04 Januari 2013

Jihad Di Mata Abu Bakar Ba’asyir




Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, Pusat Studi HAM UII, Kajian Terorisme FISIP UI



Pada Jumat [7/9/2012], kali ini penulis melakukan kunjungan ke rumah tahanan Markas Besar POLRI, Trunojoyo, Jakarta. Di sana saya akan menemui seorang tokoh yang dianggap sebagai figur paling berpengaruh pada aktivitas gerakan jihad di Indonesia. Beliau adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan pondok pesantren Ngruki, Solo. Beliau juga adalah orang yang membidani lahirnya Jemaah Islamiyah pada tahun 1992 di Malaysia, pernah menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia [MMI] dan kemudian saat ini menjabat Amir atau pimpinan tertinggi dari Jamaah Ansharu Tauhid [JAT].[1][1]

Biasanya persyaratan administratif untuk melakukan kunjungan di rutan Mabes POLRI ini termasuk rutan yang paling mudah untuk melakukan kunjungan, tidak ada pembatasan jumlah tamu dan durasi kunjungan yang terlalu ketat jika ingin berkunjung menemui Abu Bakar Ba’asyir. Entah mengapa siang ini pengecekan menjadi lebih ketat dan jumlah orang yang ingin berkunjung dibatasi hanya lima orang saja dan waktunya dibatasi hanya menjadi 30 menit. Sepertinya ini tidak dapat dilepaskan dari kasus penembakan yang terjadi di Solo belum lama ini, sehingga ekskalasi isu terorisme kembali menghangat di media massa di Indonesia akhir-akhir ini. Terlihat salah satu media televisi sedang melakukan pelaporan mengenai perkembangan isu terorisme dengan mengambil gedung Badan Reserse dan Kriminal [Bareskrim] POLRI sebagai latar.

Tidak lama berselang penulis setelah menyerahkan kartu tanda pengenal dan alat komunikasi pada bagian pengecekan dipersilahkan untuk memasuki bagian dalam rutan Mabes POLRI ini dan menunggu kehadiran Abu Bakar Ba’asyir. Dapat dikatakan kondisi Abu Bakar Ba’asyir terlihat cukup baik, dengan menggunakan baju gamis putih dan kopiah putih yang menjadi ciri khasnya, Ba’asyir menemui para pengunjung. Ba’asyir terlihat sehat dan lebih gemuk dibandingkan dengan foto-foto dirinya ketika ramai menjadi sorotan media beberapa tahun lalu. Satu persatu Ba’asyir bersalaman dengan para pengunjung termasuk penulis. Dan tidak lupa beberapa anggota Jamaah Ansharu Tauhid yang hadir menyiapkan hidangan kurma untuk para pengunjung. Sebuah perilaku Islami yang tetap dijaga oleh Ba’asyir dalam menjamu para tamu dan pengunjung walaupun berada di dalam penjara sekalipun.

Kemudian perbincangan dengan Abu Bakar Ba’asyir pun dimulai ketika muncul beberapa pertanyaan : Apakah Abu Bakar Ba’asyir juga terlibat dalam kasus penembakan Solo yang sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini? Apakah ini ada kaitannya dengan pemahaman Jihad yang telah digagas Ba’asyir sejak lama?. Sebelum memasuki pembahasan mengenai kasus penembakan di Solo ini, Ba’asyir merasa perlu untuk kembali menerangkan pemahaman dasar mengenai Jihad kepada kami. Akhirnya dia mengawali perbincangan kali ini dengan menunjukkan dalil-dalil, ayat-ayat, landasan-landasan mengenai jihad di dalam Islam. “Jihad itu dilakukan untuk melindungi kaum muslimin”, ungkap Ba’asyir, lalu ia menunjukkan dua ayat di dalam Al Qur’an yang menjadi landasan diwajibkannya jihad bagi kaum muslimin yaitu :

كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ۬ لَّكُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu [QS : Al Baqarah 216].

Kemudian ayat lainnya :

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ جَـٰهِدِ ٱلۡڪُفَّارَ وَٱلۡمُنَـٰفِقِينَ وَٱغۡلُظۡ عَلَيۡہِمۡ‌
Wahai Nabi! Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka [QS : At Taubah 73].[2][2]

