Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, Pusat Studi HAM UII, Kajian Terorisme FISIP UI
Pada Jumat
[7/9/2012], kali ini penulis melakukan kunjungan ke rumah tahanan Markas Besar
POLRI, Trunojoyo, Jakarta. Di sana saya akan menemui seorang tokoh yang
dianggap sebagai figur paling berpengaruh pada aktivitas gerakan jihad di
Indonesia. Beliau adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan pondok pesantren
Ngruki, Solo. Beliau juga adalah orang yang membidani lahirnya Jemaah Islamiyah
pada tahun 1992 di Malaysia, pernah menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia
[MMI] dan kemudian saat ini menjabat Amir atau pimpinan tertinggi dari Jamaah
Ansharu Tauhid [JAT].[1][1]
Biasanya persyaratan administratif untuk melakukan kunjungan di rutan Mabes POLRI ini termasuk rutan yang paling mudah untuk melakukan kunjungan, tidak ada pembatasan jumlah tamu dan durasi kunjungan yang terlalu ketat jika ingin berkunjung menemui Abu Bakar Ba’asyir. Entah mengapa siang ini pengecekan menjadi lebih ketat dan jumlah orang yang ingin berkunjung dibatasi hanya lima orang saja dan waktunya dibatasi hanya menjadi 30 menit. Sepertinya ini tidak dapat dilepaskan dari kasus penembakan yang terjadi di Solo belum lama ini, sehingga ekskalasi isu terorisme kembali menghangat di media massa di Indonesia akhir-akhir ini. Terlihat salah satu media televisi sedang melakukan pelaporan mengenai perkembangan isu terorisme dengan mengambil gedung Badan Reserse dan Kriminal [Bareskrim] POLRI sebagai latar.
Tidak lama berselang penulis setelah menyerahkan kartu
tanda pengenal dan alat komunikasi pada bagian pengecekan dipersilahkan untuk
memasuki bagian dalam rutan Mabes POLRI ini dan menunggu kehadiran Abu Bakar
Ba’asyir. Dapat dikatakan kondisi Abu Bakar Ba’asyir terlihat cukup baik,
dengan menggunakan baju gamis putih dan kopiah putih yang menjadi ciri khasnya,
Ba’asyir menemui para pengunjung. Ba’asyir terlihat sehat dan lebih gemuk
dibandingkan dengan foto-foto dirinya ketika ramai menjadi sorotan media
beberapa tahun lalu. Satu persatu Ba’asyir bersalaman dengan para pengunjung
termasuk penulis. Dan tidak lupa beberapa anggota Jamaah Ansharu Tauhid yang
hadir menyiapkan hidangan kurma untuk para pengunjung. Sebuah perilaku Islami
yang tetap dijaga oleh Ba’asyir dalam menjamu para tamu dan pengunjung walaupun
berada di dalam penjara sekalipun.
Kemudian perbincangan dengan Abu Bakar Ba’asyir pun
dimulai ketika muncul beberapa pertanyaan : Apakah Abu Bakar Ba’asyir juga
terlibat dalam kasus penembakan Solo yang sedang menjadi sorotan akhir-akhir
ini? Apakah ini ada kaitannya dengan pemahaman Jihad yang telah digagas
Ba’asyir sejak lama?. Sebelum memasuki pembahasan mengenai kasus penembakan di
Solo ini, Ba’asyir merasa perlu untuk kembali menerangkan pemahaman dasar
mengenai Jihad kepada kami. Akhirnya dia mengawali perbincangan kali ini dengan
menunjukkan dalil-dalil, ayat-ayat, landasan-landasan mengenai jihad di dalam
Islam. “Jihad itu dilakukan untuk melindungi kaum muslimin”, ungkap Ba’asyir,
lalu ia menunjukkan dua ayat di dalam Al Qur’an yang menjadi landasan
diwajibkannya jihad bagi kaum muslimin yaitu :
كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ
ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ۬ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ
خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ
Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi
kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu [QS : Al Baqarah 216].
Kemudian
ayat lainnya :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ
جَـٰهِدِ ٱلۡڪُفَّارَ وَٱلۡمُنَـٰفِقِينَ وَٱغۡلُظۡ عَلَيۡہِمۡ
Wahai Nabi!
Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap
keraslah terhadap mereka [QS : At Taubah 73].[2][2]
Abu Bakar Ba’asyir juga menjelaskan bahwa terdapat
tiga syarat perjuangan di dalam Islam, yaitu : 1. Murni, 2. Kaffah, 3. Jihad.
