05 Januari 2010

Gus Dur dalam Perspektif Keulamaan

Anwar Hudijono

Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo tahun 1984 panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dengan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah akibat KH Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, menolak KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU, selama tidak mau melepaskan jabatannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, Ketua Umum PBNU kok ngurusi ketoprak. Gus Dur bersikeras lebih baik tidak jadi Ketua Umum PBNU daripada melepas jabatan Ketua DKJ.

Sikap keras Gus Dur sekilas agak menyimpang dari tradisi keulamaan NU. Seharusnya Gus Dur tawaduk (tunduk) kepada kiai. Apalagi KH Machrus saat itu Rois Syuriyah Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.

Masalah selesai saat KH Achmad Sidiq dari Jember bercerita kepada KH Machrus, ia bermimpi melihat KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, berdiri di atas mimbar. Spontan KH Machrus berubah sikap mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, KH Hasyim merestui Gus Dur. Ia tawaduk pada KH Hasyim, yang juga putra Hadratus-syekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan gurunya.

Gus Dur mulus ditunjuk menjadi Ketua Umum PBNU oleh KH As’ad Syamsul Arifin, sebagai pemegang otoritas penyusunan pengurus PBNU yang dinamai ahlul halli wal aqdi.

Fenomena ini menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab (geneologis), yaitu atas dasar hubungan darah, dan atas dasar hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.

Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat. Selain jalur ayah, dari jalur ibunya kuat pula. Ia juga cucu KH Bisri Syansuri, Rois Aam ketiga PBNU yang juga pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang. Bahkan, mungkin dalam perspektif nasab, tidak ada yang lebih kuat dari Gus Dur.

Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng adalah ”kiblat”. Banyak kiai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Untuk itu, putra atau cucu kiai dipanggil Gus.

Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia memiliki kemampuan keilmuan yang tiada duanya di NU. Ia menguasai kitab kuning, seperti Tafsir Jalalain, Ihya Ulumudin, dan buku agama karya ulama khalaf (baru). Ia juga mumpuni dalam pelbagai ilmu, baik yang klasik maupun yang modern. Saat masih di SLTP, ia sudah menguasai buku Das Capital karya Karl Marx. Ia otodidak yang cerdas.

Dia diibaratkan: ka sajaratin khabitsatin ardhua tsabit wa far’uha fissama’ (pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan batangnya menjulang ke langit). Artinya, dia memiliki akar tradisi yang kuat dan wawasan kemodernan juga tinggi.

Ilmu Gus Dur luas dan multidisiplin. Ditambah otak yang brilian sehingga dia dianggap memiliki ilmu ladzuni, yaitu ilmu yang langsung diajarkan Allah dalam otak dan hati tanpa melalui proses belajar. Ia seperti mengerti sebelum diajarkan. Oleh warga NU, dia juga dianggap sebagai wali.

Mendengar dan patuh

Bekal superioritas itu menempatkan Gus Dur di posisi puncak otoritas keulamaan. Dalam otoritas itu ada kaidah sami’na wa atha’na (mendengar dan patuh), sebab alulamau waratstul anbiya (ulama itu pewaris nabi). Dengan posisi itu, sebenarnya para kiai yang harus mendengar dan patuh kepada Gus Dur, bukan sebaliknya. Jika Gus Dur tunduk dan patuh kepada sejumlah kiai, itu karena kiai tersebut sependapat dengan Gus Dur. Jika bertentangan, akan ditinggalkan.

Inilah latar belakang mengapa tanpa sungkan ia berani berlawanan dengan ulama besar, bahkan pamannya, seperti KH Yusuf Hasyim, putra bungsu KH Hasyim Asy’ari, KH Sochib Bisri, dan Rois Aam PBNU KH Sahal Mahfudz yang pamannya dari jalur ibu. Nasab Gus Dur dianggap lebih kuat.

Ketika menjadi Ketua Umum PBNU, dia berani menentang KH As’ad. Padahal, sebagai ahlul halli wal aqdi dan Mustasyar Aam PBNU, posisi KH As’ad sangat kuat dalam struktural NU. Akhirnya, menjelang Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, pada 1989, KH As’ad memilih mufaraqah (menyempal) dari barisan Gus Dur.

Hubungan Gus Dur dengan Rois Aam PBNU KH Achmad Siddiq bisa harmonis karena bisa ngemong. KH Achmad sangat paham, Gus Dur tidak bisa ditegur di depan umum. Walau secara struktural di bawahnya, tetapi secara kultural di atasnya.

Adapun KH Ali Yafie, yang menggantikan KH Achmad yang wafat, dan KH Sahal memilih taqrir (mendiamkan) sepak terjang Gus Dur karena itu lebih baik daripada menentangnya. Hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqih: darul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih didulukan daripada membuat kebaikan).

Bahwa kiai yang harus mendengar dan tunduk kepadanya terlihat saat pertemuan di Ponpes Langitan, Tuban (Jatim), antara Gus Dur dan kiai khos (kiai khusus yang memiliki karisma dan otoritas keulamaan kuat) menjelang Pemilu Presiden 1999. Dalam pertemuan itu, kiai khos keberatan Gus Dur dicalonkan Poros Tengah karena jabatan itu bukan maqam (tempat) Gus Dur. Namun, Gus Dur mengabaikan pendapat kiai itu. Dia mengatakan, selama Amien Rais, pemrakarsa Poros Tengah, menyuruh terus, dia akan terus. Walhasil, kiai khos itu akhirnya sami’na wa atha’na alias setuju saja. Gus Dur pun terpilih.