26 November 2010

Meruntuhkan Kesaktian Gayus

Sejak semula, sudah dapat diduga skandal rekayasa pajak dengan tokoh sentral Gayus HP Tambunan sulit diselesaikan tuntas oleh kepolisian. Setidaknya, gejala ke arah itu dapat dilacak dari keterlibatan sejumlah petinggi polisi dalam jejaring kejahatan pajak Gayus.

Di tengah sorotan tajam publik, rekayasa guna melindungi sejumlah petinggi di jajaran kepolisian berlangsung secara sistemik. Bukti yang sulit dibantah, upaya melokalisasi keterlibatan polisi sampai perwira menengah saja. Padahal, ketika memberikan keterangan, Gayus menyatakan pernah mengeluarkan 500.000 dollar AS kepada perwira tinggi polisi untuk membuka blokir rekening atas namanya.

Dengan kondisi itu, sulit menerima peran kepolisian menyelesaikan skandal Gayus. Namun, tak mudah membangun argumentasi agar penyelesaian megaskandal pajak ini tak ditangani polisi. Bagaimanapun, sulit dibantah, banyak pihak berkepentingan skandal ini tetap diselesaikan kepolisian. Apalagi, pengalaman menunjukkan polisi paling sulit bertahan dari segala macam godaan dan kepentingan di luar penegakan hukum.
Namun, begitu kehadiran Gayus menyaksikan kejuaraan tenis di Bali diketahui publik, polisi jadi kehilangan basis argumentasi untuk terus bertahan melanjutkan penyelesaian skandal ini. Argumentasi kian terkikis habis karena semua fasilitas dan kemudahan yang didapat Gayus selama masa tahanan diperoleh dengan melakukan tindak pidana berupa suap ke sejumlah polisi di rutan.

Keniscayaan
Dengan hilangnya basis argumentasi ini, pilihan membawa penyelesaian menjauh dari kepolisian jadi sebuah keniscayaan. Berkaca dari desakan publik beberapa waktu terakhir dan melihat ”kesaktian” yang dimiliki Gayus, tak cukup apabila KPK hanya sebatas melakukan supervisi. Memilih langkah mengedepankan supervisi potensial mengubur penyelesaian skandal Gayus secara tuntas.

Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, langkah konkret yang harus dilakukan adalah mengambil alih penyelesaian skandal Gayus. Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan ”KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian”. Dengan dasar itu, siapa pun tak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian skandal pajak Gayus.

Melihat jejaring Gayus dengan polisi (termasuk jaksa) dan penyuapan yang dilakukan selama dalam masa tahanan, alasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 9 UU No 30/3002 telah terpenuhi. Setidaknya, terdapat kecenderungan penanganan tindak pidana korupsi ditujukan guna melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Kecenderungan ini dapat dilacak dari adanya upaya mengalihkan dari rekening tak wajar Gayus jadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan jumlah kerugian negara Rp 570.952.000.

Padahal potensi kerugian negara dari PT SAT tak sampai seujung kuku dari keseluruhan jumlah rekening dan safe deposit box Gayus. Oleh karena itu, patut diduga, strategi mengalihkan tindak pidana utama ke kasus PT SAT hampir pasti ditujukan untuk menutup upaya membongkar asal-muasal uang yang masuk ke rekening Gayus. Dengan logika sederhana, jika asal-usul uang Gayus didalami, pasti akan sampai ke perusahaan-perusahaan besar yang pernah menerima keahlian Gayus. Misalnya, ia mengaku menerima 3 juta dollar AS dari tiga perusahaan besar: Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources (Kompas, 29/9).

Sementara itu, alasan berikutnya: penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi juga dengan nyata terjadi pada penanganan skandal Gayus. Setidaknya, pemberian sejumlah uang ke sejumlah petugas dengan maksud mendapat segala macam selama dalam tahanan adalah bukti nyata proses hukum telah menimbulkan praktik korupsi lain. Keadaan bisa bertambah runyam karena uang Rp 75 miliar dalam safe deposit box masih misterius. Bukan hanya kalangan yang sejak awal memberikan perhatian pada skandal ini, pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, pun mempertanyakan misteri safe deposit box tersebut.

Sementara itu, sebagai sebuah keniscayaan, pengambilalihan dapat diletakkan dalam skenario mempercepat penyelesaian skandal Gayus. Sebagaimana ditegaskan Pasal 8 Ayat (3) UU No 30/2002, dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

Meruntuhkan kesaktian

Merujuk pada ketentuan Pasal 8 dan 9 UU No 30/2002, pengambilalihan menjadi wewenang KPK yang tak dapat dilepaskan dari posisi lembaga ini sebagai extra-ordinary body dalam memberantas korupsi. Dalam pengertian itu, pengambilalihan sangat tergantung dari kemauan dan keberanian KPK. Karena jadi semacam hak eksklusif KPK, pernyataan Presiden bahwa skandal Gayus tetap ditangani polisi seharusnya tak menyurutkan langkah KPK melakukan pengambilalihan.

Yang perlu disadari KPK, sebagai lembaga independen, mereka punya dasar hukum amat kuat untuk mengambil alih skandal Gayus. Selain pijakan hukum, mayoritas publik juga memberikan legitimasi sosial kuat bagi KPK. Oleh karena itu, jika KPK mengurungkan niat mengambil alih, bukan tak mungkin akan menambah kesaktian pegawai golongan III Ditjen Pajak ini. Jika itu terjadi, jangan pernah berharap membongkar secara tuntas semua jaringan mafia pajak terkait Gayus.

Tak hanya dasar hukum dan dukungan publik, dengan masuknya Busyro Muqoddas menggantikan Antasari Azhar, tambahan darah segar pasti akan mengalirkan energi baru guna membongkar semua skandal korupsi yang punya relasi politik dan/atau ekonomi amat kuat. Khusus skandal mafia pajak ini, publik tengah menunggu kemampuan dan kemauan KPK meruntuhkan kesaktian Gayus.

Oleh Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Bahaya Di Semenanjung Korea; Simbol Perang China-AS

Seorang tentara wanita Korea Utara melakukan pengamatan di balik pagar kawat berduri di tepi Sungai Yalu, yang berjarak sekitar 70 kilometer di utara kota Siniuju, Korut, Kamis (25/11). Hal serupa dilakukan para tentara Korea Selatan yang sudah bersiaga di lima pulau yang sangat dekat dengan wilayah Korut.
Di pertemuan G-20 dan forum-forum internasional, sering kali ada kegagalan kesepakatan. Hal itu tidak lebih dari kegagalan kesepakatan antara Amerika Serikat dan China. Kegagalan pengurangan emisi di Denmark pada Desember 2009 adalah kegagalan kesepakatan antara AS dan China.

