dibagi dalam dua bentuk: de facto dan de jure. Suatu negara memberi pengakuan de facto apabila mengakui kemerdekaan atau lahirnya suatu negara baru. Negara itu memberi pengakuan de facto karena masih menyangsikan, apakah negara baru itu mampu menjalankan kedaulatan di dalam negeri dan mampu menjalin hubungan luar negeri.

Pengakuan de jure diberikan ketika suatu negara menerima penuh lahirnya suatu negara baru. Negara itu tidak menyangsikan lagi eksistensi dan kemampuan negara baru memerintah ke dalam dan ke luar berhubungan dengan negara lain.

JL Brierly (1955) mengungkapkan bahwa pengakuan sebenarnya lebih banyak bernuansa politis daripada hukum. Menurut Podesta Costa (1979), pengakuan tidak wajib dan lebih bersifat fakultatif. Artinya, suatu negara akan memberi atau tidak sifatnya sukarela dan tidak ada dampak hukum apa pun.

Pemberian pengakuan Belanda kepada RI menjadi penting bagi kedudukan RI. Pertama karena Pemerintah Belanda selama ini menganggap hanya menandatangani penyerahan kedaulatan tahun 1949 (Kompas, 2/10).
Kedua, Pemerintah Belanda belum atau tidak pernah secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RI. Belanda tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Sarjana hukum internasional terkemuka dan mantan pejabat Kementerian Luar Negeri Belanda, Herman Burgers, dalam tulisannya, What Sovereignity was Transferred to the Republic of Indonesia? (1999), menegaskan bahwa Belanda tidak pernah menyerahkan kedaulatan kepada RI. Menurut Burgers, kedaulatan Belanda diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus 1949.
Konferensi dihadiri perwakilan Belanda, RI, serta wakil dari utusan negara federal Indonesia. Disepakati kedaulatan Belanda diserahkan kepada RIS.
Penyerahan kedaulatan secara resmi berlangsung di istana Kerajaan Belanda di Amsterdam, 27 Desember 1949. Acara dihadiri oleh perwakilan Belanda, yaitu Ratu Juliana, dan wakil dari RIS, Mohammad Hatta.
Kedua rangkaian peristiwa menunjukkan bahwa penyerahan kedaulatan Belanda adalah kepada RIS, bukan RI. Itu sebabnya, mengapa selama ini Belanda tidak pernah mengakui RI secara de jure. Dapat pula kita pahami mengapa selama ini Pemerintah Belanda absen dalam acara peringatan 17 Agustus.

Persepsi RI, seperti yang kita pegang teguh, adalah tidak pernah menerima kedaulatan dari Belanda. Kita berjuang sendiri, memproklamasikan kemerdekaan, dan menyatakan diri sebagai suatu negara.
Pada kenyataannya, dengan atau tidak adanya pengakuan, sebagai suatu negara, RI telah memenuhi persyaratan sebagai negara seperti yang disyaratkan Konvensi Montevideo 1933. Sebagai negara, RI memiliki penduduk, pemerintahan, wilayah, dan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain.

Arti penting pengakuan

Meski demikian, penyerahan pengakuan secara tertulis dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI tetap merupakan peristiwa sejarah penting bagi RI. Pengakuan ini akan mengubah kedudukan RI sebagai suatu negara di mata Belanda.

Meski JL Brierly berpendapat pengakuan itu sifatnya politis, bukan hukum, atau Podesta Costa yang menyatakan pengakuan itu sifatnya fakultatif, pemberian pengakuan tetap bermakna.

Pengakuan Belanda berbeda dengan pengakuan Mesir atau India. Karena diberikan negara eks koloni, secara implisit menunjukkan pengakuan Belanda bahwa RI memang telah berdiri sebagai negara yang berdaulat, terlepas dari ada tidaknya penyerahan kedaulatan dari Belanda sejak 17 Agustus 1945!
Huala Adolf Guru Besar pada Fakultas Hukum Unpad Bandung

Kompas, Kamis, 7 Oktober 2010

Hary Tenoesoedibjo Tawarkan Arbitrase untuk Kasus TPI

Indonesiafile, Jakarta - Pemilik saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) Hary Tanoesoedibjo menyesalkan keluarnya surat dari PLH Dirjen Adminstrasi Hukum Umum (AHU) yang menyebabkan sengketa saham televisi itu menjadi pelik. Namun, dia tetap membuka pintu damai melalui arbitrase.