Abu Bakar Ba’asyir juga menjelaskan bahwa terdapat tiga syarat perjuangan di dalam Islam, yaitu : 1. Murni, 2. Kaffah, 3. Jihad. Mengenai kasus penembakan yang terjadi di Solo, Ba’asyir menyangkal bahwa Farhan dan Mukhsin adalah bagian dari anggota Jamaah Ansharu Tauhid [JAT] walau dia mengakui bahwa kedua orang tersebut pernah bersekolah di Pondok Pesantren Ngruki. Ba’asyir berusaha untuk mencari informasi mengenai kedua orang tersebut dan mendapat keterangan melalui berita ketika Wahyudin, pimpinan pondok pesantren Ngruki, mengkonfirmasi Farhan dan Mukhsin memang pernah bersekolah di Ngruki. Merujuk pada pemberitaan di media massa memang Wahyudin mengakui kedua pelaku kasus penembakan Solo tersebut pernah bersekolah di Pondok Pesantern Ngruki, walau dikatakan mereka berdua tidak menempuh pendidikan di Ngruki hingga lulus sehingga tidak dapat dikatakan sebagai alumni lulusan Ngruki, tetapi mereka adalah jebolan Ngruki.[3][3]

Abu Bakar Ba’asyir mengatakan tuduhan bahwa dirinya dikaitkan dengan kasus penembakan di Solo itu adalah mengada-ada. Ba’asyir mengatakan  dirinya tidak pernah melakukan kontak dengan para pelaku terkait perencanaan kasus penembakan di Solo tersebut. Ba’asyir menduga kuat adanya rekayasa intelijen di balik terjadinya kasus penembakan ini. “Memang saya mendengar kedua pelaku tersebut, pernah menjadi santri di Ngruki. Tetapi coba anda pikirkan bahwa jumlah santri di Ngruki itu ribuan orang, bisa saja ketika saya mengajar mereka juga ikut dalam kelas yang saya ajarkan. Bahkan saya sendiri belum tentu mampu mengingat dan menghapal seluruh santri yang pernah saya ajar karena jumlahnya yang terlalu banyak”, ungkap Ba’asyir.

Abu Bakar Ba’asyir berpendapat bahwa sekarang di Indonesia perjuangan jihad baru mencapai tahapan iddat jasadiyah [العدة الجسد] atau persiapan fisik, belum sampai pada masa jihad qital [الجهاد قتل] atau perjuangan bersenjata. Menurut Ba’asyir ada dua pilihan dalam rangka perjuangan Islam : 1. Perjuangan bersenjata, dimana saat ini kaum muslimin belum mampu untuk melaksanakannya di Indonesia; 2. Revolusi massa melalui demonstrasi, dilakukan dengan menyuarakan tuntutan yang tegas yaitu diterapkannya syariah Islam sebagai landasan bernegara di Indonesia. Untuk pilihan perjuangan bersenjata di Indonesia, Ba’asyir mengatakan kaum muslimin di Indonesia belum mampu untuk melakukan langkah ini, yang paling mungkin dillakukan adalah iddat jasadiyah atau persiapan fisik dengan pelatihan-pelatihan paramiliter untuk membentuk dasar keperwiraan kaum muslimin. Dengan cara pandang ini kemudian Ba’asyir melihat kasus pelatihan militer Aceh pada tahun 2010 merupakan bagian dari iddat jasadiyah yang dimaksud.[4][4]

Pilihan yang kedua dengan menempuh revolusi massa melalui gelombang demonstrasi dianggap Ba’asyir sebagai satu langkah yang cukup strategis dan tepat untuk dilakukan dalam konteks di Indonesia. Ba’asyir menjelaskan demonstrasi dilakukan secara bertahap, diawali dari jumlah massa yang sedikit, kemudian secara bergelombang demonstrasi dilakukan dalam skala yang lebih besar, terus dan menerus dilakukan sehingga mencapai momentum revolusi yang dibutuhkan. Ba’asyir mencontohkan bagaimana metode ini berhasil dilakukan di dunia Arab dimana pemerintahan rezim negara-negara Arab satu demi satu berjatuhan oleh revolusi massa yang menuntut pergantian kekuasaan.[5][5] Ba’asyir menyebutkan contoh Ikhwanul Muslimun di Mesir sebagai satu contoh keberhasilan yang baik dalam perjuangan politik melalui revolusi massa, tetap Ba’asyir menyayangkan mengapa tuntutan yang diajukan tidak begitu tegas, yaitu penerapan syariah Islam dan penghapusan sistem demokrasi. Jika kelompok Islam di Indonesia ingin melakukan revolusi massa ini maka seharusnya tuntutan penerapan syariah Islam menjadi satu isu utama yang harus diangkat.