Setidaknya demikian kesan mantan Menteri Keuangan Jerman Peer Steinbruck. Kegagalan perundingan liberalisasi perdagangan dunia adalah juga kegagalan kesepakatan AS-China, didukung Brasil, Rusia, India, dan Indonesia.

Pertarungan nonsenjata ini hanya menghambat kelancaran pertumbuhan ekonomi global dan tidak mematikan dalam sekejap. Bahayanya sekarang, AS-China berbenturan di Semenanjung Korea.

AS dan Korsel adalah sekutu lama karena ideologi demokrasi. Korut-Uni Soviet dipersatukan karena ideologi komunis. Ambruknya Uni Soviet, ambruknya pendanaan, dan sibuknya Rusia memikirkan diri sendiri membuat peran lama tak bisa dipertahankan. Walau Rusia atau bekas Uni Soviet mengalami pemudaran pengaruh, akar klasik persoalan tetap sama. Bedanya, peran Uni Soviet kini digantikan China yang bersekutu dengan Korut, juga sama-sama komunis.

Urusan harga diri

Dua kutub ini amat jelas bermusuhan, terlihat dari nada kalimat para pemimpin. Presiden AS Barack Obama menegaskan dukungan pada Korsel unshakeable. Perdana Menteri China Wen Jiabao menegaskan akan mencoba meredam konflik di Semenanjung Korea. Akan tetapi, PM Wen juga memperingatkan aksi provokasi yang terjadi di Semenanjung Korea.

PM Wen tak menyebut secara eksplisit aksi provokasi itu. Satu hal yang jelas adalah China tidak suka jika ada latihan bersama militer AS dan Korsel. Latihan bersama militer AS-Korsel tahun ini sudah dicoba diingatkan oleh China. Media China menuduh sikap keras Korsel menjadi penyebab serangan Korut pada hari Selasa lalu.
Apakah Korsel yang menjadi sasaran China? Dalam kalimat-kalimat para pemimpin Korsel dan China, jelas disebutkan bahwa China dan Korsel tak pernah menunjukkan sikap saling membenci. Bahkan, kalimat-kalimatnya jelas China dan Korsel adalah sahabat dekat. Sejarah penjajahan membuat mereka dipersatukan karena kebencian pada Jepang.

Sasaran China adalah AS, yang dianggap tetap ingin mencengkeram hegemoni di Asia. China selalu merasa bahwa AS mengepung lewat pembelaan pada Taiwan, juga lewat campur tangan AS pada sengketa wilayah di Laut China Selatan. Bedanya, kasus-kasus ini tak berkembang memanas. Taiwan mendukung AS dan ASEAN merangkul AS, Rusia, dan China. Kasus ini tidak meletup, tetapi berpotensi menjadi bom waktu.

Menambah prahara itu, China masih merasa terluka dengan serangan AS terhadap sasaran armada angkatan lautnya di Hainan di awal dekade 2000-an ini. China juga merasa diimpit oleh AS terkait persoalan Tibet.
China tidak mau hal itu terus terjadi. Dalam buku China That Can Say No yang laku keras di China, sikap itu jelas. Mereka ingin dihargai dan dipandang sebagai sahabat dan bukan ancaman. Harga diri China harus diapresiasi oleh negara-negara lain, terutama AS.

Karena itu, dalam kasus Korut, China bersikap. China jelas tak mau ada perang di Semenanjung Korea. Namun, karena harga diri, dengan keberadaan pasukan AS di halaman belakang China, yakni Korut, tensi meningkat. Untungnya bagi China, Korut tak melirik siapa pun. China harus membela anaknya yang nakal. (MON)

22 November 2010

Seandainya Gayus Dibunuh

Beruntung Gayus HP Tambunan masih hidup. Bagaimana seandainya dia dibunuh saat ”pelesiran” ke Bali atau sebelumnya, saat-saat mangkir dari Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua?
 
Pertanyaan ini bukan mainmain. Mengingat spektrum kasus ”mafia pajak” sekaligus ”mafia peradilan” Gayus HP Tambunan (sebut saja Gayus) sangat luas dan melibatkan banyak pihak, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang terkait dengan kasus Gayus ingin aman dengan cara menghabisi Gayus.

Sejumlah pengamat dan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, menilai proses peradilan Gayus tidak mengungkap semua pihak yang terkait. Tak semua wajib pajak penyuap Gayus diungkap di pengadilan.
Yang terkait dengan kasus Gayus selain para wajib pajak yang belum sempat disebut di pengadilan, bisa juga para pegawai pajak atasan Gayus, para jaksa, para polisi, dan para hakim yang terkait dengan rekayasa pajak dan rekayasa peradilannya. Sebagaimana diberitakan media massa, polisi yang dinyatakan bersalah dalam perekayasaan peradilan Gayus dan sudah divonis baru Komisaris Polisi Arafat dan Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini, di pihak hakim yang mengadili hanya Ketua Majelis Hakim Muhtadi Asnun yang dijatuhi hukuman, belum ada jaksa yang dijatuhi hukuman.

Belum lagi yang berkaitan dengan bocornya rencana tuntutan hukuman Gayus yang sedang dalam proses penyidikan, dan yang terlibat upaya rekayasa dalam rangka merintangi penyidikan kasus Gayus dan seterusnya dan seterusnya.

Pertanyaan di atas juga muncul karena menurut pengakuan Gayus maupun Kepala Rutan Brimob Komisaris Polisi Iwan, Gayus berkali-kali keluar tahanan tanpa pengawalan petugas dari Rutan Brimob sebagaimana mestinya. Karena itu, jika ada pihak yang ingin menghabisinya bisa melakukannya dengan sangat mudah tanpa terlacak jati dirinya. Dengan demikian, tamatlah riwayat penuntasan ”mafia pajak” dan ”mafia peradilan” yang selama ini menyita perhatian kita dan melibatkan Satgas Anti Mafia Hukum, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain.
Bisa buntu
Yang terjadi seandainya Gayus dibunuh, semua pengusutan kasus mafia pajak dan mafia peradilan bisa buntu. Orang-orang yang terlibat (”mafioso”) dalam kasus Gayus, baik dalam perpajakannya, penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, peradilan di pengadilan, pemberian izin ”pelesiran” di rutan, semuanya bisa lolos. Dan yang terpenting, kasus Gayus gagal dijadikan momentum untuk memberantas ”mafia perpajakan” dan ”mafia peradilan”.
Kita kembali melihat mengapa Gayus dan para terdakwa lainnya ditahan dalam rumah tahanan. Dalam bahasa yang lebih umum, apa sebenarnya tujuan penahanan. Pasal 21 (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita mengatur ada tiga alasan penahanan. Pertama, agar terdakwa tidak melarikan diri; kedua, agar tidak menghilangkan barang bukti; dan ketiga, agar tidak mengulangi perbuatannya. Dengan begitu mudahnya Gayus meninggalkan rutan dan tanpa pengawalan, kemungkinan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti itu begitu gampang dilakukannya. Dengan demikian, tujuan penahanan di rutan tidak tercapai lagi.
Nyatanya Gayus tidak melakukan ketiga hal tersebut. Dia berkali-kali keluar rutan dan berkali-kali kembali lagi. Kalau saja dia tidak terjepret fotografer harian Kompas, barangkali dia masih akan mengulang lagi keluar masuk tahanan tanpa diketahui publik.