Demikain dikatakan Hary Tanoesoedibjo dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR yang dipimpin Ketuanya Benny K Harman di Gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (27/7). Sengketa saham bisa melalui arbitrase jika tidak puas dipengadilan. Dalam kejadian ini bisa dimusyawarahkan, kata dia.

Menurut dia kisruh sahama itu secara sistematis membuat TPI terpuruk. Oleh karena itu dia minta surat itu ditarik kembali. Ini harapan kami. Kehadiran kami tidak untuk membahas masalah sengketa saham TPI kami hadir untuk menyampaikan keberataan akan surat PLH Dirjen AHU itu, kata dia.

Hary didampingi Dirut TPI Sang Nyoman Suwisma bersama sejumlah direksi dan komisaris TPI. Sengketa terbuka terjadi saat Siti Hardiyanti Rukmana menggugat PT Berkah Karya Bersama (BKB) terkait RUPSLB TPI 18 Maret 2005.

Menurut kubu Hary Tanoe merupakan dasar bagi kepemilikan BKB atas 75 persen saham TPI. Kepemilikan BKB itu kemudian dialihkan ke MNC pada 21 Juli 2006 dan telah dicatat pada Kementerian Hukum dan HAM.
Pada saat gugatan BKB atas RUPSLB TPI 18 Meret 2005 sedang berjalan, tiba-tiba diterbitkanlah Surat Pelaksana Harian Direktur Perdata tanggal 8 Juni 2010, yang diklaim membatalkan SK 21 Maret 2005 yang mencatatkan hasil RUPSLB 18 Maret 2005, kata Suwisma.

Berdasarkan surat PLH Direktur Perdata itulah, kata Suwisma, kemudian dijadikan dasar Siti Hardiyanti Rukmana (SHR) mengadakan RUPS tanggal 23 Juni 2010. Hasil RUPS itu menurut kubu Hary Tanoe menghasilkan kepengurusan TPI ilegal versi SHR.

Komisi III Sesalkan Anggota Komisi III DPR juga menyesalkan keluarnya surat dari kantor Depkumham dan meminta dalam waktu dekat ada klarifikasi dari Menkumhan. Mereka juga menyarankan agar dilakukan arbitrase sebelum masalah ini diselesaikan di pengadilan.
Ketua Komisi III Benny K Harman meminta kelancaran dan keamanan kerja di TPI tetap terjadi. Semua pihak harus menghargai proses hukum yang sedang berlangsung. Sumber masalah di Kemenkumham. Komisi III DPR akan minta klarifkasi ke Menkumham dan bila ada masalah harus dicabut, kata Benny.

Sementara Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan lebih senang jika PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) mau mengembalikan uang hasil dari akses fee Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, Kemenkumham.
Namun karena khawatir pertemuan antara JAM Pidsus, Muhammad Amari dengan Harry Tanoesoedibyo menimbulkan polemik, Jaksa Agung Hendarman Supandji melarang Amari bertemu lagi dengan Harry Tanoe adik kandung tersangka Sisminbakum, Hartono Tanoesoedibyo.

Saya sudah beri teguran secara lisan dan minta untuk tidak diulangi, kata Hendarman kepada wartawan di Kejaksaan Agung usai menanda-tangani MoU dengan Menteri Kesehatan, Selasa (27/7), soal
Rumah Sakit yang dimiliki Kejaksaan.

Hendarman mengakui, sebelumnya Amari pernah izin dan melapor kalau ada dari pihak Hartono mau mengembalikan uang. Saya setuju dan senang jika memang uangnya mau dikembalikan. Tapi saya tidak tahu kalau kemudian ada pertemuan tersebut, ujarnya.

