30 Desember 2010

AS Ancam Adukan China

Beijing, Rabu - Keputusan China untuk memotong kembali kuota ekspor mineral tanah langka, yang vital bagi industri barang-barang teknologi tinggi, diprotes beberapa negara yang memiliki industri tersebut. AS bahkan mengancam akan mengadukan China ke WTO.

Kementerian Perdagangan China mengumumkan pemotongan kuota ekspor tersebut Selasa (28/12) malam. Kuota ekspor untuk paruh pertama tahun 2011 adalah 13.105 metrik ton yang dibagi kepada 31 perusahaan.
Jumlah tersebut menunjukkan penurunan sekitar 11,4 persen dibandingkan alokasi pada periode yang sama tahun ini, yakni sebesar 14.790 metrik ton yang dibagi kepada 22 perusahaan.

Pemotongan kuota ekspor ini memicu keresahan baru di dunia karena China, yang menguasai 97 persen pasar mineral tanah langka di dunia, cenderung terus menekan angka ekspornya. Pertengahan tahun ini China memotong kuota ekspornya hingga 40 persen.

Mineral tanah langka yang meliputi 17 unsur kimia, seperti skandium (Sc), itrium (Y), lantanum (La), dan serium (Ce), dibutuhkan dalam industri barang-barang teknologi tinggi, seperti layar televisi, mesin mobil hibrida, telepon seluler, hingga sistem persenjataan.

Negara-negara yang memiliki industri teknologi tinggi tersebut praktis bergantung sepenuhnya pada pasokan dari China. Jepang, AS, dan Uni Eropa adalah tiga pihak utama yang paling membutuhkan mineral ini, di samping China sendiri, yang industri berbasis teknologinya terus meningkat.

Kantor Perwakilan Dagang AS menyatakan keprihatinan terhadap keputusan pemotongan kuota ekspor tahun depan itu. Pekan lalu AS bahkan mengancam akan melaporkan China kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam masalah perdagangan mineral tanah langka ini.

Perdagangan bebas

Perusahaan Sony Corp dari Jepang menganggap China merintangi perdagangan bebas dunia dengan memotong kuota ekspor mineral tersebut. ”Saat ini belum ada dampak langsung (kebijakan itu) terhadap perusahaan kami. Akan tetapi, pembatasan yang terus diperketat bisa menyebabkan kelangkaan bahan baku dan kenaikan biaya produksi,” ungkap juru bicara Sony Corp, Ayano Iguchi, Rabu.

Menteri Perdagangan Jepang Akihiro Ohata yakin Jepang masih bisa mengamankan suplai mineral tanah langka untuk tahun 2011 walau China sudah mengurangi jatah ekspornya. Meski demikian, pihaknya akan terus memantau situasi ini.

China sempat menghentikan pengiriman mineral tanah langka ke Jepang menyusul ketegangan diplomatik kedua negara, September lalu.

Negara-negara yang terletak di kawasan inti benua, seperti AS, Kanada, dan Australia, sebenarnya memiliki cadangan melimpah mineral tanah langka ini. Namun, eksploitasi besar-besaran yang dilakukan China dan regulasi lingkungan yang rendah dalam proses pemurnian mineral tersebut membuat harga mineral tanah langka dari China paling rendah di dunia dan mematikan bisnis tambang serupa di negara-negara lain.

Saat ini China memiliki tak kurang dari 100 tambang dan 40 kilang pemurnian mineral tanah langka. Kementerian Perdagangan China menyatakan, China saat ini memotong eksplorasi, produksi, dan ekspor mineral tanah langka dalam rangka memperbaiki regulasi terkait dampak lingkungan industri tersebut.

Mencari sumber baru

Langkah China ini membuat beberapa negara dan pelaku bisnis berbasis teknologi berlomba mencari sumber mineral tanah langka di luar China. AS, Kanada, dan Australia berlomba membuka tambang baru atau menghidupkan kembali tambang yang sudah ditutup.

Molycorp, pemilik tambang mineral tanah langka di Mountain Pass, California, AS, yang sudah tidak aktif selama 10 tahun, memutuskan membuka kembali tambangnya. Molycorp langsung dikontrak oleh Hitachi dan Sumitomo Corp dari Jepang untuk mengamankan pasokan mineral tanah langka hingga beberapa tahun ke depan.

Menurut Jack Lifton, konsultan industri pertambangan dari Technology Metals Research di Chicago, produksi mineral tanah langka dari tambang milik Molycorp di AS dan Lynas Corporation Ltd di Australia sebenarnya cukup untuk menutup kekurangan pasokan dunia.

Namun, tambang-tambang tersebut paling cepat baru beroperasi awal tahun 2013. ”Sampai saat itu, pasar masih tetap dikuasai sepenuhnya oleh China,” tandas Lifton.(Reuters/AP/DHF)

Ironi Harga Beras

Pada pengujung akhir 2010 dan mengawali 2011, harga beras di pasar merambat naik. Harga tinggi diperkirakan akan tetap bertahan hingga memasuki musim panen raya padi pada Februari 2011. Kenaikan harga beras menyumbang andil terbesar dalam inflasi bulanan di pengujung akhir 2010. Sekadar contoh, sepanjang November 2010 angka inflasi adalah 0,60 persen dan andil kenaikan harga beras adalah 0,12 persen atau setara 20 persen dari total inflasi (BPS, 2010).

Kenaikan harga beras pada awal dan akhir tahun adalah fenomena ekonomi yang ajek terjadi di Indonesia. Harga beras yang tinggi dirasa memberatkan bagi sekitar 80 persen konsumen, terlebih bagi konsumen yang berpenghasilan rendah. Kenaikan harga beras mengakibatkan garis kemiskinan bergeser naik sehingga banyak rumah tangga hampir miskin terjun menjadi miskin dan rumah tangga miskin menjadi semakin menderita. Sebanyak 64,23 persen penduduk miskin di Indonesia berada di pedesaan dan berasosiasi dengan sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani.

Data ini mengukuhkan sintesis bahwa kenaikan harga beras di pasar adalah malapetaka bagi mayoritas petani ketimbang sebagai berkah. Sintesis ini didasarkan pada beberapa indikator. Pertama, mayoritas rumah tangga petani adalah konsumen-net beras dan bukan produsen-net beras. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya tingkat produksi lebih rendah daripada tingkat konsumsi rumah tangga, sejumlah petani tidak terlibat dalam usaha tani tanaman pangan, dan sejumlah lainnya sebagai buruh tani tanpa lahan pertanian.

Rumah tangga pedesaan yang menjadi konsumen-net beras jumlahnya mencapai 71,7 persen, terdiri dari 13 persen petani padi dan 87 persen petani nonpadi (BPS, 2004). Beban pembiayaan bagi rumah tangga ini dipastikan makin berat karena kenaikan harga beras terbukti memicu inflasi bahan kebutuhan pokok lainnya. Seperti dilaporkan BPS (2010), pada semester I 2010 inflasi tahunan kelompok bahan makanan—termasuk beras—adalah yang tertinggi sebesar 5,79 persen, disusul kelompok makanan jadi (3,65 persen), dan kelompok sandang (1,60 persen).

Kedua, kendati petani adalah produsen beras, mereka cenderung menjual produknya berupa gabah dan bukan berupa beras. Ironisnya selama periode semester I 2008-semester I 2010 jumlah gabah petani yang terjual dengan harga lebih murah dari harga pembelian pemerintah (HPP) mencapai 9,60-13,42 persen. Bahkan, selisih lebih harga gabah terhadap HPP yang diterima petani juga semakin turun, jika pada 2008 petani menerima selisih lebih Rp 482 per kg, pada 2009 tinggal sebesar Rp 308 per kg. Data ini mengindikasikan bahwa pendapatan riil petani terus mengalami penurunan.
Di sisi lain, harga agroinput seperti pupuk, benih, pestisida, dan sewa alat mesin pertanian mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan kenaikan indeks biaya yang dibayar oleh petani dan menurunkan indeks biaya yang diterima dari usaha tani padi. Akibatnya, nilai tukar petani (NTP) sebagai tolok ukur kesejahteraan petani terus mengalami penurunan dari 100,16 (2008) menjadi 99,85 (2009). NTP 100 berarti petani tidak memperoleh profit dari usaha tani yang dilakoni karena seluruh pendapatan habis di-turn over menjadi modal usaha tani, dan petani mengalami kerugian jika NTP di bawah 100.

Ketiga, keterlibatan petani dalam tata niaga beras umumnya sebatas sebagai penyuplai gabah, dan tidak terlibat dalam usaha penggilingan atau perdagangan beras di tingkat konsumen. Dengan demikian, kenaikan harga beras akan lebih menguntungkan para pebisnis beras, yaitu pemilik penggilingan, pedagang-antara dan pedagang-eceran ketimbang menguntungkan petani. Hal ini ditunjukkan oleh data BPS (2010) bahwa disparitas harga gabah dan beras yang dinikmati pebisnis meningkat dari Rp 3.979 per kg (semester II 2009) menjadi Rp 4.558 per kg (semester I 2010), sementara selisih lebih harga beras terhadap HPP yang diterima petani justru semakin turun.

Margin keuntungan pebisnis umumnya berkisar 9-21 persen. Ketika harga beras naik, margin keuntungan juga merangkak naik karena pebisnis bisa menangguhkan kenaikan harga yang diterima pada harga yang seharusnya dibayarkan kepada petani. Namun sebaliknya, saat harga beras turun, para pebisnis tetap mampu mempertahankan margin keuntungan yang diterima dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani. Hal ini bisa terjadi karena pebisnis memiliki kekuatan monopsonistik akibat kemampuan akses pasar dan penguasaan informasi yang lebih baik daripada petani.