Tetapi bagaimana jika seandainya Gayus dibunuh atau mengalami kecelakaan dan meninggal? Maka, kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnanen, Direktur PT Rajawali Banjaran, yang melibatkan Ketua KPK Antasari Azhar, akan terulang. Dalam kasus tewasnya Nasrudin, banyak sisi gelap tentang isu pelemahan KPK yang tidak terungkap. Dalam kasus Gayus ini, seandainya Gayus dibunuh, banyak kasus di seputar ”mafia perpajakan” dan seputar ”mafia peradilan” hanya menjadi cerita tak berujung. Para ”mafioso” akan menari-nari dan bebas melakukan praktik permainan pajak dan permainan peradilan bersama ”Gayus-Gayus” lainnya.

Tak tepat sasaran

Setelah kecolongan ”pelesiran” Gayus dari rutan lalu ada gerakan ramai-ramai para akademisi dan praktisi dengan mensimplifikasikan solusi ”pemiskinan” terhadap para tahanan atau narapidana koruptor agar mereka tidak bisa seenaknya mengatur para oknum penegak hukum. Tentu usulan ini tidak tepat sasaran, terutama dalam konteks Gayus, karena belum pasti orang seperti Gayus itu keluar tahanan atas kehendak dan biaya sendiri.

Dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak dan berskala besar bisa dipastikan banyak pihak yang mempunyai kepentingan. Selama dapat mengamankan dirinya dan menyelamatkan praktik busuknya dengan mengeluarkan dana berapa pun bagi mereka tidak menjadi soal. Mungkin bagi mereka dana yang dikeluarkan untuk ”rekanan koruptor” itu dianggap sekadar pengeluaran dana taktis atau dana pengembangan usaha.
Yang terpenting bagi mereka bisa melangsungkan usaha dan terlepas dari ancaman penjara. Bukankah dalam kamus kejahatan berlaku rumus kebohongan yang satu ditutup dengan kebohongan lainnya, kejahatan ditutup dengan kejahatan pula. Bahkan, kalau perlu, membunuh pun bisa jadi pilihan.
Oleh Imam Anshori Saleh Mantan Anggota Komisi III DPR RI

Korut Teruskan Nuklir

Seoul, Minggu - Diam-diam dan dengan kecepatan yang mengagumkan, Korea Utara telah membangun fasilitas baru dan canggih untuk pengayaan uranium. Demikian menurut seorang ilmuwan nuklir AS, sebagaimana diberitakan New York Times hari Sabtu (20/11) malam.

Ilmuwan itu, Siegfried Hecker, mengatakan dalam sebuah laporan yang diterbitkan hari Sabtu bahwa dia dibawa dalam sebuah kunjungan baru-baru ini ke kompleks atom Yongbyon, ke sebuah fasilitas pengayaan uranium.
Fasilitas itu mempunyai 2.000 sentrifugal, mesin putar pemisah, yang telah selesai dipasang, katanya, dan pihak Utara mengatakan kepadanya mereka memproduksi uranium yang diperkaya untuk sebuah reaktor baru.
Hecker—mantan direktur Laboratorium Nuklir Los Alamos, AS, yang secara berkala mendapat kesempatan melihat program nuklir Korut—mengakui bahwa belum jelas apa yang ingin diperoleh Korut dengan memperlihatkan kepadanya area yang awalnya dirahasiakan itu.

Pengungkapan itu mungkin bisa dimaksud untuk memperkuat Pemerintah Korut saat mempersiapkan transfer kekuasaan dari pemimpin Kim Jong Il kepada putranya yang belum membuktikan diri.

Sementara Washington dan negara-negara lain memperketat sanksi, pengungkapan mesin-mesin pemisah itu bisa juga merupakan sebuah upaya oleh Pyongyang untuk memaksakan dimulainya lagi perundingan perlucutan nuklir yang macet.

Apa pun alasannya, mesin-mesin pemisah itu menimbulkan kekhawatiran baru bagi Pemerintah AS, yang tak menginginkan negosiasi langsung dengan Korut menyusul uji coba rudal dan nuklir Pyongyang tahun lalu. Deplu AS mengumumkan bahwa utusan khusus Pemerintah AS untuk Korut merencanakan mengunjungi Korsel, Jepang, dan China mulai hari Minggu.

Korea Utara mengatakan kepada Hecker bahwa mereka memulai pembangunan mesin pemisah itu pada April 2009 dan selesai hanya beberapa hari sebelum kunjungan ilmuwan itu pada tanggal 12 November.
Hecker mengatakan kepada New York Times bahwa dia terkejut melihat fasilitas baru yang canggih itu dan bahwa dia telah melaporkan kepada Gedung Putih mengenai temuannya beberapa hari lalu setelah kembali dari Korut.

Fasilitas itu tampaknya terutama untuk tenaga nuklir sipil, bukan untuk persenjataan nuklir Korut, kata Hecker. Dia tak melihat bukti produksi plutonium di Yongbyon. Namun, katanya, fasilitas pengayaan uranium ”bisa diubah untuk memproduksi bahan bakar bom uranium yang diperkaya.”

Pengayaan uranium akan memberi Korut sebuah cara kedua untuk membuat bom atom, selain program plutoniumnya yang sudah diketahui. Pada tingkat rendah, uranium dapat digunakan untuk reaktor energi, tetapi pada tingkat yang lebih tinggi bisa digunakan dalam bom nuklir.