Dia juga tak tahu apakah dengan demikian PT SRD mengakui ada kerugian negara dalam kasus Sisminbakum. Saya tidak tahu. Dia mintanya begitu. Tanya sama dia, kata Hendarman.

Sementara pengacara mantan Dirut PT SRD, Yohanes Waworuntu, Eggi Sudjana mengatakan, adanya pertemuan Amari dengan Hary Tanoe yang membahas pengembalian uang membuktikan kliennya tidak pernah menerima aliran dana dari Sisminbakum.

Padahal, tutur Eggi, Mahkamah Agung (MA) di dalam putusannya telah memerintahkan kliennya harus mengembalikan kerugian negara, termasuk gaji yang diterimanya. Oleh karena itu dia menilai, MA seharusnya malu hati. Sebab MA membuat putusan yang tidak agung, ucap dia.

08 Oktober 2010

TOKOH PERGERAKAN; IJ Kasimo dan Politik Bermartabat

Ignatius Joseph Kasimo saat bertemu Presiden Soekarno.
ST SULARTO

Nama Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) tidak setenar nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, ketika praksis berpolitik belakangan ini cenderung menjadi komoditas dan tempat mencari kedudukan, sosok Kasimo menjadi referensi aktual.

Bersama orang-orang seangkatan, seperti Natsir dan Prawoto, tujuan Kasimo berpolitik itu jernih, untuk rakyat dan bukan untuk dapat banyak honor,” kata sejarawan Anhar Gonggong seputar ketokohan IJ Kasimo dalam sejarah pergerakan kemerdekaan.

Kasimo memberi teladan bahwa berpolitik itu pengorbanan tanpa pamrih. Berpolitik selalu memakai beginsel atau prinsip yang harus dipegang teguh. Berpolitik menjadi bermartabat.

Moto salus populi suprema lex (kepentingan rakyat hukum tertinggi), kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas, merupakan cermin etika politik yang nyaris jadi klasik dari tangan Kasimo. Masuk ke gelanggang politik merupakan panggilan hidup, sikap dan perbuatannya jauh dari motivasi memperkaya diri, keluarga, dan kelompok. Kasimo seorang negarawan sejati.

Menyambung Jakob Oetama, di mata Harry Tjan Silalahi, Kasimo adalah manusia berkarakter. Berkorban tanpa pamrih, hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi kesalehan hidup. Karena itu, Kasimo dianugerahi umur panjang. Meninggal dalam usia 86 tahun, 1 Agustus 1986, tidak pernah korup berkat pendidikan Barat yang membedakan ”milikku” dan ”milik negara”, mine and yours.

Dari Jawa mengindonesia

Kalaupun kemudian Kasimo dikenal sebagai politisi Katolik, kata Jakob Oetama dan Harry Tjan Silalahi, bahkan dikenang sebagai Bapak Politik Umat Katolik Indonesia, iman Katoliknya memberi inspirasi, memperkuat sikap dan pandangan idealisme.

Meskipun selalu berpakaian Jawa lengkap, Kasimo lebur dalam upaya mengajak dan menyadarkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. ”Dari Jawa mengindonesia,” tegas Harry Tjan.

Lahir sebagai anak kedua dari 7 bersaudara dari pasangan Dalikem-Ronosentika, seorang prajurit Keraton Yogyakarta, Kasimo tampil memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Ia berjuang lewat Volksraad, lewat partai, tidak dengan menampilkan sikap sektarian, tetapi berdasar platform kebangsaan yang majemuk. Partai Katolik bukanlah partai konvensional, melainkan partai yang mendasarkan diri pada ajaran dan moralitas Katolik.
Mengenai posisi golongan Katolik, kata Daniel Dhakidae—Pemimpin Redaksi Majalah Prisma—di Hindia Belanda tahun 1930-an golongan Katolik dianggap seperti golongan ”paria” di India. Karena itu, kehadirannya tidak diperhitungkan.

Dalam kondisi demikian, peran pastor-pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi serba salah. Pastor Frans van Lith SJ merupakan satu dari antara mereka yang bersimpati dan kemudian memihak orang bumiputra.