Mengenai kasus penembakan yang terjadi di Solo, Ba’asyir menyangkal bahwa
Farhan dan Mukhsin adalah bagian dari anggota Jamaah Ansharu Tauhid [JAT] walau
dia mengakui bahwa kedua orang tersebut pernah bersekolah di Pondok Pesantren
Ngruki. Ba’asyir berusaha untuk mencari informasi mengenai kedua orang tersebut
dan mendapat keterangan melalui berita ketika Wahyudin, pimpinan pondok
pesantren Ngruki, mengkonfirmasi Farhan dan Mukhsin memang pernah bersekolah di
Ngruki. Merujuk pada pemberitaan di media massa memang Wahyudin mengakui kedua
pelaku kasus penembakan Solo tersebut pernah bersekolah di Pondok Pesantern
Ngruki, walau dikatakan mereka berdua tidak menempuh pendidikan di Ngruki
hingga lulus sehingga tidak dapat dikatakan sebagai alumni lulusan
Ngruki, tetapi mereka adalah jebolan Ngruki.[3][3]
Abu Bakar Ba’asyir mengatakan tuduhan bahwa dirinya
dikaitkan dengan kasus penembakan di Solo itu adalah mengada-ada. Ba’asyir
mengatakan dirinya tidak pernah
melakukan kontak dengan para pelaku terkait perencanaan kasus penembakan di
Solo tersebut. Ba’asyir menduga kuat adanya rekayasa intelijen di balik
terjadinya kasus penembakan ini. “Memang saya mendengar kedua pelaku tersebut,
pernah menjadi santri di Ngruki. Tetapi coba anda pikirkan bahwa jumlah santri
di Ngruki itu ribuan orang, bisa saja ketika saya mengajar mereka juga ikut
dalam kelas yang saya ajarkan. Bahkan saya sendiri belum tentu mampu mengingat
dan menghapal seluruh santri yang pernah saya ajar karena jumlahnya yang
terlalu banyak”, ungkap Ba’asyir.
Abu Bakar Ba’asyir berpendapat bahwa sekarang di
Indonesia perjuangan jihad baru mencapai tahapan iddat jasadiyah [العدة الجسد] atau
persiapan fisik, belum sampai pada masa jihad qital [الجهاد قتل]
atau
perjuangan bersenjata. Menurut Ba’asyir ada dua pilihan dalam rangka perjuangan
Islam : 1. Perjuangan bersenjata, dimana saat ini kaum muslimin belum mampu
untuk melaksanakannya di Indonesia; 2. Revolusi massa melalui demonstrasi,
dilakukan dengan menyuarakan tuntutan yang tegas yaitu diterapkannya syariah
Islam sebagai landasan bernegara di Indonesia. Untuk pilihan perjuangan
bersenjata di Indonesia, Ba’asyir mengatakan kaum muslimin di Indonesia belum
mampu untuk melakukan langkah ini, yang paling mungkin dillakukan adalah iddat
jasadiyah atau persiapan fisik dengan pelatihan-pelatihan paramiliter untuk
membentuk dasar keperwiraan kaum muslimin. Dengan cara pandang ini kemudian
Ba’asyir melihat kasus pelatihan militer Aceh pada tahun 2010 merupakan bagian
dari iddat jasadiyah yang dimaksud.[4][4]
Pilihan yang kedua dengan menempuh revolusi massa
melalui gelombang demonstrasi dianggap Ba’asyir sebagai satu langkah yang cukup
strategis dan tepat untuk dilakukan dalam konteks di Indonesia. Ba’asyir
menjelaskan demonstrasi dilakukan secara bertahap, diawali dari jumlah massa
yang sedikit, kemudian secara bergelombang demonstrasi dilakukan dalam skala
yang lebih besar, terus dan menerus dilakukan sehingga mencapai momentum
revolusi yang dibutuhkan. Ba’asyir mencontohkan bagaimana metode ini berhasil
dilakukan di dunia Arab dimana pemerintahan rezim negara-negara Arab satu demi
satu berjatuhan oleh revolusi massa yang menuntut pergantian kekuasaan.[5][5] Ba’asyir menyebutkan contoh Ikhwanul Muslimun di
Mesir sebagai satu contoh keberhasilan yang baik dalam perjuangan politik
melalui revolusi massa, tetap Ba’asyir menyayangkan mengapa tuntutan yang
diajukan tidak begitu tegas, yaitu penerapan syariah Islam dan penghapusan
sistem demokrasi. Jika kelompok Islam di Indonesia ingin melakukan revolusi
massa ini maka seharusnya tuntutan penerapan syariah Islam menjadi satu isu
utama yang harus diangkat.