Kunjungan utusan nuklir AS Stephen Bosworth ke Asia untuk perundingan mengenai Korea Utara terjadi sementara citra-citra satelit baru memperlihatkan pembangunan berlangsung di Yongbyon. Hal itu—ditambah dengan laporan dari Hecker dan seorang ahli AS yang baru-baru ini mengunjungi kompleks atom itu—tampaknya memperlihatkan bahwa Pyongyang tetap meneruskan tekadnya untuk membangun sebuah reaktor tenaga nuklir. Korut pada bulan Maret mengatakan akan membangun sebuah reaktor air ringan menggunakan bahan bakar nuklirnya sendiri. Hecker dan Jack Pritchard, seorang mantan utusan AS untuk perundingan dengan Korut, telah mengatakan pembangunan sudah dimulai.

Yang Moo-jin, guru besar pada Universitas Kajian Korea Utara di Seoul, mengatakan, pengungkapan uranium itu dimaksud untuk memaksa AS kembali ke perundingan nuklir.
Pengungkapan ini, kata Yang, juga ditujukan kepada publik dalam negeri selama proses pengalihan kekuasaan, guna mengerahkan kesetiaan di kalangan jenderal.

Analisis ICW; Inilah 10 Kejanggalan Kasus Gayus

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 10 fakta kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para penegak hukum.
Peneliti hukum ICW Donald Faris, Minggu (21/11/2010), di kantor ICW, Jakarta, mengungkapkan 10 kejanggalan tersebut. Inilah kejanggalan dan analisa versi ICW.

Pertama, Gayus dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel.

"Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut. Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus," kata Donald.

Dikatakan Donald, pernyataan ini sulit dibantah karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman, dan Kabareskrim dan Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal, dalam kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan. Tujuannya, agar blokir rekening uangnya dibuka.

Kedua, Polisi menyita save deposit milik Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar. Namun, perkembangannya tidak jelas hingga saat ini. "Hingga saat ini, keberlanjutan pemeriksaan atas rekening lain milik Gayus dengan nominal mencapai Rp 75 miliar menjadi tidak jelas. Polisi terkesan amat tertutup atas rekening yang secara nominal jauh lebih besar," kata Donald.

Ketiga, kepolisian masih belum memproses secara hukum tiga perusahaan yang diduga menyuap Gayus, seperti KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Padahal, Gayus telah mengakui telah menerima uang 3.000.000 dollar AS dari perusahaan tersebut.

"Kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Hingga saat ini kepolisian belum memproses ketiga perusahaan tersebut. Padahal, Gayus sudah menyatakan bahwa dia pernah membuat Surat Pemberitahuan Pajak Pembetulan tahun pajak 2005-2006 untuk KPC dan Arutmin. Alasan kepolisian belum memproses kasus ini adalah belum cukup alat bukti. Alasan ini dinilai ICW mengada-ada. Kesaksian Gayus di persidangan dinilai sudah cukup menjadi sebuah alat bukti yang sah di mata hukum," kata Donald.

Keempat, Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini sudah divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut keterlibatannya oleh Gayus belum diproses sama sekali. "Pihak kepolisian melokalisir kasus ini hanya sampai perwira menengah. Baik Kompol Arafat maupun AKP Sumartini seolah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka hanyalah pemain kecil dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan. Polri terkesan melindungi keterlibatan para perwira tinggi," kata Donald.

Kelima, Kepolisian menetapkan Gayus, Humala Napitupulu, dan Maruli Pandapotan Manulung sebagai tersangka kasus pajak PT SAT. Namun, penyidik tak menjerat atasan mereka yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. "Hal ini merupakan bagian dari konspirasi tebang pilih penegak hukum kepada pelaku kecil dan tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat. Selain ketiga tersangka tersebut, berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pajak No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, paling tidak ada dua nama yang seharusnya juga bertanggung jawab, yaitu Kepala Subdirektorat Pengurangan dan Keberatan Johny Marihot Tobing dan Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso," kata Donald.

Keenam, pada 10 Juni 2010 Mabes Polri menetapkan Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus. Namun, tiba-tiba, status Cirus berubah menjadi saksi. "Perubahan status ini dicurigai sebagai bentuk kompromi penegak hukum untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Hal ini amat mungkin terjadi karena dimensi kasus Gayus yang amat luas hingga pada petinggi kepolisian," kata Donald.

Ketujuh, Kejagung melaporkan Cirus ke kepolisian terkait bocornya rencana penuntutan. Namun, hal ini bukan karena kasus dugaan suap Rp 5 miliar dan penghilangan pasal korupsi serta pencucian uang dalam dakwaan pada kasus sebelumnya. "Di satu sisi, langkah Kejagung ini menimbulkan pertanyaan, kenapa yang dilaporkan adalah kasus bocornya rentut, bukan kasus penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang. Langkah ini diduga sebagai siasat untuk melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cirus seorang diri," kata Donald.

Kedelapan, Dirjen Pajak enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga pernah menyuap Gatys karena menunggu novum baru. Padahal, menurut Donald, pernyataan Gayus perihal uang sebesar 3.000.000 dollar AS diperolehnya dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource, bisa dijadikan sebuah alat bukti karena disampaikan dalam persidangan.

Kesembilan, Gayus keluar dari Mako Brimob ke Bali dengan menggunakan identitas palsu. Menurut Donald, hal ini menunjukkan dua kejanggalan. Pertama, kepolisian tidak serius mengungkap kasus Gayus hingga tuntas sampai  ke dalang sesungguhnya.

Kepolisian juga belum tuntas untuk mencari persembunyian harta Gayus sehingga konsekuensinya dia begitu mudah bisa menyogok aparat penegak hukum. Kedua, Gayus memiliki posisi daya tawar yang kuat kepada pihak-pihak yang pernah menerima suap selama dia menjadi pegawai pajak.

Kesepuluh, Polri menolak kasus Gayus diambil alih KPK. Padahal, kepolisian terlihat tak serius menanggani kasus tersebut. Penolakan ini telah terjadi sejak Maret 2010. Saat itu, Kadiv Humas Polri Brigjen Edward Aritonang mengatakan, Polri masih sanggup menangani kasus tersebut. "Nyatanya, Gayus malah berpelesir ke Bali," katanya.

15 November 2010

ratifikasi statuta roma icc dan aktivis 98

Thursday, May 31, 2007

Profil Korban Penghilangan Paksa 1997-1998

Korban Penculikan Aktifis Pro Demokrasi 1997/1998

Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998, terjadi penghilangan orang secara paksa atau dengan kata lain penculikan. Korban penculikan adalah para aktivis dan mahasiswa yang gigih berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru.
Oleh penguasa mereka dianggap sebagai orang-orang atau kelompok yang membahayakan serta merongrong negara, karena mereka memunculkan dan melembagakan pemikiran-pemikiran dan ide-ide yang baru yang menurut penguasa merupakan ancaman dalam menjalankan roda pemerintahan.

KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat ada 23 orang aktifis. 9 orang diantaranya telah dibebaskan karena desakan masyarakat luas, sedangkan 14 yang lain masih tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

Mereka yang sudah dibebaskan:
1. Desmond Junaidi Mahesa, sarjana lulusan Fakultas Hukum, Universitas Lambang Mangkurat. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 12 Desember 1965. Ketika diculik, dia adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta, yang beralamat di Jalan Cililitan I no 11 Rt 07/08 Jakarta Timur. Dalam tugas kesehariannya lebih banyak mengurusi kasus-kasus hukum yang berkaitn dengan kebijkan pemerintah antara lain: penggusuran tanah, tegangan tinggi dan lain sebaginya. Selain aktif sebagai direktur LBHN dia juga anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), serta Forum Kebangsan Indonesia, yang bertujuan untuk mensupport “Lengser Keprabon Mandek Pandito” yang diucapkan oleh Bapak Soeharto. Ia kini menjadi pengacara profesional, dan menjadi pengacara konglomerat Eka Cipta Wijaya, serta pembela Tommy Winata dalam kasus penyerangan terhadap kantor Majalah Tempo.

2. Aan Rusdianto, lelaki kelahiran 13 April 1974 di Purworejo, Jawa Tengah. Saat diculik ia sedang berada di Rumah Susun Klender, Jakarta Timur, dia berprofesi sebagai Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan beberapa lembaga kerakyatan lainnya.

3. Faisol Reza, laki-laki yang berkaca mata dan lebih akrab dipanggil Riza, kelahiran 1 Januari 1973 di Probolinggo, Jawa Timur. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang waktu itu beroperasi “dibawah tanah”. Setelah dibebaskan ia dipilih untuk menjabat sebagai ketua Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang mengikuti Pemilu 1999. Jebolan berbagai pesantren ini sekarang aktif diberbagai organisasi politik alternatif.

4. Andi Arief, sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, jurusan Ilmu Pemerintahan. Ia dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 November 1970. Ketika diculik di Lampung, ia adalah salah satu pentolah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia sedang menekuni dunia bisnis dan politik, tinggal di Bandar Lampung.

5. Nezar Patria, pria yang berkepribadian tenang, dan sering dipanggil dengan Nezar ini dilahirkan di Sigli, Aceh, pada tanggal 5 Oktober 1970. Ia adalah sarjana Filsafat, Universita Gajah Mada. Selama menjadi mahaiswa, aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan Jamaah Salahudin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM ( 1992-1996), dan terakhir dia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) tahun 1996. Ketika diculik, ia sedang bersama Aan Rusdianto di Rusun Klender. Sekarang ia menjadi wartawan Majalah Tempo.

6. Pria yang bernama lengkap Raharja Waluya Jati ini akrab dipanggil Jati dan dilahirkan di Jepara, pada tanggal 24 Desember 1969. Ia diculik ketika sedang bersama Faisol Riza berjalan dari YLBHI di Cikini. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan tengah belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM). Sekarang ia menjadi Direktur Radio Voice of Human Rights.

7. Mugiyanto, atau kerap di panggil Mugi, dilahirkan di Jepara pada tanggal 2 November 1973. Ketika diculik, ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Ia diculik beberapa saat setelah Aan Rusdianto dan Nezar Patria diambil dari Rusun Klender, Jakarta Timur. Saat itu, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang mengurusi bidang internasional. Sekarang ia menjadi ketua organisasi para korban dan keluarga korban penghilangan paksa (penculikan), IKOHI.

8. Pius Lustrilanang, lahir di Palembang 34 tahun yang lalu. Ketika diculik, ia adalah karyawan di ISAI (Institut Studi Arus Informasi), Aktivis Aldera (Aliansi Demokratik Rakyat) serta Sekertaris Jenderal Solidaritas untuk Amien dan Mega (SIAGA) bertempat tinggal di Bandung. Sekarang ia membentuk organisasi para militer atau laskar bernama BRIGASS (Brigade Siaga Satu)

9. Haryanto Taslam, adalah aktifis DPP PDI yang punya jaringan ke grassroot PDI Megawati. Ia kemudian diculik dan beberapa bulan kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia tidak mau memberikan kesaksian seperti yang lain. Ia kini menjadi anggota DPR dan Fungsionaris DPP PDI-P.

Mereka yang Masih hilang:
1. Yani Afri, lelaki yang biasa di sapa Rian, bekerja sebagai sopir dan kelahiran Jakarta 26 April 1971, merupakan korban penculikan 1997, kasus dia diketahui setelah ada laporan dari orang tua korban yakni ibunya, yang bertempat tinggal di jalan dewa kembar RT 07/01 Jakarta Utara, selain sebagai sopir dia uga aktif sebagai anggota Parta Demokrasi Indonesia (PDI), Jakarta utara.

2. Noval Al Katiri, dengan panggilan Noval sebagai pengusaha kelahiran 25 Mei 1967 dia sebagai direktur PT , pria yang bertempat tinggal di Jalan S no 20 Kebon Baru Tebet Jakarta Selatan adalah pendukung berat Mega-Bintang pada Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.

3. Dedy Umar, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan II/2 Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

4. Ismail, sopir dari Dedi Hamdun, yang lahir di Jakarta, dia diculik karena menurut pelaku, korban mengetahui tentang penculikan Dedy Hamdun dan Noval Al Katiri.

5. Herman Hendrawan, pria kelahiran Pangkal pinang 29 Mei 1971 adalah mahasiswa pada sebuah Universitas Negeri di Surabaya (Unair). Mahasiswa yang tinggal di Karang Tengah, Ciledug sementara orang tuanya sendiri tinggal di Pangkal Pinang, Bangka juga pada kegiatan-kegatan yang siftanya politis, hal itu terlihat dengan aktifnya dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)

6. Petrus Bima Anugerah, pria kelahiran Malang 24 September 1973 selain sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, juga aktif dalam beberapa kegiatan politik seperti di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) sebagai pengurus pusat dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

7. Suyat, lelaki kelahiran 1 Oktober 1975 di Sragen, Jawa Tengah. Selain sebagai mahasiswa fakultas sosial dan politik di Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, dia aktif dalam kegiatan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

8. Yadin Muhidin, pria yang lahir di Jakarta 11 September 1976, setelah lulus Sekolah pelayaran langsung mengikuti beberapa ujian untuk masuk kerja di pelayaran. Bertempat tinggal di Jalan Baru Selatan Jakarta Utara ini bukanlah pemuda yang aktif dengan kegiatan-kegiatan politik. Kesehariannya di isi dengan aktifitasnya berkumpul sama-sama dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Kalaupun aktif biasanya hanya pada acara-acara besar seperti buka puasa bersama di bulan Ramadhan dengan teman-teman Musholla di dekat rumahnya

9. Hendra Hambali, pelajar Sekolah Menengah Atas lahir Jakarta.

10. Ucok M Siahaan, mahasiswa Perbanas, kelahiran Jakarta, 17 Mei 1976, beralamat di Jalan Taufiq Rahman 47 Beji Timur Depok. Aktifitasnya tidak begitu diketahui oleh pihak keluarganya selain sebagai seorang mahasiswa apalagi untuk ikut politik-politikan. Pada tanggal 12 Mei 1998 sebelum lengsernya Soeharto, Ucok sempat mengatakan kepada Ibunya bahwa sebentar lagi Soeharto lengser.