Kiranya semakin jelas bahwa mayoritas petani justru menjadi korban saat terjadi kenaikan harga beras. Hal demikian karena mayoritas petani adalah konsumen-net beras, struktur pasar yang timpang, dan anomali implementasi HPP. Alhasil nasib petani pun tak ubahnya seperti pepatah: anak ayam mati di kandang padi. Inilah ironi harga beras bagi petani.

MASUN Mahasiswa pada Linkage Master Program di Magister Ekonomika Pembangunan UGM Yogyakarta dan IDP of International University of Japan (IUJ) Niigata Jepang

Tantangan Ilmuwan Pendidikan

Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) menyelesaikan Pertemuan Puncak di Jakarta pada 18 Desember lalu. Pada kluster pendidikan, kehadiran para ilmuwan memberi harapan sekaligus tantangan.
Kluster pendidikan dalam I-4 berdiri sendiri. Namun, persoalan pendidikan juga dibahas sebagai rekomendasi dalam kluster lain seperti rekomendasi tentang pengembangan jaringan kerja sama, baik untuk riset, publikasi di jurnal ilmiah, maupun pengajaran di universitas.

Sinergi antarilmuwan ini merupakan embusan semangat baru bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Tak hanya praksis di lapangan, tetapi juga riset teoretis yang akan jadi basis bagi praksis pendidikan di Indonesia.
Sinergi antarilmuwan di dalam dan luar negeri memungkinkan tumbuhnya keterikatan batin bagi mereka yang bekerja di luar negeri. Ilmuwan dalam negeri bisa jadi rekan kerja dalam implementasi dan aplikasi riset pendidikan yang dilakukan bersama. Jaringan internasional dibutuhkan bagi pengembangan pendidikan nasional agar bangsa kita mampu terlibat aktif di tingkat global.

Lima rekomendasi

Secara umum rekomendasi kluster pendidikan menegaskan kembali yang selama ini jadi perhatian publik di dalam negeri. Pertama, pengembangan profesionalisme guru baik dari segi pedagogis maupun teknis.
Kedua, penekanan pada pengajaran yang menyentuh hati, memberi inspirasi, dan merengkuh semua siswa, bukan hanya segelintir anak pandai. Pendidikan mesti kasih kesempatan semua anak berhasil. Meminjam ungkapan Ken Soetanto: membuat anak buangan jadi rebutan.

Ketiga, pendidikan merupakan sarana perubahan transformasi sosial masyarakat melalui pembentukan karakter, ekselensi akademis, dan keterampilan profesional vokasional. Keempat, kemitraan dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Kerja sama pengembangan pendidikan mestinya sinergi antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan negara.

Kelima, pemerataan pendidikan baik dalam hal akses dan kualitas didukung oleh infrastruktur yang dirancang untuk pendidikan berkelanjutan dengan kebijakan jangka panjang demi memastikan bahwa semua anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan.

Tantangan ke depan

Berkumpulnya para ilmuwan berkeprihatinan besar pada pendidikan yang tergabung dalam kluster pendidikan I-4 menghadapi beberapa tantangan. Pertama, langkah konkret apa yang mau dilakukan setelah ini? Para ilmuwan sudah bersedia bersinergi. Mereka bersedia berbagi pemikiran dan jaringan. Akankah ada pangkalan data memetakan siapa, di mana, dan apa kompetensi para ilmuwan?

Dapatkah para ilmuwan itu— dengan kompetensinya—memberi sumbangan nyata, entah itu bagi pengambil keputusan untuk memberi pencerahan maupun pemikiran nyata, terutama untuk pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan profesional guru dan evaluasi pendidikan? Apa yang bisa dilakukan ilmuwan pendidikan?

Kedua, selama diskusi muncul sebuah gagasan baru tentang pentingnya memulai gerakan pendidikan. Selama ini reformasi dunia pendidikan selalu mengutamakan aras kelembagaan formal seperti perbaikan dalam evaluasi, pengembangan guru, perbaikan sarana yang bersifat kelembagaan. Padahal, pendidikan adalah urusan semua.
Reformasi pendidikan dalam konteks kelembagaan itu penting. Namun, yang tak kalah penting: membangun kesadaran bersama dalam masyarakat bahwa pendidikan adalah urusan bersama. Sangat penting menularkan gagasan bahwa setiap orang Indonesia yang terdidik perlu mendidik warga negara lain di lingkungannya sesuai kompetensi dan kemampuannya.

Gerakan pendidikan ini penting karena kondisi geografis, demografis, sosial ekonomi, dan kebudayaaan tiap daerah berbeda sehingga usaha menghilangkan buta aksara dan meningkatkan berbagai kecerdasan adalah tanggung jawab setiap warga negara.

Konsekuensi gerakan pendidikan ini: setiap warga negara perlu punya pemikiran dan kepekaan mengembangkan pendidikan di lingkungannya. Berpola pikir mementingkan orang lain jadi penting. Ilmu dan pengetahuan itu untuk dibagikan, bukan dimiliki sendiri.

Ketiga, mengingat peran ilmuwan sangat strategis baik bagi kepentingan nasional maupun global, para ilmuwan mesti menyadari bahwa forum seperti ini rawan ditunggangi banyak kepentingan. Maka, para ilmuwan mesti selalu kritis terhadap keberadaan dirinya. Kompetensi keilmuwanan itu mesti jadi berkat bagi masyarakat Indonesia dan kemanusiaan. Jangan sampai forum sepenting ini ditunggangi kelompok kepentingan yang malah memanfaatkan para ilmuwan demi agenda politiknya sendiri.

Terlepas dari kekurangan di sana sini, saya melihat I-4 sebuah nyala baru bagi perbaikan negeri ini di masa depan. Seperti kata Gellner, di masa depan kemajuan negara akan tergantung dari banyaknya doktor, doctorat d’éta; bukan banyaknya eksekutor, guillotine. Tak peduli Anda doktor dalam negeri atau luar negeri. Yang penting, bisakah Anda bekerja membangun bangsa?

Doni Koesoema A Konsultan Pendidikan

29 Desember 2010

Obama & Clinton Paling Dikagumi

Obama & Clinton Paling Dikagumi
Meski Popularitas Pemerintahannya Terus Melorot
 
Di tengah popularitas pemerintahan Barack Obama yang terus merosot, ternyata Presiden Amerika Serikat (AS) pertama keturunan Afrika itu masih menjadi sosok paling mengagumkan bagi penduduknya.

Obama dan Menteri Luar Ne­geri Hillary Rodham Clinton menduduki peringkat tertinggi se­bagai orang yang paling dika­gu­mi rakyat Negeri Paman Sam itu, berdasarkan hasil jajak pen­dapat tahunan Gallup-Today USA.

Prestasi Clinton kali ini me­masuki tahun kesembilan secara berturut-turut. Dia tetap meng­a­lahkan bekas Gubernur Alaska Sa­rah Palin, dan pembawa acara televisi Oprah Winfrey, seperti halnya tahun lalu.

Jajak pendapat Gallup yang dirilis Senin (27/12) waktu se­tempat itu, menanyakan kepada responden tentang: tokoh pria dan wanita di mana pun di dunia ini yang paling mereka kagumi. La­poran akhir survei ini memberi peringkat satu sampai 10 berda­sarkan jumlah pemilihnya.

Obama menjadi pria paling dikagumi sejak dia terpilih men­jadi presiden pada 2008. Dengan 22 persen jumlah yang memilih dia, Obama mengalahkan para pen­dahulunya, George W. Bush, yang meraih suara lima persen, dan Bill Clinton dengan per­olehan empat persen.

Namun, persentase perolehan suara Obama jauh berada di bawah jumlah pemilih tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, dia memimpin daftar tokoh paling dikagumi ini dengan 32 persen suara, dan pada tahun 2009 turun menjadi 30 persen.

Daftar tokoh selengkapnya dengan perolehan suara hanya sekitar dua persen, memuat na­ma-nama antara lain bekas Pre­siden Afrika Selatan Nelson Man­della, taipan Bill Gates, Paus Benediktus XVI, Pendeta Billy Gra­ham, bekas Presiden Jimmy Car­ter, pembawa acara bincang-bincang Glenn Beck, dan Dalai Lama.

Sementara nama Hillary Clin­ton menjadi tokoh perempuan yang dikagumi, dan namanya selalu masuk daftar hasil jajak pendapat sebanyak 15 kali sejak tahun 1992, ketika dia pertama kali muncul setelah suaminya terpilih sebagai presiden. Dia memimpin tahun ini dengan 17 persen, diikuti Palin dengan 12 persen, Winfrey dengan 11 per­sen, dan ibu negara Michelle Oba­ma dengan lima persen.

Sementara nama-nama lain de­ngan perolehan suara tak le­bih dari dua persen, terdapat na­ma bekas Menteri Luar Negeri Con­doleezza Rice, Ratu Eliza­beth, aktris Angelina Jolie, be­kas Per­dana Menteri (PM) Ing­gris Mar­garet Thatcher, dan tiga nama lainnya di tempat kesem­bilan, yak­ni tokoh demokrasi Burma Aung San Suu Kyi, bekas ibu negara Laura Bush dan Bar­bara Bush.