Abu Bakar Ba’asyir menghimbau agar kelompok-kelompok Islam untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi kecil tetapi konsisten dalam upaya penegakkan daulah dan syariah Islam di Indonesia.”Setiap orang yang datang mengunjungi saya, selalu saya pesankan untuk menempuh cara demonstrasi ini, walaupun demonstrasi ini dilakukan dalam skala yang kecil tetapi tuntutannya tegas yaitu penerapan daulah dan syariah Islam di Indonesia”, jelas Ba’asyir. “Jika ada orang-orang yang berani habis-habisan untuk melakukan demonstrasi dikarenakan harga tempe tahu yang naik, harga bahan bakar minyak yang naik, mengapa umat Islam tidak tergerak hatinya untuk melakukan demonstrasi menuntut tegaknya daulah dan syariah Islam di Indonesia? Padahal daulah dan syariah Islam itu jauh lebih berarti bagi umat Islam daripada tempe, tahu dan bensin.”

Berbicara perjuangan Islam di Indonesia melalui saluran politik formal [parlemen] melalui partai-partai politik Islam, Ba’asyir menyiratkan keraguannya, “Tidak ada partai Islam di Indonesia yang lebih hebat daripada Masyumi. Pemimpinnya cerdas, jujur, sederhana dan Masyumi juga berkomitmen untuk memperjuangkan Islam melalui konstitusi. Tetapi mengapa tidak berhasil? Karena Masyumi meninggalkan jalan perjuangan jihad, sehingga akhirnya kekuatan Masyumi dapat diberangus oleh lawan politiknya.” Ba’asyir melanjutkan, “Itulah yang terjadi ketika umat Islam meninggalkan jalan jihad, maka orang-orang kafir akan dengan mudah memukul umat Islam. Coba anda lihat orang-orang Islam yang mendapatkan penindasan dari orang kafir di negara-negara lain seperti Rohingnya Myanmar, Bosnia, Pattani Thailand. Mereka yang ditindas oleh orang-orang kafir karena mereka pernah meninggalkan jihad, tanpa adanya jihad maka umat Islam hanya akan menjadi sasaran penindasan orang-orang kafir.”

Arah perbincangan kembali kepada kondisi perjuangan Islam di Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir berpendapat bahwa jihad di Indonesia hukumnya adalah fardhu ‘ain dimana setiap muslim secara individu wajib untuk mengupayakan perjuangan jihad sesuai dengan kemampuannya. “Jihad di Indonesia ini sudah sampai pada kondisi hukum fardhu ‘ain, karena umat Islam sekarang sedang ditindas oleh penguasa. Dari masa kekuasaan Soekarno hingga Yudhoyono saat ini, umat Islam di Indonesia masih hidup dalam penjajahan dikarenakan penguasa negerinya tidak mau menjadikan syariah Islam sebagai landasan bernegara. Untuk menegakkan syariah Islam di Indonesia dibutuhkan sebuah daulah Islam, oleh karena itu jihad dalam rangka menegakkan daulah dan syariah menjadi fardhu ‘ain untuk dilakukan oleh setiap muslim di Indonesia”, ungkap Ba’asyir.

Sebelum menutup perbincangan diakibatkan adanya rombongan kedua yang ingin mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir, dia memberikan kepada para pengunjung masing-masing empat buah buku yang ditulisnya selama di dalam penjara. Buku ini adalah karya pemikiran Ba’asyir yang kemudian disebarluaskan oleh para anggota Jamaah Ansharu Tauhid kepada para pengunjung yang mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir. Empat judul buku tersebut masing-masing menjelaskan uraian pemikiran Ba’asyir mengenai Islam, Jihad, Daulah, Tauhid dan berbagai konsep-konsep penting lainnya. Empat judul buku Ba’asyir tersebut adalah : 1. Tadzkirah : Nasehat dan Peringatan Karena Allah, 2. Meluruskan Makna Kalimat Tauhid, Laa Ilaaha Illallah  dan Makna Ibadah, 3. Risalah Tauhid dan Iman, dan 4. Demokrasi adalah Bisikan Setan yang Berperan Menghancurkan Tauhid & Iman. Buku-buku ini kemudian diterima oleh kami para pengunjung, untuk membalas pemberian buku ini penulis sempat memberikan majalah Isra Pusham UII edisi terbaru kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dengan demikian berakhirlah kunjungan penulis di rutan Mabes POLRI kali ini, dengan membawa empat buku pemikiran karya Abu Bakar Ba’asyir. Ini akan menjadi satu bahan bacaan yang berharga dalam memahami perkembangan gerakan jihad di Indonesia tentunya.


[1][1] http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Bashir
[2][2] Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Syaamil Cipta Media
[3][3] http://nasional.tvonenews.tv/berita/view/60941/2012/09/03/dua_teroris_solo_jebolan_ngruki.tvOne
[4][4] http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/12/101220_aceh_terrorism.shtml
[5][5] http://www.washingtonpost.com/wp-srv/special/world/middle-east-protests/