11. M. Yusuf, pria yang sering dipanggil Yusuf, dia berprofesi sebagai guru, kelahiran Jakarta 18 September 1969, beralamat di Jalan Raden Saleh II/1 no 7 Jakarta Pusat.

12. Sonny, selain aktifitasnya setiap hari sebagai seorang supir ternyata dia juga aktif dalam perpolitikan yaitu fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Utara.

13. Wiji Thukul, yang kerap dipanggil teman-temannya dengan Wiji Tukul, lahir di Surakarta, 03 November 1967, sebagai anak dari tukang becak di kampung kumuh Sorogenen. Seorang penulis puisi revolusioner yang juga seorang organizer rakyat yang militan, hampir semua karya puisinya berisi protes tajam terhadap kediktatoran rezim orde baru. Dan salah satu puisinya yang berjudul "Peringatan" yang dalam satu baitnya tertulis: …maka hanya ada satu kata: lawan!!!, yang diteriakkan setiap aksi aksi rkyat Indonesia. selain menciptakan karya-karya puisi dia juga menciptakan lukisan cukil kayu. Lelaki yang juga aktif di JAKKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ) yang termasuk underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Yang ditemukan meninggal:
1. Leonardus Gilang
Seorang aktifis pengamen jalanan yang sering terlibat aksi mahasiswa di Jogja dan Solo. Gilang hilang pada bulan April 1998 di Solo, dan ditemukan 3 hari kemudian di Magetan Jawa Timur dalam keadaan meninggal dengan luka-luka tembakan di tubuhnya.

Support Indonesia Ratify Rome Statute on ICC

Indonesia

Asia remains significantly under represented at the ICC with only 5 States Parties: Afghanistan, Cambodia, Mongolia, Republic of Korea and Timor Leste. Greater Asian participation is therefore crucial to ensuring that the ICC truly consolidates as a robust global international institution representing the various legal cultures around the world.

In 2004 Indonesia’s Human Rights Action Plan set 2008 as a target date for accession to the Rome Statute and civil society groups and parliamentarians have been working since then to ensure that this timeline is maintained. Indonesia’s accession is expected to generate an important effect in the region, particularly with other ASEAN States.

From May 7th to 9th, the CICC organized its 2007 Asia Regional Meeting in Jakarta, Indonesia in coordination with Forum Asia and national partners IKOHI and ELSAM. More than 20 CICC members from 16 countries in Asia came together to share strategies, define targets and set campaign goals for ratification and implementation of the Rome Statute in the region.

A delegation composed by several organizations participating in the strategy session met with representatives from the Ministry of Foreign Affairs, National Assembly and Ministry of Justice and Human Rights who all reaffirmed the government’s commitment to moving forward with the accession process.

More than half of the world has ratified the Rome Statute, which came into force in July 2002 and today counts one hundred and four states who have acceded to or ratified the treaty.
Indonesia’s accession to the treaty would strengthen Asian representation at the Court and would assist the region in gaining a stronger voice as an advocate for global justice, helping make the ICC a truly effective and international mechanism for justice and peace.


Take Action Now!
Support the CICC’s appeal by sending letters by mail or fax urging the government of Indonesia to accede the Rome Statute and implement it into national law.

Send your letter to:
H.E. Mr. Hassan WirayudaForeign Minister of the Republic of IndonesiaJl. Taman Pejambon 6, Jakarta Pusat 10110INDONESIA

or you can seet at the following link: http://www.iccnow.org/?mod=urc0507


Your Excellency,I am writing to you to call upon the Indonesian government to move swiftly and promptly accede to the Rome Statute of the International Criminal Court. As the first permanent world court capable of trying war crimes, crimes against humanity and genocide, the ICC constitutes a critical development in the strengthening of human rights and the rule of law.

As you know, Asia remains underrepresented at the Court with only 5 States Parties, namely Afghanistan, Cambodia, Mongolia, Republic of Korea and Timor Leste. Greater Asian representation and participation is crucial to ensuring that the ICC truly consolidates as a robust global international institution representing the various legal cultures around the world.

I was pleased to learn of declarations made on February 9, 2007 by the Director General of the Ministry of Law and Human Rights, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, announcing that the government would intensify preparations of the legislation required to accede and implement the Rome Statute in Jakarta.

I hope that these statements will be in line with the original commitment expressed by Indonesia’s 2004 Human Rights Action Plan setting 2008 as a target date for accession and that we may soon witness Indonesia as an additional Asian State Party to this historic institution.

Sincerely,

Monday, May 14, 2007

Nunca Mas Colombia

"NUNCA MÁS"
CRIMES AGAINST HUMANITY IN COLOMBIA

The great challenges, that the Colombian reality faces today, are marked by a systematic process of human rights violations. These constitute the basic background in which the work of defending human rights comes closer to the search processes of a political way out of the present internal social and armed conflict. In our view, one of the factors that determines the continuity and deepening of this human rights crisis mostly is the IMPUNITY.

The impunity constitutes of an open denial of justice and the right to know the truth. The state’s obligation of punishment can not be negotiated nor be relieved for any reason at all. A state that defends the impunity calls into question its legitimacy, because the guaranty of human rights, fundamental base of the constitutional state, has no meaning when the state fails to sanction those responsible for human rights violations.

Colombia Nunca Más is an initiative with the goal of contributing to the struggle against impunity of the crimes against humanity committed in Colombia , between 1966 and 1998, with the perspective of recuperating the historic memory. This process that was started by a dozen human rights organizations six years ago, has now reached a national level with 17 social and human rights organizations .

It is realized through numerous organizations of workers, peasants, communities, churches etc. with a local, regional or national character. They have formed working groups through out the country. Together, we have collected documented information of more than 38.000 victims of torture, forced disappearance and/or extra-judicial execution, all over the country.

Colombia Nunca Más also tries to contribute to the analysis so that the economical and political causes of the crimes can be understood, as well as the specific contexts of the time and the struggle, the coincidence of the conflicts that lead to the violations, the actors involved, the mechanisms used to commit those crimes and to guaranty their impunity, and the damage caused to the communities and organizations.

For methodological reasons, Colombia Nunca Más has divided the country into zones according to a logic that obeys, more than the current political-administrative division, to the economical and political dynamics, as well as to the forms of repression that have been implemented by the establishment. This is being done with the aim of exterminating the organization process generated by the people, like the alternatives of resistance and dignity.

Also, the investigation brings back to mind the specific and particular facts of what has happened in the different parts of the country, without loosing the national perspective on the strategy of extermination that has been put upon the Colombian people. Given the magnitude of the job, and because of the limitations an experimental undertaking like this brings along itself, Colombia Nunca Más presented the first report a year ago. This report contains a characterization of has been the cycle of violence that started in Colombia in 1966, the values that form the basis of our reaction against this reality, which are truth and justice.

These are the rationales for investigating just the crimes against humanity, together with the experience of the regions that have been tortured by the official terror, like the departments of Meta and El Guaviare and the regions of Northeast Antioqueño and southern Magdalena Medio.

The crimes that have been documented with testimonies, analysis of the penal and disciplinary processes and general information about the economic and political dynamics of the regions wehere the crimes have been committed. Why is it necessary to fight against the impunity of crimes against humanity?Because the impunity is not a juridical problem only. It’s a social phenomenon with grave political and cultural consequences, that has already taken away the safety of the citizens –to begin with the victims–, that legitimizes what has been done to eradicate the civilized society.

The impunity gives the society the message that there is space for a democratic solution of the conflicts. And as a result there is the factor of social demobilization. Since impunity creates a deformed historical consciousness, a compulsive forgetting is installed and it forbids the historical memory; the truth is replaced by an amnesia caused by terror.Those who have part in this initiative for struggle against impunity in Colombia also are conscious of the difference with Argentina, Uruguay, Chile or Guatemala.

In Colombia we are stuck halve way on the road through the mist. Also it clear to us that the recuperation processes of our memory are not aseptic or painless; recovering our pain and our memories will produce a reaction. But we believe that, depending on us, this reaction is stuck in an unmovable pain, or does in the contrary a step forward to what we call the dignification of the victims, of their lives and their accomplishments. We can assist to this by contributing to the transformation of the ‘official history’ and the changing of individual memories, hidden in the collective memory of a people that does not want to repeat nor permit new disgraces in the name of the state, and that fights so that these atrocities will be committed NEVER AGAIN.

The memory has a collective sense of incorporated values, recollections and examples from the past, necessary to live in the present. These values are the traditions on which the present is built. But this construction is not univocal, it’s the struggle for a sense of history, it’s the dispute amongst social subjects for the contents of these values and this tradition.

Colombia Nunca Más accepts the challenge in the struggle for the memory and against the forgetfulness. It’s a challenge with a positive sign. We seek to contribute to the victory over such a great crisis in human rights, and to the construction of a society where no repetition of these crimes will be possible.The dimensions that this phenomenon has reached in our country demand a profound analysis, when to make alternative proposals that promote a transformation of the institutional and para-institutional mechanisms that have impaired the materialization of the hopes for justice of the victims, their families and organizations.

A political and ethical will is necessary to brake the silence and fear, grown into the communities by the years. We can open the roads to coexistence and complete democracy in the country. Promote the creation of a social movement of struggle against impunity of crimes against humanity in Colombia.But more important might be the conviction that the solution of the human rights crisis and the victory over the impunity is reached through the clear rejection of these type of practices by the Colombian society.

“Nunca Más” presents itself to the communities in terms of an opportunity to fight the impunity and of a contribution from the human rights organizations.Colombia Nunca Más is a project for justice, that is a great desire for the whole society. It aspires to give a different perspective on the problem of impunity. If the message of memory is that of the search for truth, that the struggle against impunity is the message of obtaining justice, this is contradictory to revenge. The project does not wish to declaim against or deny the victims of other modes of violence by the phenomenon of impunity.

Starting from a memory exercise The Never Again Project seeks to pave the roads (from a non-governmental perspective) which is necessary to reach victory over impunity, responding to the following challenges: The struggle for truth: This is the aim to give back to memory its historical and cultural dimensions. It implies working on two tracks. Firstly, identifying the victims of the violence, so that they get back their value, their dignity and their struggles.

Secondly, furnish elements of information, sufficient to explain the how and why of the crimes and of the ones responsible, and sufficient to have a sincere social debate about what has happened.The struggle for justice: Obtaining justice is the only way impunity can be considered overcome. The conviction and sanctioning of those responsible is the greatest challenge in the struggles against impunity. The struggle for this desire is what causes the most frustrations to the human rights movement in Latin America in the periods of victory of the grave human rights crisis.The struggle for total rehabilitation of the victims: the impunity strikes against the right of rehabilitation. Indemnification and rehabilitation of the victims human rights violations.

The special reporter on the right of rehabilitation Theo Van Boven signals that: "In a social and political atmosphere in which the impunity prevails, it is likely that the right of rehabilitation that victims of flagrant human rights violations and of fundamental liberty violations have, will be a mere illusion.”We are inspired by a stubborn and immense sense of hope, that one day dignity and justice will be possible in our country.

We are also inspired by the permanent solidarity of peoples and sister organizations, that from different parts of the world have accompanied the Colombian communities and organizations. Since many years many of those have preceded us in the struggle so that NEVER AGAIN crimes against humanity will be committed in their countries or in other parts of the world.


August 2002

1 When we refer to the crimes against humanity, we speak of grave violation of the international law on human rights, that insult the ethical conscience of humanity and denial the validity of the indispensable norms for human existence. The crimes that occur most in our country are extra-judicial executions, forced disappearances and torture.

2 Convocing Organizations of Colombia Nunca Mas: Asociación de Familiares de Detenidos Desaparecidos –Asfaddes-, Colectivo de Abogados “José Alvear Restrepo", Comisión Intercongregacional de Justicia y Paz, Comité de Solidaridad con los Presos Políticos, Comité Permanente por la Defensa de los Derechos Humanos, Comisión Interfranciscana de Justicia, Paz y Reverencia con la Creación, Corporación Sembrar, Comité Regional de Derechos Humanos de Santander –Credhos-, Fundación Reiniciar, Colectivo de Derechos Humanos Semillas de Libertad -Codehsel-, Corporación Jurídica Libertad, Comunidades Eclesiales de Base y Grupos Cristianos de Colombia -Cebs,- Humanidad Vigente Corporación Jurídica, Fundación Manuel Cepeda, Asociación Nacional de Usuarios Campesinos Unidad y Reconstrucción -Anuc-UR-, Asociación Nacional de Ayuda Solidaria –ANDAS-, Misioneros Claretianos de Colombia.

Ratifikasi ICC sebagai Terobosan Penegakan HAM

Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan
Penegakan Keadilan di Indonesia
[1]
Mugiyanto[2]


ICC merupakan pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC
Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.

Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).

Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.

Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia
Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.

Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC nampaknya hanya jargon-jargon semata, karena pada kenyataannya Indonesia baru merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.

Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.

Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.

Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.

Perlunya komitmen nyataProses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerja. Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan Mei 1999 “... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin.”

Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi politik Amerika saat ini.

Penutup
Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen peringatan (warning) bagi para calon dan residivis diktator dan penjahat HAM untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag.

Ratifikasi ICC Secepatnya!

[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007
[2] Mugiyanto adalah Ketua IKOHI dan AFAD

Indonesia to Ratify Rome Statute of ICC

Ratifying ICC to 'deter rights crimes'
National News - Thursday, May 10, 2007
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta


Indonesia's anticipated ratification of the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) is expected to have a deterring effect on serious crimes by the state because of the possibility of involvement by the international court in conducting investigations and prosecutions.

Scheduled for next year, the ratification will oblige Indonesia to comply with the international court's prosecution processing standards in trying crimes involving genocide, crimes against humanity, war crimes and aggression.

Not retroactive in nature, the court deals only with crimes committed after it took effect July 1, 2002, following ratification by the 60th country.

Mugiyanto, an activist and head of the Affiliation of Families of Missing Persons, said Wednesday that ratification would grant another layer of protection to Indonesia's citizens, allowing them to personally file cases with the Hague-based court.

"It will be a warning to future dictators and human rights violators not to engage in such crimes, as in the past, unless they want to face the international court," he said at a seminar attended by over 20 Asia-based non-governmental organizations, which are all members of the Coalition of ICC.

The statute's ratification, Mugiyanto said, would also justify demands to amend the 2000 Law on Human Rights Court, which he said is full of legal loopholes and favors key culprits.

"The law will have to insert an internationally-recognized rule of procedures in trying grave crimes to ensure fair trials. It will also state, as is the case in the ICC, elements of such crimes that our law doesn't include at all," he said.

Mugiyanto stressed, however, that the government should stick to its commitment of abolishing impunity, which activists believe continues and has led to the failure to bring down the mastermind of the 1984 Tanjung Priok massacre and to prosecute anyone over the Trisakti, Semanggi I and II student shootings.

The Foreign Ministry's director of economic, social and culture rights at the Directorate General of Multilateral Cooperation, Suryana Sastradiredja, said his office had been in talks with those with interests in the planned ratification, including the Indonesian Military and the Attorney General's Office.

"It's clear that we'll ratify the statute with support from the parliament, which we've gained. It will deter future crimes on human rights and lessen impunity," he said.
Suryana said Indonesia had declined to sign the much-criticized Non-Surrender Agreement with the United States, which seeks to exempt the citizens of both countries from international court.

The statute has been ratified by 104 countries, each of which is now compelled to upgrade legislation to a level applied by the ICC.

While non-members are not required to meet such obligations, their citizens are still subject to investigation should they commit grave crimes in a member country.

The ICC can pursue investigation and prosecution if its prosecutors believe a human rights crime has occurred based on public information or if a state or the UN Security Council requests such action.

The court will take action only if a country's justice system is unable or unwilling to take measures against alleged criminals. More information on the court is available at www.icc-cpi.int.

Indonesia is currently chairing the UN's new Human Rights Commission and is a non-permanent member of the UN Security Council.
posted by Mugiyanto @ 14.5.07

11 November 2010

Adhie Massardi: Mafia BUMN di Balik Obral Saham Krakatau Steel


Selasa, 09 November 2010 , 12:29:00 WIB
Laporan: Teguh Santosa

RMOL. Rencana penjualan saham PT Krakatau Steel (KS) dengan harga obral, patut dapat diduga dikendalikan oleh mafia BUMN yang sudah beberapa kali melakukan operasi sejenis di sejumlah perusahaan berplat merah lainnya.
Hal ini diungkapkan Adhie M Massardi, koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), kepada Rakyat Merdeka Online, siang ini (9/11) di Jakarta.
Jubir presiden era Gus Dur ini mensinyalir, mafia BUMN ini selain bekerjasama dengan intelijen ekonomi negara asing, juga memanfaatkan beberapa pemegang otoritas kekuasaan bidang ekonomi, yang dari sononya memang menganut mazab ekonomi liberalisasi total (neolib). Sehingga pasti setuju semua BUMN potensial dilepas ke pasar bebas.
“Saya sudah menurunkan tim investigasi untuk melacak jejak beberapa nama, yang juga terkait langsung dalam operasi obral saham Indosat (2002), BNI dan beberapa BUMN lainnya. Dalam setiap operasinya, mafia BUMN ini juga selalu mendekati partai yang berkuasa,” tutur Adhie, yang bersama Sri Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Hendri Saparini dkk menggugat Meneg BUMN ke pengadilan untuk membatalkan rencana mengobral saham KS.
Menurut penyair Negeri Para Bedebah ini, tujuan mafia BUMN semata mencari keuntungan finansial dari fee sejumlah pengusaha (asing dan lokal) yang memperoleh kemudahan memborong saham murah itu.
Akan tetapi karena diduga melibatkan intelijen ekonomi negara asing, Adhie mengaku akan selekasnya berkoordinasi dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (Pur) Drs Sutanto.
Adhie yakin Sutanto akan tertarik mengungkap masalah ini. Sebab, katanya, beberapa waktu lalu di hadapan para anggota DPR, mantan Kapolri ini pernah berjanji akan mengembangkan BIN ke sektor ekonomi dengan menambah divisi ekonomi.
“Artinya, BIN akan mengawasi mengawasi gerakan-gerakan ekonomi. Seperti di bursa saham, pasar modal, perindustrian, perpajakan, dan tentu saja, sejumlah BUMN strategis yang banyak diincar negara asing. Kalau BIN serius mengawasi semua ini, insya Allah, akan sangat bermanfaat bagi rakyat Indonesia,” pungkas Adhie Massardi. [guh]