Survei The USA Today-Gal­lup diselenggarakan pada 10-12 De­sember, yang dilakukan me­lalui wawancara telepon yang di­ambil secara acak terhadap 1.019 orang dewasa, dan mar­gin error empat persen.

Pesona ketokohan Obama ru­panya masih bertahan di saat rakyat negara ini tidak lagi mem­percayai pemerintahan Oba­ma. Sebuah survei Gallup telah meng­ungkapkan, lebih dari sepa­ruh pe­milih AS tidak akan men­dukung pemilihan kembali Obama.

Dalam survei mereka yang paling terakhir, yang dilakukan antara tanggal 14-17 Oktober 2010, Gallup mengajukan perta­nyaan kepada sekitar 1.000 orang dewasa AS tentang apakah Oba­ma pantas untuk dipilih kem­bali. Hasil penelitian menunjukkan, 54 persen percaya Obama tidak pantas untuk menduduki masa jabatan kedua di pemerintahan, sementara hanya 39 persen men­dukung Obama dipilih kembali, CBS melaporkan.

Menurut Gallup, rating rata-rata persetujuan warga AS ter­hadap Obama telah menurun setiap kuartal sejak dia meng­ambil kantor kepresidenan dan menduduki posisi terendah baru pada kuartal terakhir. Selain itu, peringkat menguntungkan Oba­ma saat ini berada pada titik terendah, karena untuk pertama kalinya lebih banyak warga Amerika melihat presiden me­reka dalam posisi ‘negatif’ (50 persen) dibandingkan positif (47 persen). 

15 Desember 2010

Buruh Rokok Bimbang

ASOSIASI Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) risau dengan kebijakan kenaikan cukai rokok yang akan berlaku Januari 2011. Pasalnya, produsen rokok bakal melakukan efisiensi tenaga kerja menyikapi kenaikan biaya produksi pasca kenaikan tarif cukai.
 
Pekerja industri rokok hampir tak punya posisi tawar bila perusahaan rokok mengambil kebijakan pengurangan karyawan. Perusahaan rokok akan mengajukan sejumlah argumen logis semacam kenaikan tarif cukai dan ratifikasi pengurangan tembakau di sejumlah negara, yang berdampak pada ekspor rokok.
''Kenaikan cukai ini akan mempengaruhi harga jual di pasar dan ini akan ada perubahan kalkulasi biaya produksi. Kami melihat ini akan berdampak pada produktivitas dan efisiensi perusahaan,'' kata Ketua Umum AMTI, Soedaryanto di Jakarta, Selasa (14/12).

Permenkeu No.190/2010 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, misalnya mengatur kenaikan tarif cukai kisaran lima-tujuh persen per batang atau per gram. Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I dengan batasan Harga Jual Eceran (HJE) di atas Rp660 per batang atau gram naik dari Rp310 per batang atau gram menjadi Rp325 per batang atau gram. SKM Golongan I dengan batasan HJE antara Rp630-Rp660 per batang atau gram naik dari Rp300 per batang atau gram menjadi Rp315 per batang atau gram.

Tarif cukai SKM Golongan II dengan batasan HJE paling rendah Rp374-380 per batang atau gram naik dari Rp155 per batang atau gram menjadi Rp170 per batang atau gram.
Rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT) Golongan I dengan batasan HJE lebih Rp590 per batang atau gram mengalami kenaikan tarif cukai dari Rp215 per batang atau gram menjadi Rp235 per batang atau gram.

Tarif cukai SKT Filter atau SPT Filter golongan II dengan batasan HJE paling rendah Rp374-Rp380 per batang atau gram naik dari Rp155 per batang atau gram menjadi Rp170 per batang atau gram.
Beberapa tahun belakangan ini, industri rokok terus ditekan dari semua aspek, misalnya ratifikasi traktat internasional pengendalian tembakau yang digadang-gadang Amerika Serikat (AS). Perdagangan rokok Indonesia ke AS merosot terkait larangan AS mengimpor rokok mulai tahun ini.

Saat ini, jumlah tenaga kerja industri tembakau mulai dari hulu hingga hilir mencapai 6,1 juta. Sekitar 2,5-3 juta juta tenaga kerja di perkebunan tembakau, 2,5 juta tenaga kerja di perkebunan dan pengolahan cengkeh, 650 buruh di pabrik rokok dan selebihnya di sektor ritel.

Bagi Soedaryanto, pemerintah harus punya kebijakan yang menyeluruh terhadap tenaga kerja industri rokok menyusul kenaikan tarif cukai. ''Posisi rokok ini terus terdesak, perlu ada keberpihakan terhadap tenaga kerjanya,'' kata Soedaryanto, yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman.

Jakarta | Wed 15 Dec 2010
by : Luther Kembaren

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA; Warga Kecewa Tanggapan Pusat

Jakarta, Kompas - Warga pendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai wujud keistimewaan DIY, kecewa dengan sikap pemerintah pusat yang dinilai mengabaikan aspirasi rakyat DIY. Mereka kecewa karena aksi warga DIY mendukung penetapan itu tidak dianggap cukup oleh pemerintah, terutama Menteri Dalam Negeri.


”Semestinya Mendagri tak komentar seperti itu. Semestinya jawabannya menyejukkan,” ujar Sukiman, Ketua Paguyuban Dukuh DIY Semar Sembogo, di Yogyakarta, Selasa (14/12).

Mendagri Gamawan Fauzi sebelumnya menyatakan, unjuk rasa Senin lalu tidak mewakili aspirasi rakyat DIY secara keseluruhan. Ia yakin, tidak seluruh penduduk DIY, yang berjumlah 3,5 juta, sepakat dengan penetapan itu (Kompas, 14/12).

”Kalau pernyataannya seperti itu, artinya menentang dan tidak menerima aspirasi rakyat DIY. Jika begitu, sampai kapan pun, kita tak akan mencapai titik temu karena pemerintah pusat menginginkan pemilihan,” ungkapnya. Karena itu, rakyat DIY akan menggelar sidang rakyat untuk menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paduka Paku Alam yang sedang bertakhta untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Ketua Gerakan Semesta Rakyat Jogja Sunyoto menilai, pemerintah pusat keterlaluan jika mengabaikan aspirasi warga DIY yang sudah jelas diusung dan disampaikan dalam aksi besar-besaran pada Rapat Paripurna DPRD DIY. Jika aspirasi warga diabaikan, hal itu akan memancing kemarahan rakyat.

Sebaliknya, Gubernur DIY Sultan HB X meminta warga DIY menurunkan tensi dan kembali beraktivitas seperti biasa. Warga perlu menunggu dulu draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang akan diserahkan pemerintah kepada DPR, untuk selanjutnya dicermati dan dikawal bersama.

Menanggapi Mendagri, Sultan mengatakan, tidak mungkin seluruh warga DIY harus datang ke DPRD DIY untuk memberikan dukungan soal penetapan.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DIY Ahmad Sumiyanto menilai, pengambilan keputusan di pusat yang tidak sesuai harapan sebagian besar warga DIY akan menghadirkan disharmoni yang mengganggu jalannya pemerintahan pusat dan daerah. Ini akan merugikan rakyat DIY.

Secara terpisah, seniman dari beragam bidang seni se-DIY akan mewujudkan dukungan terhadap keistimewaan DIY dengan pentas di Taman Budaya Yogyakarta. Koordinator Forum Komunikasi Seniman DIY Bondan Nusantara mengatakan, pementasan mendukung penetapan itu akan berlangsung Kamis besok.

Keputusan Indonesia

Di Padang, Mendagri Gamawan Fauzi, Selasa, mengingatkan, soal status DIY dalam RUU Keistimewaan DIY, yang diserahkan Kementerian Dalam Negeri kepada Sekretariat Negara adalah keputusan rakyat Indonesia. Keputusan mengenai hal istimewa atau khusus mesti ditanyakan lebih dulu kepada rakyat Indonesia, yang diwakili DPR. Tak bisa semata-mata berdasarkan pada pendapat warga Yogyakarta, dalam hal ini diwakili DPRD.

Prinsip itu sesuai amanat Pasal 18B UUD 1945. Meski ada hasil Rapat Paripurna DPRD DIY soal sikap politik dalam pengisian jabatan gubernur dan wagub, pemerintah pun bergeming.
”Keistimewaan itu diatur dengan undang-undang, bukan perda (peraturan daerah). Jika ingin membuat perda, tanya rakyat Yogyakarta. Tetapi dengan undang-undang, tanya rakyat Indonesia,” kata Gamawan.
Ia berharap Sekretariat Negara segera menyerahkan RUU Keistimewaan DIY itu kepada DPR, dekat dengan posisi pemerintah tetap, yakni untuk jabatan gubernur melalui pemilihan. Namun, sejumlah keistimewaan tetap diberikan.

”Walau dipilih, jika Sultan maju dan berpasangan dengan Paku Alam, akan langsung dikukuhkan. Kedua, kerabat lain tak boleh maju. Saingannya hanya yang diusulkan parpol,” katanya. Gamawan menambahkan, seandainya usulan pemerintah melalui RUU Keistimewaan DIY itu ditolak DPR, pemerintah tak akan mempersoalkannya. Hal itu adalah konsekuensi demokrasi.

Secara terpisah, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar di Jakarta menyatakan, RUU Keistimewaan DIY tinggal menunggu surat dari Presiden untuk diserahkan kepada DPR. Sultan HB dan Paku Alam diusulkan menempati posisi di atas kepala daerah.
(rwn/wkm/nta/ink)

Dilema Bisnis Tembakau

ROKOK menurunkan kualitas kesehatan. Masyarakat akan menjawab ya. Rokok menjadi satu indikator pertumbuhan ekonomi, masyarakat akan terpecah menjawabnya. Tapi tak usah diperdebatkan antara pro dan kontra.

Akhir pekan (11/12) lalu, pemerintah menargetkan tahun 2011 penerimaan dari cukai tembakau sebesar Rp60 triliun. Artinya dari segi jumlah, ada peningkatan kendati tak besar sekitar dua persen. Tahun 2010, penerimaan dari cukai sebesar Rp59 triliun. Dari target yang ditetapkan pemerintah, jelas kontibusi rokok masih diperlukan kaitannya dengan cukai hasil rokok.

Tapi, Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) punya pendapat lain. Target pemerintah yang hanya dua persen dia nilai terlalu kecil, seharusnya target yang pemerintah tetapkan bukan dua persen, harus besar. Abdilah punya alasan, cukai tembakau berpotensi mendatangkan keuntungan terhadap negara yang signifikan.

Abdillah meyakinkan, tingginya cukai tembakau bukan cerminan bahwa pemerintah tidak pro pada gerakan anti rokok yang saat ini digalang oleh kementerian kesehatan dan berbagai elemen di masyarakat, tapi sebaliknya cara lain dalam mendukung gerakan anti rokok.

Tingginya cukai tembakau akan membatasi konsumen rokok. ”Seharusnya pemerintah wajib meningkatkan persentase cukai rokok dalam beberapa waktu mendatang. Selain untuk menggenjot penerimaan negara atas cukai, peningkatan ini dinilai sesuai dengan kampanye hidup sehat tanpa rokok,” katanya kepada Jurnal Nasiona di Jakarta, baru-baru ini.

Ditilik dari kebijakan pemerintah soal tembakau, peta jalan yang ditetapkan pemerintah sangat jelas sasaran dan tujuannya, yakni; mengendalikan secara substantif dan signifikan pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan, seperti yang dikehendaki oleh World Health Organization (WHO).

Peta jalan yang disepakati bersama Kementerian Kesehatan, Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Asosiasi Industri Tembakau itu memenuhi standar penyelesaian masalah yang dinasihatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengurai sumbatan masalah, mengandung perubahan substantif dan berkelanjutan, berorientasi pada achievement dan enhanchement, berasas musyawarah sesuai asas demokrasi untuk kebaikan bersama, dan mencapai tujuan kolektif.

Peta jalan yang ditetapkan 30 Mei 2007 itu menyebutkan pada periode 2007-2010 adalah fase untuk menyelesaikan dampak peraturan pemerintah terhadap ketenagakerjaan. Periode 2010-2015 adalah fase penanggulangan dampak peraturan pemerintah terhadap pendapatan negara, dan periode 2015-2020 adalah fase pengamanan produk tembakau untuk kesehatan.

Tapi Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedianingsih kemudian menerabas peta jalan tersebut. Reaksi muncul, apalagi bersamaan dengan itu Bloomberg Initiative (BI) Grant menggelontorkan dana bagi sejumlah pihak di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, nilainya sebesar US$4.195.442.

Tekanan Masyarakat 



Sejalan dengan itu, tekanan masyarakat terhadap keberadaan industri rokok semakin kuat. Di Surbaya misalnya, Pusat Studi Agama dan Masyarakat (Center for Religious and Community Studies/CeRCS) meminta Pemerintah Kota Surabaya untuk mengakhiri kerja sama dengan industri rokok.

"Kerjasama antara pemerintah kota dengan industri rokok terbesar di Surabaya merupakan upaya pengondisian agar tidak mampu bersikap netral dalam meregulasi pabrik rokok melalui Peraturan Daerah (Perda) No 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM)," kata Direktur CERCS, Siti Nurjanah di Surabaya seperti dilansir Antara, baru-baru ini. Untuk itu, CERCS mendesak pemerintah kota agar segera mengakhiri kerjasama tersebut.

Menurutnya, telah lebih dari dua tahun sejak Perda 5/2008 tentang KTR-KTM disahkan, belum ada hasil yang maksimal dan berdampak di lingkungan masyarakat. Padahal, kekuatan perda itu disokong oleh UU Kesehatan No 36 tahun 2009, pasal 113 yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif yang penggunaannya menimbulkan dampak negatif, baik bagi si pemakai maupun orang di sekelilingnya.

Bukti dari ketidakpedulian Pemerintah Kota Surabaya terhadap status kesehatan warga Surabaya adalah terpesonanya Wali Kota, Tri Rismaharini dengan iming-iming pabrik rokok yang dibalut dalam paket manis sejumlah program, seperti kerjasama program pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Kembali ke soal cukai, jika Abdillah Ahsan menyarankan pemerintah agar menaikkan cukai rokok. Justru sebaliknya, kekhawatiran melanda kalangan industri rokok kecil. Sentra industri rokok yang ada di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, takut jika usaha mereka gulung tikar.

Menurut Woko, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Kabupaten Madiun, harga pita cukai rokok yang terus naik, sangat merugikan pengusaha rokok industri rumahan. Terbukti, dari jumlah industri rokok rumahan yang sebelumnya sebanyak 33 industri, terus berkurang dan kini tinggal sembilan industri rumahan saja. "Terus terang, jika cukai rokok jadi naik, ini akan semakin berat buat kami. Ini karena pengusaha tidak akan mampu menanggung besarnya biaya operasional akibat penaikkan tarif cukai itu," katanya.

Menurut Woko, dengan harga rokok produksinya yang rata-rata sekitar Rp2.500,00-3.000,00 perbungkus, para pengusaha hanya mendapatkan untung Rp300,00 saja untuk setiap bungkusnya. "Kalau harga pita cukai terus naik, lama-lama pengusaha rokok bisa bangkrut. Ini karena harga rokok Rp2.500,00 perbungkus itu sulit dinaikkan lagi. Sebab, jika terpaksa dinaikkan, takutnya malah tidak laku," katanya.

Dia menjelaskan, selama cukai rokok belum naik, pabriknya sudah kesulitan beroperasi, meski masih tetap bertahan. Untuk mengurangi biaya operasional, usaha yang telah digelutinya selama bertahun-tahun ini terpaksa mengurangi karyawannya. "Saya terpaksa mengurangi karyawan saya. Sejak mulai usaha tahun 2003 lalu, karyawan saya telah banyak sekali berkurang. Dulu saat harga cukai masih Rp120/keping, selama tiga tahun pertama, antara 2003 hingga 2006 jumlah pekerja pelinting rokok sebanyak 160 orang," kata dia.

Tapi, saat ini jumlah karyawannya terus berkurang dan kini hanya tinggal empat orang pekerja pelinting, dua orang sales dan seorang peramu. Jumlah pekerja sebanyak itu juga tak setiap hari masuk kerja. Peralatan kerja di industri rumahan rokoknya juga banyak yang terbengkalai. Seratus lebih alat pelinting teronggok di gudang, hal ini karena pesanan rokok yang masuk juga menurun.

Laporan Taufan Sukma

Soal Tembakau: Bermusyawarahlah !

Sebagian kalangan masyarakat bersama Menteri Kesehatan RI, Endang Rahayu Sedyaningsih, keukeuh menggoalkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Beberapa Kepala Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) bahkan sudah mengambil jalan pintas, membentuk Peraturan Daerah tentang pelarangan rokok dengan beragam judul. 

Ketika tersembul kabar tak terbantahkan bahwa mereka beroleh gelontoran dana dari Bloomberg Initiative (BI) Grant, persoalan menjadi lain. Apalagi, road map pengendalian tembakau yang telah dibahas bersama oleh antar kementerian terkait dan industri tembakau, 2007, hendak diabaikan. Bloomberg Initiative (BI) Grant, itu sendiri merupakan ‘wajah filantropis‘ pengusaha kaya keturunan Yahudi Rusia, Michael Bloomberg, walikota New York, yang pernah menjadi ‘kutu loncat‘ dalam perpolitikan Amerika. Dari Partai Demokrat lalu pindah ke Partai Republik, dan kemudian ke jalur Independen.

Silang sengkarut perdebatan dan argumentasi pun bermunculan. Padahal para pihak sama-sama berpandangan, perlunya regulasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun, peraturan itu diharapkan mencerminkan prinsip keadilan dan keberimbangan, dan terbebas dari intervensi asing, yang juga punya kepentingan bisnis. Bloomberg memang sejak lama berseteru dengan Phillip Morris dan Stuyvesant. Dengan kekuatan dollar-nya, Bloomberg berhasil memengaruhi World Health Organization (WHO) yang mengadopsi inisiatif Bloomberg menjadi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

Dengan gelontoran dananya juga, Bloomberg memengaruhi begitu banyak lembaga swadaya masyarakat menekan pemerintah di negaranya masing-masing untuk membuat peraturan yang keras ihwal pengendalian tembakau. Tak semua negara bisa dikuasai dan para watchdog yang dibiayai Bloomberg Inisiative (BI) Grant kian keras menyalak. Bahkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berlaku di masing-masing negara.

Bagi sejumlah negara, seperti Singapura dan negara-negara yang tak mempunyai industri, FCTC adalah keniscayaan. Untuk kepentingan ekonomi dan bisnis, kian keras mereka memberlakukan FCTC kian besar pula fulus yang diterima. Apalagi, Singapura tutup mata atas berlangsungnya black market aneka produk.
Bagi Indonesia, tentu saja, pemberlakuan FCTC tak tepat. Sampai tahun 2020, Indonesia masih memerlukan proses untuk sungguh melakukan kontrol sangat ketat terhadap produk dan industri tembakau. Tak hanya karena sumbangan produk tembakau terhadap pendapatan negara (melalui cukai) relatif besar, sekitar Rp7 triliun ‘“ belum termasuk retribusi yang dikutip dari pedagang eceran dan PPh sole agen dan agen, juga pajak lainnya dari seluruh rangkaian produk dan industri tembakau. Juga, karena di Indonesia saat ini, terdapat 62 persen perokok pria dewasa dan empat persen perokok perempuan dewasa dari jumlah penduduk.

Berdasarkan data 2007, produk rokok di Indonesia rata-rata per tahun sebanyak 230,300 miliar batang. Untuk mencapai produk sebesar itu, Indonesia yang menghasilkan produk rokok kretek juga melibatkan ribuan pekerja yang menanggung kehidupan ekonomi sekitar 5-6 bubuhan (anggota keluarga) nya.

Beranjak dari semua itulah, kita memandang peraturan tentang pengendalian produk dan industri tembakau, mesti dilihat secara menyeluruh. Tidak hanya dengan ‘satu mata‘ pandangan belaka. Jadi, lakukanlah musyawarah mufakat. Tak perlu eyel-eyelan.

by : N. Syamsuddin CH. Haesy

Seputar RPP Pengamanan Produk Tembakau


Seputar RPP Pengamanan Produk Tembakau (Bagian 1)
Jangan Caplok Peraturan Asing

Jakarta | Tue 13 Dec 2010
by : N. Syamsuddin CH. Haesy
Tak perlu ngotot dan eyel-eyelan dalam memperjuangkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Ikuti roadmap yang sudah disepakati 30 Mei 2007.

Peta jalan mencapai pengendalian tembakau yang dibuat bersama oleh Kementarian Kesehatan, Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Pertanian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Asosiasi Industri Tembakau itu memenuhi standar penyelesaian masalah yang dinasehatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengurai sumbatan masalah (debottlenecking), mengandung perubahan substantif dan berkelanjutan (changes and achievement dan enhanchement, berasas musyawarah sesuai asas demokrasi untuk kebaikan bersama dan mencapai tujuan kolektif.

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar suatu peraturan tidak menimbulkan gejolak dan lagi-lagi menghambat proses penyelesaian berbagai masalah di negeri ini. Ngotot dan eyel-eyelan justru akan menimbulkan masalah dan menyeret kita pada jebakan kepentingan berbagai pihak di dalam dan luar negeri yang memang menghendaki negeri ini terus kisruh.

Peta jalan penyelesaian masalah tembakau itu sudah jelas sasaran dan tujuannya: mengendalikan secara substantif dan signifikan pengamanan produk tembakau, sebagai zat adiktif bagi kesehatan, seperti yang dikehendaki oleh World Health Organization (WHO).

Organisasi kesehatan dunia itu pada 21 Mei 2003 mengakomodasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control – FCTC) yang didorong oleh Michael Bloomberg, biliuner asal Yahudi-Rusia yang kini menjabat Wali Kota New York – Amerika Serikat. Lantas, WHO memberlakukannya sejak 27 Februari 2005.

Pertimbangkan Peraturan itu

Tujuan Awal Konvensi itu bisa dipahami dan dimengerti semua pihak yang berkait dengan industri produk tembakau: “..agar dapat mengurangi prevalensi FCTC penggunaan tembakau dan paparan asap tembakau secara nyata dan berkelanjutan”. Lantaran itulah, 171 negara tergabung dalam FCTC, namun hingga kini masih banyak negara yang menandatangani konvensi belum meratifikasi. Negara-negara yang belum meratifikasi itu antara lain Amerika Serikat, Switzerland, Marocco, Haiti, Mozambique, dan Indonesia.

WHO kemudian menetapkan agenda global mengenai regulasi tembakau yang eksesif, FCTC memandu berbagai negara peserta konvensi untuk melakukan dua hal: pengurangan permintaan dan pengurangan persediaan.

Dalam hal pengurangan permintaan diprioritaskan pengaturan pajak dan harga. Yaitu melalui kebijakan pajak dan pengendalian harga untuk mengurangi permintaan dan melarang atau membatasi bebas bea masuk. Lantas, diprioritaskan berbagai hal terkait dengan non pengaturan harga. Yaitu melalui pembatasan kawasan merokok, regulasi produk, peraturan untuk pengemasan dan label, serta pelarangan untuk iklan, promosi, dan Sponsorship.
| N. Syamsuddin Ch. Haesy


Seputar RPP Pengamanan Produk Tembakau (Bagian 2)
Jangan Caplok Peraturan Asing
Jakarta | Tue 14 Dec 2010
by : N. Syamsuddin CH. Haesy
Pertimbangkan Peraturan itu
 
DALAM hal pengurangan persediaan produk tembakau, diagendakan program pencegahan perdagangan gelap atau ilegal, larangan total penjualan kepada dan untuk remaja, serta menyosialisasikan tanaman alternatif kepada petani tembakau. Merujuk pada agenda FCTC, itu Indonesia, melalui rapat koordinasi antarkementerian (20 Mei 2007) menyusun road map yang terang benderang: Periode 2007-2010 adalah fase untuk menyelesaikan dampak PP terhadap ketenagakerjaan. Periode 2010-2015 adalah fase penanggulangan dampak PP terhadap pendapatan negara, dan periode 2015-2020 adalah fase pengamanan produk tembakau untuk kesehatan. 

Road map itulah hendak diterabas oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, kini. Reaksi negatif pun muncul: resistensi dan kontroversi. Apalagi, bersamaan dengan itu Bloomberg Initiative (BI) Grant menggelontorkan dana bagi sejumlah pihak di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, nilainya sebesar US$4,195 juta. Tujuannya, mengintervensi dan memberikan tekanan publik pada pemerintah guna melarang iklan dan meluncurkan kampanye advokasi kepada pembuat kebijakan. Karena adanya unsur intervensi itulah, mantan Menteri Kesehatan (kini anggota Dewan Penasihat Presiden) mewanti-wanti: Pertimbangkan pemberlakuan peraturan itu... Jangan mencaplok mentah-mentah peraturan dari luar. Sesuaikan dengan kebutuhan rakyat!


Seputar RPP Pengamanan Produk Tembakau (3)
Kepentingan Rakyat Lebih Utama
Jakarta | Wed 15 Dec 2010
by : Suhartono

TAK perlu ada kontroversi pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) "Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan." Peta jalan yang dibuat bersama kementerian terkait dan industri tembakau 30 Mei 2007 sudah jelas. Bahkan Peraturan Pemerintah yang sedang berjalan saat ini masih relevan. 

Persoalan muncul lantaran sejumlah kalangan yang beroleh dana dari Bloomberg Initiative (BI) Grant pro FCTC kian keras melakukan intervensi. Padahal, Amerika Serikat sendiri yang menjadi domisili BI Grant, belum mau menandatangani ratifikasi konvensi FCTC itu. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, terkesan lebih mengakomodasi mereka yang pro-FCTC-WHO dan mengabaikan pihak lain (petani, buruh, konsumen produk tembakau, dan industri tembakau). 

Anggota Dewan Penasihat Presiden, Siti Fadilah Supari yang mantan Menteri Kesehatan jelas menyatakan, isi RPP itu perlu dipertimbangkan lebih masak. "Ada nasib petani dan buruh yang terancam," serunya kepada wartawan (Rabu 3/3/10). Tegas pula dia bicara, "Kan ketentuan (FCTC) itu dari luar. Kalau kita lihat banyak petani tembakau dan buruh yang menjadi korban, pertimbangkan isinya. Setiap RPP harus disesuaikan dengan kebutuhan rakyat. Pemerintah tidak perlu mencaplok semua regulasi dari luar, termasuk aturan tentang tembakau." 

Dengan gayanya yang khas, ketika menyampaikan pernyataannya, itu di halaman Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fadilah menyatakan, "Janganlah kita itu ikut-ikutan luar, nyaplok luar sama sekali, apakah betul angka kematian akibat rokok. Berapa sih banyaknya?" Ia menilai, kepentingan rakyat lebih utama dibanding membela nama Indonesia di mata asing. 

RPP yang diperjuangkan Endang dalam forum pembahasan lintas kementerian -- yang menurut Menteri Kesehatan dipimpin Menko Kesra Agung Laksono -itu, ditengarai mengadopsi banyak misi yang diperjuangkan Bloomberg. Antara lain, isinya menyangkut pelarangan total untuk segala bentuk komunikasi produk tembakau melalui iklan, sponsorship, dan promosi di media cetak, elektronik, internet, dan iklan luar ruang. Lalu, pembatasan merokok di tempat umum dan tempat kerja dengan ketentuan yang sangat ketat. Juga, pelarangan penjualan, iklan dan promosi produk tembakau di tempat umum, serta pelarangan iklan untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan rokok. 

Kepada wartawan di berbagai kesempatan, Endang memang mengharapkan RPP tentang tembakau menerapkan totally banned iklan rokok dan juga meminta adanya perluasan kawasan bebas rokok di semua wilayah Indonesia. Mulai dari tingkat Provinsi Kota/Kabupaten. Pernyataannya itulah yang menyebabkan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) melakukan protes. Mereka menuntut pemerintah membuat peraturan tentang tembakau yang bisa diterima semua pihak. 

Kepada pers, Endang malah meminta petani tembakau memahami keberadaan RPP itu. Peraturan itu, ungkapnya, dibuat untuk melindungi kesehatan mereka. Dia juga membantah pernyataan Fadilah yang mempertanyakan angka kematian akibat rokok. Dia bilang, berdasarkan penelitian di dalam maupun di luar negeri, bahaya rokok sudah jelas. RPP ini, ungkapnya, berupaya melindungi generasi muda dari bahaya merokok. 

Nampaknya Endang bertahan dengan sikapnya yang sejalan dengan FCTC WHO seperti yang disorongkan Bloomberg. Ia mengabaikan argumen AMTI dan banyak kalangan. Artinya, Endang keukeuh mempertahankan setiap pasal RPP yang disusun Kementerian Kesehatan. Sumber Jurnal Nasional di Kementerian Kesehatan menjelaskan, tak ada sedikit pun pengurangan pasal. Kalau perlu memotong prosedur normal melalui musyawarah mufakat dengan kalangan masyarakat tembakau.
| N. Syamsuddin Ch. Haesy

sumber: jurnal nasional

06 Desember 2010

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (1) "Bung Sultan" yang Demokratis

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (1)
"Bung Sultan" yang Demokratis
Rabu, 1 Desember 2010 | 02:37 WIB

Bambang Sigap Sumantri

”Saya tidak ingat persis lagi kapan dan bagaimana saya sampai menyebut ’Bung’ saja untuk kata diri Sultan. Dan rupa-rupanya Sultan Hamengku Buwono IX menganggap sikap saya itu wajar pula. Dia tidak keberatan sama sekali apabila saya panggil sebagai ’Bung’. Juga kalau saya berbicara dengan Sultan, percakapan itu biasanya dilakukan dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Belanda, tidak pernah dalam bahasa Jawa. Jadi, segala sesuatu berlangsung secara demokratis”. 

Judul dan alinea pembukaan ini dikutip dari tulisan wartawan senior H Rosihan Anwar dari buku Tahta untuk Rakyat.
Jiwa demokratis dan kenegarawanan HB IX memang unik, tetapi bisa dijelaskan dengan membaca riwayat hidup serta peran yang dimainkan dalam perpolitikan ketika masa pemerintahan Belanda dan setelah Indonesia merdeka. Nilai-nilai demokratis HB IX sangat jauh dari watak feodal. Melalui kepribadian yang memancar sangat kuat, HB IX berhasil membentuk pemerintahan DIY menjadi pelopor sistem pemerintahan demokratis yang kini dikembangkan pemerintahan SBY. Bagaimana bisa?

HB IX lahir pada tahun 1912 dengan nama Dorodjatun. Sejak usia sekolah dasar ia dititipkan (mondok) pada keluarga Belanda. Ia pernah tinggal di keluarga Mulder di Gondomanan, Yogyakarta, lalu keluarga Belanda di Semarang, dan terakhir sekolah di Bandung sebelum berangkat ke Belanda. Di negara ini, ia belajar di Fakultas Indologi, Rijksuniversiteit, Leiden. Suasana ini, antara lain, membuat HB IX mempunyai sikap egaliter dan demokratis. Apalagi dalam keseharian, ia juga bergaul dengan teman-teman sekolah tanpa ada pembedaan atau pengawalan dari Keraton.

Sebelum kemerdekaan tahun 1945, ide tentang demokrasi sudah dikenal Dorodjatun, terutama saat dia harus berunding dengan pemerintahan kolonial Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal L Adam. Misalnya dalam memutuskan soal Dewan Penasihat.

Adam pada tahun 1940 mengusulkan agar separuh anggota ditunjuk Gubernur Belanda dan sisanya ditunjuk Sultan. Usul ini ditolak Dorodjatun dan dia mengusulkan tandingan, yaitu diadakan Dewan Penasihat yang semua anggotanya dipilih rakyat secara langsung dan mereka harus mempunyai kebebasan berbicara sebagai wakil rakyat.

Sejarawan PJ Suwarno dalam disertasinya, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, menyatakan, secara lugas Dorodjatun (HB IX) mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi yang memberikan keleluasaan kepada wakil rakyat berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Reformasi birokrasi yang dilakukan HB IX dalam pemerintahannya merupakan tambahan bukti betapa kekuasaan yang dimiliki Dorodjatun semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu yang utama secara internal dalam kerajaannya, ia menghapus kedudukan Pepatih Dalem agar dapat langsung berkomunikasi dengan rakyat tanpa melalui perantara. Lembaga Pepatih Dalem ada sejak HB I. Pada tanggal 14 Juli 1945, Dorodjatun menghapus lembaga Pepatih Dalem agar semakin dekat dengan rakyatnya.

Pembaruan pemerintahan lain yang dilakukan HB IX adalah mengajarkan kepada rakyatnya untuk hidup secara demokratis. Sultan mengeluarkan Maklumat No 7/1945 tentang Pembentukan Perwakilan Rakyat Kalurahan yang diyatakan mulai berlaku pada tanggal 6 Desember 1945. Maklumat ini memerintahkan supaya di setiap kalurahan di DIY dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan (Dewan Kalurahan).

Alasan Sultan mengeluarkan maklumat itu untuk menampung hasrat dan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang diatur oleh UUD 1945.

Memang aneh kalau ada presiden yang mempermasalahkan tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan demokrasi di Yogyakarta. Sejarah mencatat, jauh sebelum Indonesia mengenal demokrasi, Kasultanan Yogyakarta sudah melakukan reformasi birokrasi dan demokratisasi.

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (2-HABIS) Lebih Suka Penetapan

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (2-HABIS)
Lebih Suka Penetapan
Kamis, 2 Desember 2010 | 02:50 WIB

Tak salah jika banyak orang mengatakan, pemerintah pusat tak belajar sejarah. Bukan hanya salah paham soal sistem monarki yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi.

Yang parah, pemerintah pusat seharusnya paham, mulai tahun 1998, soal gubernur DIY selalu menjadi masalah pelik, selalu bergejolak. Ini berkelanjutan sampai 2010, soal penggantian gubernur dan wakil gubernur DIY tak juga usai. Bambang Sigap Sumantri

Di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX, sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1980-an, jabatan gubernur DIY tak pernah digoyang. HB IX bahkan pernah merangkap sebagai wakil presiden pada era pemerintahan Soeharto. Ia ditawari untuk dua periode jabatan, tetapi menolak.

Sebagai wapres yang berkedudukan di Jakarta, otomatis yang menjalankan pemerintahan sehari-hari adalah Wakil Gubernur Paku Alam VIII. Pada tahun 1988, HB IX wafat di Amerika Serikat dan kemudian dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram, Imogiri, Yogyakarta.

Tahun itu juga, Paku Alam menggantikan peran kepala daerah. Semua berlangsung mulus walaupun Presiden Soeharto waktu itu menyimpan kekecewaan besar terhadap HB IX yang menolak tawaran untuk memperpanjang jabatan sebagai wapres. Masalah mulai muncul 10 tahun kemudian, tahun 1998, sewaktu Paku Alam VIII meninggal.

Mau tak mau, harus ada yang menggantikan sebagai gubernur DIY. Sultan Hamengku Buwono X—saat itu sudah menjadi raja menggantikan ayahandanya— lantas menjadi gubernur mulai masa jabatan pertama.
Ketika itu, untuk memutuskan pencalonan kepala daerah DIY, DPRD Provinsi DIY harus melakukan voting. Suasana politik sudah memanas. Berhari-hari proses pemilihan menemui jalan buntu karena salah satu fraksi, yaitu F-PP, mencalonkan Alfian Darmawan, padahal fraksi lainnya (F-KP, F-ABRI, dan F-PDI) menghendaki hanya satu calon diajukan ke Mendagri dan minta Presiden RI segera mengukuhkan Gubernur DIY.

Bertolak dari pengalaman sejak penetapan HB X sebagai gubernur DIY tahun 1998, dilanjutkan dengan masa jabatan kedua dimulai tahun 2003, kondisi sosial dan politik di DIY memang selalu panas menjelang masa berakhirnya jabatan kepala daerah. Pemerintah pusat selalu lamban menyikapi aspirasi masyarakat yang menginginkan Sultan langsung ditetapkan sebagai gubernur DIY tanpa melalui pemilihan. Keinginan model penetapan sudah muncul sejak sepuluh tahun lalu.

Tidak rinci

Memang benar, ini semua antara lain karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak mengatur secara rinci mengenai apa yang disebut dengan keistimewaan Yogyakarta.

Hal ini berbeda dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh), Provinsi Papua, ataupun Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang masing-masing mempunyai undang-undang terinci.

Karena tak ada ketegasan tentang apa yang disebut keistimewaan DIY, setiap pihak menafsirkan menurut cara pandang mereka sendiri. Pemerintah pusat cenderung memakai pola yang sama dengan daerah lain dalam pergantian kepala daerah sesuai dengan yang tertera dalam UU Pemerintahan Daerah. Namun, banyak rakyat Yogyakarta menentang hal itu karena berarti sebutan keistimewaan DIY tak ada artinya.

Semua argumen, baik pemerintah pusat maupun rakyat Yogyakarta yang pro-penetapan, mendasarkan diri pada kata-kata: sesuai konstitusi dan atas nama demokrasi. Akhirnya tak pernah ada titik temu dan berlarut-larut sampai bertahun-tahun. Hal ini masih ditambah dengan konflik dan persaingan politik antara Presiden SBY dengan Sultan HB X sehingga komunikasi politik menjadi tidak berjalan.

Libatkan rakyat

Untuk menyelesaikan masalah ini, sebaiknya pemerintah pusat dalam mengambil keputusan melibatkan dan memperhatikan aspirasi rakyat Yogyakarta. Sama halnya ketika pemerintah membuat undang-undang otonomi khusus untuk Aceh dan Papua yang sangat memerhatikan kemauan rakyat di dua provinsi itu.

Harian Kompas sejak tahun 2008 hingga 2010 mengadakan jajak pendapat, apakah sebaiknya Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat atau penetapan. Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Yogyakarta menginginkan penetapan. Angkanya berkisar 53,5 persen-79,9 persen.

Sebagai sebuah polling, hasilnya tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Yogyakarta. Apalagi dilakukan dengan cara menelepon, yang tentu saja responden menjadi terbatas secara ekonomis maupun geografis karena jaringan telepon belum merata sampai di desa-desa.

Jika menyangkut Keraton Yogyakarta, penduduk DIY terutama di pelosok desa masih sangat loyal. Sebagai contoh, ketika GKR Hemas, istri Sultan HB X, mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, suara yang diperoleh selama dua periode sangat tinggi. Jauh sekali mengungguli kandidat lain.

Karena itu, tak begitu sulit memperkirakan jika semua penduduk desa ataupun kota ditanya ingin penetapan atau pemilihan, hasilnya pastilah mirip perolehan GKR Hemas itu.

OTONOMI DAERAH KEPULAUAN RIAU (1)

OTONOMI DAERAH KEPULAUAN RIAU (1)
 
Kedaulatan Negara "Melayang" di Udara
 
Selasa, 30 November 2010 | 02:45 WIB

Ferry Santoso
Persoalan perbatasan tidak hanya terkait wilayah daratan atau perairan. Ruang atau wilayah udara juga menjadi isu strategis perbatasan yang cenderung luput dari perhatian publik.

Ruang udara Indonesia ”berbatasan” dengan ruang udara negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Banyak pesawat dari berbagai penjuru dunia di Bandara Changi, Singapura, perlu melewati ruang udara Indonesia, khususnya di sekitar perairan dan daratan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), saat terbang atau mendarat.

Selain itu, pesawat terbang dari sejumlah kota di Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur juga perlu melewati ruang udara Indonesia, khususnya ruang udara yang berada di atas Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna, Kepri.

Sayangnya, selama ini Indonesia tidak memiliki kekuasaan atas pengaturan ruang udara di wilayah Kepri. Ruang udara itu meliputi ruang udara di atas perairan dan daratan Kabupaten Karimun, Bintan, Kepulauan Anambas, Natuna, Lingga, dan Pulau Batam.

Ruang udara di wilayah Kepri belum dikuasai otoritas penerbangan Indonesia. Mengapa? Selama puluhan tahun, Indonesia tidak menunjukkan kemampuan mengelola ruang udara, khususnya di Kepri. Ruang udara di Kepri itu terus-menerus dibiarkan dikuasai negara asing, yaitu Singapura.

Kini, sudah saatnya Indonesia mengambil alih pengaturan ruang udara yang dikuasai Singapura. Dalam Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jelas disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara RI.

Bahkan, dalam Pasal 6 UU No 1/2009 ditegaskan, dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Sejak 1946, ruang udara di wilayah Kepri sepenuhnya berada dalam pengawasan ruang udara (flight information region/FIR) Singapura. Pada saat itu Indonesia yang baru merdeka dari penjajahan Belanda tidak aktif dalam pertemuan Navigasi Udara Regional (Regional Air Navigation/RAN) yang diselenggarakan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Dalam pertemuan RAN selanjutnya, Indonesia juga dinilai belum mampu mengelola ruang udara. Konsekuensinya, berdasarkan ketentuan internasional, hal-hal yang terkait kepentingan operasi keselamatan penerbangan didelegasikan kepada negara yang hadir dan mampu mengelola, yaitu Singapura.
Tahun 1993, dalam pertemuan RAN III di Bangkok, Pemerintah RI pernah mengusulkan agar Indonesia dapat mengelola FIR di sekitar wilayah Kepri. Namun, sidang ICAO memutuskan, masalah itu diselesaikan secara bilateral.

Oleh karena itu, Pemerintah RI dan Singapura terus berunding. Tanggal 21 September 1995, menurut Kepala Kelompok Keselamatan Penerbangan Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Elfi Amir, Pemerintah RI menandatangani kesepakatan mengenai penyusunan batas FIR Singapura dan FIR Jakarta dengan Pemerintah Singapura.

Kesepakatan itu kemudian disahkan Presiden Soeharto dengan Keputusan Presiden No 7/1996 tentang Pengesahan Kesepakatan Pemerintah RI dengan Singapura mengenai Penyusunan Batas FIR Singapura dan FIR Jakarta.

Inti kesepakatan itu adalah Pemerintah RI mendelegasikan pengaturan ruang udara Indonesia, khususnya di Kepri, berdasarkan sektor ruang udara kepada pihak Singapura. Selain itu, Pemerintah RI juga mendelegasikan pungutan biaya jasa pelayanan ruang udara (route charge) kepada Pemerintah Singapura.

Penguasaan FIR oleh Singapura atas ruang udara Indonesia, khususnya di Kepri, memberikan beberapa konsekuensi. Pertama, pesawat dari wilayah Indonesia yang akan mendarat ke atau terbang dari wilayah Kepri, khususnya Batam, harus melapor kepada operator menara lalu lintas udara (air traffic control/ATC) Singapura. Bahkan, pesawat yang terbang atau mendarat di Batam harus mendapat persetujuan (clearance) dari ATC Singapura.

ATC Bandara Internasional Hang Nadim tidak memiliki otoritas mengatur ruang udara untuk pesawat yang lalu lalang. ATC Bandara Hang Nadim hanya berwenang mengatur lalu lintas penerbangan di bawah 3.000 kaki atau sekitar 914,4 meter.

Penerbangan Malaysia

Pengaturan ruang udara di wilayah Indonesia yang dikuasai Singapura sebenarnya juga terkait dengan lalu lintas penerbangan Malaysia. Pesawat dari Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur perlu melewati wilayah Indonesia, yaitu perairan Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna.

Jika Indonesia mampu mengambil FIR Singapura, lalu lintas penerbangan dari Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur akan diatur oleh otoritas penerbangan Indonesia karena masuk wilayah FIR Jakarta.

Pengaturan FIR Jakarta atas penerbangan dari kedua wilayah Malaysia itu, yaitu Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur, tentu memberikan dampak yang positif. Pertama, pesawat yang lalu lalang dari Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur harus membayar uang jasa pelayanan ruang udara kepada Pemerintah Indonesia.
Kedua, Indonesia makin menunjukkan kedaulatan dengan jelas, khususnya di wilayah udara perbatasan di sekitar Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna.

Akan tetapi, jika ruang udara yang dikuasai FIR Singapura tidak diambil alih, pesawat dari Semenanjung Malaysia ke Malaysia Timur dengan leluasa melintas tanpa pengawasan dari otoritas penerbangan Indonesia.
Selain itu, uang jasa pelayanan ruang udara pun tidak dapat dipungut oleh Pemerintah Indonesia. Kedaulatan NKRI di wilayah perbatasan pun semakin tidak jelas atau ”melayang”.
Dalam pertemuan ICAO yang akan digelar kembali tahun 2013, sudah selayaknya Indonesia mengambil alih pengaturan ruang udara.

Kemandirian bangsa

Selain sudah diamanatkan UU No 1/2009 tentang Penerbangan, Indonesia juga perlu menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang maju, mampu, dan mandiri mengelola ruang udara yang dikuasai Singapura.

Apalagi, dalam Pasal 458 UU No 1/2009 semakin ditegaskan, wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU ini berlaku.

UU No 1/2009 berlaku sejak 12 Januari 2009. Itu berarti pada tahun 2024 wilayah FIR Singapura sudah harus beralih ke FIR Jakarta di bawah ATC Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Jangka waktu sampai 2024 itu bukan merupakan waktu lama. Untuk dapat mengambil alih ruang udara, dari aspek teknis, Indonesia harus menunjukkan kemampuan. Itu berarti kualitas pelayanan lalu lintas udara harus sama dengan kualitas pelayanan lalu lintas udara yang dilakukan ATC Singapura.

Kepala Subdirektorat Manajemen Lalu Lintas Penerbangan Direktorat Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Wisnu Darjono menjelaskan, dari tingkat sumber daya manusia, petugas ATC dari Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan petugas ATC di Singapura.

Selama ini, tanpa peralatan yang canggih, petugas ATC yang melayani FIR Jakarta bahkan mampu melayani lalu lintas udara dengan baik. ”Jika dilengkapi peralatan yang lebih canggih, kualitas pelayanan lalu lintas udara semakin lebih baik dan tidak kalah dengan kualitas pelayanan ATC di Singapura,” kata Wisnu.

Sayangnya, dari sisi teknis, peralatan pelayanan lalu lintas udara di Indonesia masih sangat minim. ”Masih banyak petugas ATC yang mengandalkan pengindraan nonradar atau manual,” kata Wisnu.