Menurut JB Sudarmanto yang melakukan penelitian tentang Kasimo, setahun setelah diangkat sebagai anggota Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataan, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku bangsa-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”

Kasimo juga ikut serta dalam Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, berkat diangkatnya Kasimo menjadi anggota penuh delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda dari Partai Katolik, dan Supeno dari Partai Sosialis, Belanda bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan.

Bersama Kolonel AH Nasution, Kasimo—Ketua Partai Katolik (1924-1960)—menjalankan fungsi pemerintahan negara dengan membentuk Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD). Kerja sama erat dalam kedudukannya sebagai pejabat KPPD di Jawa dengan Markas Komando di Jawa lewat penandatanganan bersama menghasilkan banyak keputusan sebagai legalitas formal Pemerintah Pusat RI di Jawa ketika bergerilya semasa Clash II.

Partai politik, bagi Kasimo, merupakan sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang dia dirikan berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia tahun 1972.

Dosen Sejarah Gereja, RL Hasto Rosariyanto SJ, menggarisbawahi pendapat orang tentang kesamaan ketokohan Kasimo dan Cory Aquino. Mereka bertemu dalam kegiatan politik yang digerakkan oleh cinta tanah air, sederhana, dan jujur. Sebuah bentuk keluhuran yang di hari-hari ini menjadi amat mewah, terlebih saat berpolitik tidak lagi didasarkan atas keberpihakan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Akan tetapi, mengapa hingga kini IJ Kasimo belum juga dianugerahi gelar pahlawan nasional? Ya, mengapa belum? Dua seminar tentang Kasimo yang digelar pada 8 Oktober 2010 di Yogyakarta dan 12 Oktober 2010 di Jakarta merupakan salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut.

SBY Versus RMS?

Jumat, 8 Oktober 2010 | 04:18 WIB
 
Pamungkas Ayudhaning Dewanto

Indonesia kembali diguncang persoalan diplomatik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sejak 2007 merencanakan kunjungan kenegaraan ke Belanda atas undangan Ratu Beatrix, menunda kepergian menjelang keberangkatan.

Alasan penundaan adalah Presiden Yudhoyono akan ”diseret” mengikuti sidang atas tuntutan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tuntutan diajukan oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri Republik Maluku Selatan (RMS).

Penulis mengapresiasi langkah Presiden menunda kunjungan dengan beberapa catatan.

Pertama, meski dipahami secara kasatmata sebagai blunder dalam pemahaman hukum internasional, penundaan harus diartikan dalam kerangka tekanan psikologis terhadap Kerajaan Belanda. Negara itu tidak mengklarifikasi adanya persidangan kasus HAM Indonesia di Den Haag. Oleh karena itu, Pemerintah RI harus segera menjadwalkan kunjungan pengganti agar dapat meminta klarifikasi Kerajaan Belanda.

Kedua, agenda yang telah lama dirumuskan, yakni menandatangani dokumen kemitraan komprehensif di antara kedua negara, harus segera dilaksanakan.

Preseden internasional

Untuk kesekiankalinya langkah Pemerintah RI terhenti karena adanya perlawanan pihak-pihak gerakan separatis. Pada Agustus 2005, RI telah dikebiri dengan mendudukkan Gerakan Aceh Merdeka setara dengan Pemerintah RI dalam perundingan Helsinki. Kini, pemerintah harus menunda kunjungan akibat ulah sekelompok anggota RMS yang mengancam hendak menyeret Presiden Yudhoyono ke pengadilan.

Sebagai catatan, gerakan separatis dunia mendapatkan angin segar setelah pada 17 Februari 2008 Parlemen Kosovo berhasil mendeklarasikan kemerdekaan secara unilateral yang didukung oleh banyak negara Barat. Inilah yang kemudian menjadi preseden internasional positif bagi gerakan separatis lainnya untuk menyalurkan kepentingan dalam forum-forum internasional. Namun demikian, banyak kelemahan atas kinerja negara yang lahir dari rahim separatisme semacam ini, di antaranya adalah ketidakpastian ekonomi. Sebagai bukti, tidak sedikit warga Serbia-Kosovo yang memprotes kinerja pemerintahan Kosovo belakangan.