Abu Bakar Ba’asyir menghimbau agar kelompok-kelompok
Islam untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi kecil tetapi konsisten dalam
upaya penegakkan daulah dan syariah Islam di Indonesia.”Setiap orang yang
datang mengunjungi saya, selalu saya pesankan untuk menempuh cara demonstrasi
ini, walaupun demonstrasi ini dilakukan dalam skala yang kecil tetapi
tuntutannya tegas yaitu penerapan daulah dan syariah Islam di Indonesia”, jelas
Ba’asyir. “Jika ada orang-orang yang berani habis-habisan untuk melakukan
demonstrasi dikarenakan harga tempe tahu yang naik, harga bahan bakar minyak
yang naik, mengapa umat Islam tidak tergerak hatinya untuk melakukan
demonstrasi menuntut tegaknya daulah dan syariah Islam di Indonesia? Padahal
daulah dan syariah Islam itu jauh lebih berarti bagi umat Islam daripada tempe,
tahu dan bensin.”
Berbicara perjuangan Islam di Indonesia melalui
saluran politik formal [parlemen] melalui partai-partai politik Islam, Ba’asyir
menyiratkan keraguannya, “Tidak ada partai Islam di Indonesia yang lebih hebat
daripada Masyumi. Pemimpinnya cerdas, jujur, sederhana dan Masyumi juga
berkomitmen untuk memperjuangkan Islam melalui konstitusi. Tetapi mengapa tidak
berhasil? Karena Masyumi meninggalkan jalan perjuangan jihad, sehingga akhirnya
kekuatan Masyumi dapat diberangus oleh lawan politiknya.” Ba’asyir melanjutkan,
“Itulah yang terjadi ketika umat Islam meninggalkan jalan jihad, maka
orang-orang kafir akan dengan mudah memukul umat Islam. Coba anda lihat
orang-orang Islam yang mendapatkan penindasan dari orang kafir di negara-negara
lain seperti Rohingnya Myanmar, Bosnia, Pattani Thailand. Mereka yang ditindas
oleh orang-orang kafir karena mereka pernah meninggalkan jihad, tanpa adanya
jihad maka umat Islam hanya akan menjadi sasaran penindasan orang-orang kafir.”
Arah perbincangan kembali kepada kondisi perjuangan
Islam di Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir berpendapat bahwa jihad di Indonesia
hukumnya adalah fardhu ‘ain dimana setiap muslim secara individu wajib
untuk mengupayakan perjuangan jihad sesuai dengan kemampuannya. “Jihad di
Indonesia ini sudah sampai pada kondisi hukum fardhu ‘ain, karena umat
Islam sekarang sedang ditindas oleh penguasa. Dari masa kekuasaan Soekarno
hingga Yudhoyono saat ini, umat Islam di Indonesia masih hidup dalam penjajahan
dikarenakan penguasa negerinya tidak mau menjadikan syariah Islam sebagai
landasan bernegara. Untuk menegakkan syariah Islam di Indonesia dibutuhkan
sebuah daulah Islam, oleh karena itu jihad dalam rangka menegakkan daulah dan
syariah menjadi fardhu ‘ain untuk dilakukan oleh setiap muslim di
Indonesia”, ungkap Ba’asyir.
Sebelum menutup perbincangan diakibatkan adanya
rombongan kedua yang ingin mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir, dia memberikan
kepada para pengunjung masing-masing empat buah buku yang ditulisnya selama di
dalam penjara. Buku ini adalah karya pemikiran Ba’asyir yang kemudian
disebarluaskan oleh para anggota Jamaah Ansharu Tauhid kepada para pengunjung
yang mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir. Empat judul buku tersebut masing-masing
menjelaskan uraian pemikiran Ba’asyir mengenai Islam, Jihad, Daulah, Tauhid dan
berbagai konsep-konsep penting lainnya. Empat judul buku Ba’asyir tersebut
adalah : 1. Tadzkirah : Nasehat dan Peringatan Karena Allah, 2. Meluruskan
Makna Kalimat Tauhid, Laa Ilaaha Illallah
dan Makna Ibadah, 3. Risalah Tauhid dan Iman, dan 4. Demokrasi adalah
Bisikan Setan yang Berperan Menghancurkan Tauhid & Iman. Buku-buku ini
kemudian diterima oleh kami para pengunjung, untuk membalas pemberian buku ini
penulis sempat memberikan majalah Isra Pusham UII edisi terbaru kepada Abu
Bakar Ba’asyir. Dengan demikian berakhirlah kunjungan penulis di rutan Mabes
POLRI kali ini, dengan membawa empat buku pemikiran karya Abu Bakar Ba’asyir.
Ini akan menjadi satu bahan bacaan yang berharga dalam memahami perkembangan gerakan
jihad di Indonesia tentunya.
[3][3]
http://nasional.tvonenews.tv/berita/view/60941/2012/09/03/dua_teroris_solo_jebolan_ngruki.tvOne