Oleh karena itu, teknologi peralatan pelayanan lalu lintas udara di Indonesia harus ditingkatkan. Manajemen lalu lintas udara (air traffic management) yang meliputi sistem komunikasi, navigasi, dan pengindraan tidak cukup mengandalkan radar dengan jangkau atau radius yang terbatas, tetapi harus mengandalkan kecanggihan satelit. Selain itu, kualitas sumber daya manusia, khususnya operator menara bandara, juga penting untuk ditingkatkan.

Wilayah Perbatasan yang Tereksploitasi...

OTONOMI DAERAH KEPULAUAN RIAU (2)
Wilayah Perbatasan yang Tereksploitasi...
Rabu, 1 Desember 2010 | 03:01 WIB

Kegemerlapan Singapura terlihat jelas pada malam hari dari beberapa tempat di Batam, Kepulauan Riau. Kemegahan Singapura tampak dari gedung pencakar langit yang terang benderang.

Singapura bisa gemerlap karena energi listrik tidak pernah susut, apalagi krisis. Sumber energi primer pembangkit tenaga listrik, seperti gas bumi, terus mengalir dan tersuplai.

Di sisi lain, kawasan yang berdekatan dengan Singapura, khususnya di Kepulauan Riau, seperti Batam, termasuk Pulau Rempang dan Galang, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan, Karimun, Lingga, atau Natuna, justru ”redup”. Kepri terus dihantui keterbatasan pasokan listrik. Banyak warga di perkampungan atau di pesisir di Kepri yang mengandalkan genset.

Padahal, Kepri sebenarnya tidak harus ”gelap gulita” dan krisis listrik kalau pemerintah memiliki kemauan politik dan keberpihakan dalam membuat kebijakan energi. Kepri seharusnya mampu memiliki pembangkit listrik tenaga gas yang dapat dibanggakan untuk melayani kebutuhan listrik di Kepri, termasuk ke Sumatera.

Kepri sebenarnya juga tidak harus mengalami keterbatasan pasokan sumber energi primer, gas bumi, karena perut bumi di Natuna, salah satu kabupaten di Kepri, menjadi daerah penghasil utama gas bumi, termasuk minyak. Saat ini setidaknya ada enam sumur minyak dan gas bumi (migas) yang berproduksi di Natuna, yakni lapangan Belida, Sembilang, Hang Tuah, Kakap, Udang, dan Kerisi.

Selain itu, menurut Kepala Bidang Pertambangan Dinas Pertambangan Natuna Juianto, di Natuna juga terdapat 270 sumur yang masih dalam tahap menjajakan atau eksplorasi. Sumur migas di Natuna dikelola beberapa perusahaan asing, seperti Conoco Phillips, Premier Oil, dan Star Energy. Cadangan gas, termasuk minyak di Natuna, besar dan menjadi incaran perusahaan migas di dunia.

Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Natuna Basri mengatakan, cadangan gas di Blok Alpha D di Natuna saat ini mencapai 46 triliun kaki kubik. Cadangan di Blok Alpha D itu diperkirakan adalah cadangan terbesar di Asia Pasifik.

Sayangnya, gas bumi sebagai kekayaan alam yang berada di kedalaman Laut Natuna selama ini tidak tersalurkan ke wilayah Kepri. Sumber energi, yaitu gas bumi di Natuna, selama ini langsung disalurkan ke negara tetangga, khususnya Singapura, melalui jaringan pipa di bawah laut.

Ironisnya, jaringan pipa bawah laut dari Natuna ke Singapura justru melewati perairan di perbatasan Singapura dan Batam. Namun, jaringan pipa ke wilayah Kepri, khususnya Batam, apalagi ke Sumatera, buntu atau tidak tersambungkan.

Mengapa gas di Natuna selama ini lebih diprioritaskan untuk disalurkan ke Singapura atau ke luar negeri? Ada beberapa alasan yang dapat dijelaskan.

Pertama, Singapura atau negara asing mampu membeli gas bumi dengan harga internasional atau harga pasar. Kedua, ekspor gas bumi ke Singapura atau ke negara lain umumnya dilakukan dengan kontrak jangka panjang dengan volume yang besar. Dengan kondisi itu, pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri tak menjadi prioritas dan terabaikan. Perusahaan produsen gas enggan menjual gas bumi ke dalam negeri karena harganya yang rendah.

Politik ”rente”

Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Bersama Rakyat di Batam Uba Ingan Sigalingging mengingatkan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas menyebutkan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktik, pemanfaatan sumber daya alam cenderung menyimpang dari amanat UUD 1945. ”Kekayaan alam menjadi komoditas ekonomi,” katanya.

Dalam pemanfaatan sumber daya alam, Uba menilai pemerintah cenderung menggunakan politik ”rente”, yaitu menjual kekayaan alam kepada pihak asing daripada memprioritaskan untuk rakyat atau kebutuhan di dalam negeri. Akibatnya, kekayaan migas di Natuna tidak dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk sumber pembangkit listrik maupun industri yang membutuhkan bahan baku gas.
Di tingkat lokal, sebagai daerah penghasil migas, Natuna pun tidak dapat menarik banyak manfaat dari kekayaan alamnya itu. Pemerintah daerah juga tak mengetahui berapa produksi riil migas di Natuna.

Pemerintah Kabupaten Natuna, menurut Basri, tak mendapatkan rincian volume produksi yang sebenarnya, berapa biaya eksploitasi, biaya operasional perusahaan migas yang beroperasi, dan keuntungan bersih perusahaan migas yang menjadi patokan pembagian keuntungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah tak transparannya rincian biaya dari perusahaan migas itu menjadi keluhan pemerintah daerah lain pula. Pemerintah daerah penghasil, termasuk Kabupaten Natuna, hanya menerima dana bagi hasil dari pemerintah pusat.
Rumusan pembagian dana bagi hasil gas pun tidak terlalu besar, yaitu 70 persen untuk pemerintah pusat dan 30 persen untuk pemerintah daerah. Untuk minyak, pemerintah pusat mendapat 85 persen dan pemerintah daerah sebesar 15 persen. Dengan berpatokan besaran itu, Pemerintah Kabupaten Natuna pun tak mengetahui apakah dana yang mereka terima cukup besar atau sebanding dengan volume migas yang dieksploitasi dari perut bumi Natuna.
Pasokan ke Sumatera
Jika pemerintah memprioritaskan pemenuhan gas di dalam negeri, tentu, keterbatasan pasokan listrik di Kepri atau di Sumatera dapat teratasi. Dengan ketersediaan sumber energi primer, yaitu gas, diharapkan lebih banyak perusahaan yang berminat berinvestasi di bidang pembangkit tenaga listrik di Kepri.

Direktur Utama PT PLN Batam Sriyono mengungkapkan, PLN Batam membuat kesepakatan bersama dengan produsen gas Premier Oil, salah satu perusahaan yang mengeksploitasi gas di Natuna, untuk menyuplai gas ke Batam. Realisasi kesepakatan itu ditargetkan tahun 2013. Namun, persoalannya tidak mudah. Untuk menyuplai gas ke Batam dari Natuna, jaringan pipa gas dari Natuna ke Singapura yang melewati perairan di perbatasan Batam perlu disambungkan ke Batam. Itu berarti, dalam dua tahun, PLN Batam perlu mengupayakan penyambungan jaringan pipa di bawah laut.

Kalau gas dari Natuna sudah tersalurkan ke Batam pun, tidak berarti suplai listrik ke daerah terpencil, seperti di Kabupaten Bintan, Karimun, Lingga, dan Natuna di Kepri, dapat terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah adanya monopoli PLN dalam pendistribusian listrik. Akibatnya, investor pembangkit listrik tidak sepenuhnya dapat berinvestasi dan menjual listrik kepada masyarakat karena harus tergantung atau bekerja sama dengan PT PLN dalam pendistribusiannya.

Terkait dengan masalah monopoli PT PLN dalam pendistribusian listrik itu, anggota Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis, dalam dialog di Tanjung Pinang mengungkapkan, ia akan membicarakan dengan fraksi kemungkinan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Jika investor tak leluasa berinvestasi pembangkit listrik di daerah, khususnya daerah kepulauan, masalah listrik terus menjadi momok. Penerangan di perkampungan penduduk atau pesisir terus mengandalkan genset. Penggunaan genset pun terbatas pada malam hari, pukul 18.00 sampai 22.00 atau 24.00. Pembatasan waktu terpaksa dilakukan untuk menghemat bahan bakar solar.

Seorang warga pesisir di Kampung Baru, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan, Rahmat, mengatakan, Kampung Baru tak pernah teraliri listrik. ”Banyak warga menggunakan genset. Listrik dinyalakan dari pukul 18.00 sampai 23.00,” katanya.

Tidak hanya di Bintan, saat ini kantor Wali Kota Tanjung Pinang pun masih mengandalkan genset. Kawasan pengembangan Kota Tanjung Pinang, Senggarang, termasuk kawasan perkantoran Gubernur Kepri di Dompak, masih belum sepenuhnya tersuplai listrik.

Dari data PLN Tanjung Pinang, daya mampu listrik di Tanjung Pinang hanya 43,85 kilowatt. Daya sebanyak itu harus menjangkau Kota Tanjung Pinang dan sebagian wilayah Bintan.

Padahal, kebutuhan listrik di Tanjung Pinang saat ini besar. Dari data PLN Tanjung Pinang, warga Kota Tanjung Pinang yang masih menunggu aliran listrik atau daftar tunggu mencapai 2.942 calon pelanggan.
Oleh Ferry Santoso