Walaupun Piagam PBB memberikan dukungan atas hak untuk menentukan nasib sendiri (right of self-determination), output yang diraih dengan jalan separatisme tidak jarang memakan banyak korban. Dalam berbagai praktik separatisme di negara lain, ribuan hingga puluhan ribu jiwa tewas akibat ulah gerakan separatis bersenjata. Sayangnya, hingga sekarang di antara rezim internasional yang ada hanya Shanghai Cooperation Organization yang secara tegas mendeklarasikan perang, tidak hanya untuk memberantas terorisme, tapi juga separatisme dan radikalisme agama.

Penulis melacak, RMS sejak Mei 2008 gencar mengampanyekan HAM yang mereka sebut dengan Moluccas International Campaign for Human Rights (MICHR). Misinya adalah mengusut berbagai pelanggaran HAM yang mereka anggap dilakukan oleh Pemerintah RI. Tujuan utamanya adalah untuk melobi para politisi dan anggota parlemen di seluruh dunia, khususnya Komisi Eropa, untuk turut memperjuangkan kemerdekaan kelompok mereka (www.michr.net).

Di Belanda, gerakan ini menaruh harapan besar dengan turut bergabung dalam berbagai pergerakan politik dalam negeri yang mendukung kepentingan kelompok RMS.

Namun, kenyataannya, Kerajaan Belanda telah menorehkan dalam dokumen kemitraan komprehensif RI-Belanda bahwa negaranya telah mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Langkah di atas menuai kekhawatiran kelompok separatis yang masih bercokol di negara itu karena mereka menilai bisa menjadi entry point menguatnya pengakuan kedaulatan RI di mata Kerajaan Belanda.

Langkah antisipasi

Ada tiga langkah yang diharapkan menjadi pelajaran dan jalan keluar dari kasus ini.
Pertama, pemerintah perlu membangun kerja sama lebih lanjut dengan Kerajaan Belanda demi membangun kepercayaan politik. Belanda menjadi mitra yang setara dan kompeten untuk meningkatkan kesejahteraan di antara keduanya.

Penguatan lobi pemerintah untuk merangkul Kerajaan Belanda menjadi langkah penting mengatasi berbagai manuver para politisi lokal dalam meloloskan lobi kelompok separatis.

Kedua, sedikit banyak penulis mengidentifikasi menguatnya pergerakan RMS di Belanda merupakan eskalasi dari pernyataan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda JE Habibie yang memberikan kritik keras terhadap Partai Kebebasan (PVV).

Pernyataan politis tersebut justru menjadi bumerang terhadap kepentingan nasional Indonesia, hendaknya mampu ditahan oleh seseorang yang mengemban misi kedaulatan di negeri orang. Partai pimpinan Geert Wilders, yang belakangan cukup populer ini, sangat berpotensi mendorong kepentingan kelompok separatis.

Ketiga, mencermati fakta bahwa kekuatan riil RMS di bumi Maluku Selatan telah banyak berkurang, bahkan menghilang seiring dengan larinya Alexander Manuputty, Ketua RMS, ke Amerika Serikat.

Oleh karena itu, republik ini tidak perlu takut sekalipun harus melaksanakan referendum sebagai kemungkinan terburuk. Pemerintah pun perlu berkonsentrasi untuk membangun kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Maluku sehingga ketergabungannya dengan RI dapat dimaknai secara positif oleh rakyat dibandingkan dengan kehadiran RMS.

Kemerdekaan Kosovo menjadi preseden yang sangat ditakuti oleh berbagai negara yang anti- separatisme. Tidak mustahil berbagai gerakan serupa akan bermunculan. Oleh karena itu, RI harus lebih berkonsentrasi dalam membangun kesejahteraan di setiap sudut wilayah teritorialnya. Ini terutama untuk mengurangi kemungkinan munculnya gerakan separatis lain, jika perlu membawa isu ini ke tingkat ASEAN agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam memberantas separatisme.

Pamungkas Ayudhaning Dewanto Editor Global Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI