26 November 2010

Bahaya Di Semenanjung Korea; Simbol Perang China-AS

Seorang tentara wanita Korea Utara melakukan pengamatan di balik pagar kawat berduri di tepi Sungai Yalu, yang berjarak sekitar 70 kilometer di utara kota Siniuju, Korut, Kamis (25/11). Hal serupa dilakukan para tentara Korea Selatan yang sudah bersiaga di lima pulau yang sangat dekat dengan wilayah Korut.
Di pertemuan G-20 dan forum-forum internasional, sering kali ada kegagalan kesepakatan. Hal itu tidak lebih dari kegagalan kesepakatan antara Amerika Serikat dan China. Kegagalan pengurangan emisi di Denmark pada Desember 2009 adalah kegagalan kesepakatan antara AS dan China.

Setidaknya demikian kesan mantan Menteri Keuangan Jerman Peer Steinbruck. Kegagalan perundingan liberalisasi perdagangan dunia adalah juga kegagalan kesepakatan AS-China, didukung Brasil, Rusia, India, dan Indonesia.

Pertarungan nonsenjata ini hanya menghambat kelancaran pertumbuhan ekonomi global dan tidak mematikan dalam sekejap. Bahayanya sekarang, AS-China berbenturan di Semenanjung Korea.

AS dan Korsel adalah sekutu lama karena ideologi demokrasi. Korut-Uni Soviet dipersatukan karena ideologi komunis. Ambruknya Uni Soviet, ambruknya pendanaan, dan sibuknya Rusia memikirkan diri sendiri membuat peran lama tak bisa dipertahankan. Walau Rusia atau bekas Uni Soviet mengalami pemudaran pengaruh, akar klasik persoalan tetap sama. Bedanya, peran Uni Soviet kini digantikan China yang bersekutu dengan Korut, juga sama-sama komunis.

Urusan harga diri

Dua kutub ini amat jelas bermusuhan, terlihat dari nada kalimat para pemimpin. Presiden AS Barack Obama menegaskan dukungan pada Korsel unshakeable. Perdana Menteri China Wen Jiabao menegaskan akan mencoba meredam konflik di Semenanjung Korea. Akan tetapi, PM Wen juga memperingatkan aksi provokasi yang terjadi di Semenanjung Korea.

PM Wen tak menyebut secara eksplisit aksi provokasi itu. Satu hal yang jelas adalah China tidak suka jika ada latihan bersama militer AS dan Korsel. Latihan bersama militer AS-Korsel tahun ini sudah dicoba diingatkan oleh China. Media China menuduh sikap keras Korsel menjadi penyebab serangan Korut pada hari Selasa lalu.
Apakah Korsel yang menjadi sasaran China? Dalam kalimat-kalimat para pemimpin Korsel dan China, jelas disebutkan bahwa China dan Korsel tak pernah menunjukkan sikap saling membenci. Bahkan, kalimat-kalimatnya jelas China dan Korsel adalah sahabat dekat. Sejarah penjajahan membuat mereka dipersatukan karena kebencian pada Jepang.

Sasaran China adalah AS, yang dianggap tetap ingin mencengkeram hegemoni di Asia. China selalu merasa bahwa AS mengepung lewat pembelaan pada Taiwan, juga lewat campur tangan AS pada sengketa wilayah di Laut China Selatan. Bedanya, kasus-kasus ini tak berkembang memanas. Taiwan mendukung AS dan ASEAN merangkul AS, Rusia, dan China. Kasus ini tidak meletup, tetapi berpotensi menjadi bom waktu.

Menambah prahara itu, China masih merasa terluka dengan serangan AS terhadap sasaran armada angkatan lautnya di Hainan di awal dekade 2000-an ini. China juga merasa diimpit oleh AS terkait persoalan Tibet.
China tidak mau hal itu terus terjadi. Dalam buku China That Can Say No yang laku keras di China, sikap itu jelas. Mereka ingin dihargai dan dipandang sebagai sahabat dan bukan ancaman. Harga diri China harus diapresiasi oleh negara-negara lain, terutama AS.

Karena itu, dalam kasus Korut, China bersikap. China jelas tak mau ada perang di Semenanjung Korea. Namun, karena harga diri, dengan keberadaan pasukan AS di halaman belakang China, yakni Korut, tensi meningkat. Untungnya bagi China, Korut tak melirik siapa pun. China harus membela anaknya yang nakal. (MON)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar