17 Februari 2010

KESEJAHTERAAN PRAJURIT TNI Mewujudkan Rumah Impian Prajurit

Oleh WISNU DEWABRATA

Memiliki sebuah rumah yang layak huni, walaupun kecil dan sederhana, boleh jadi adalah mimpi terbesar Prajurit Kepala Feddy Eko Juniyanto. Ia adalah petugas pengemudi di Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Cilangkap, Jakarta Timur.

Sudah 11 tahun ia mengabdi sebagai prajurit TNI. Masa itu buatnya bukanlah waktu yang sebentar. Namun, satu hal dia masih kerap sesalkan, 11 tahun bekerja masih belum mampu menyediakan tempat tinggal tetap bagi istri dan seorang anaknya yang sekarang berusia empat tahun.

Setiap bulan, Feddy dan istri terpaksa masih harus menyisihkan nyaris sebagian besar dari gaji yang diterima untuk menyewa rumah kontrakan sederhana di kawasan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Ia ingin bisa mengontrak lebih dekat lagi di daerah Cilangkap.

Namun, apa daya, semakin dekat, harga pasaran rumah kontrakan di kawasan Cilangkap kian mahal. Jauh dari jangkauan keuangan Feddy. Padahal, bisa tinggal di dekat kantor adalah kebutuhan utama baginya.
Konduite (performa) kerjanya sangat ditentukan dari situ. Sebagai seorang pengemudi, ia harus bersiap lebih awal menjemput atasannya. Bahkan, kerap kali ia pulang paling akhir, tergantung waktu kerja atasannya tadi. Paling tidak, setiap pagi, pukul 07.00 tepat, dia harus hadir untuk apel pagi.

”Sebelumnya kami mengontrak di Depok. Istri saya dahulu bekerja menjadi buruh pabrik di sana. Setelah tidak lagi bekerja, saya cari kontrakan mendekati Cilangkap. Kepinginnya bisa mengontrak lebih dekat lagi,” ujar Feddy.

Feddy bukan tidak berusaha mencari informasi tentang kompleks perumahan baru. Namun, apa daya, tak hanya letak proyek perumahan baru yang ada terbilang di luar Kota Jakarta, harganya pun jauh dari jangkauan pendapatan bulanannya sebagai seorang prajurit TNI.

Rata-rata, ujar Feddy, pengembang kompleks perumahan baru meminta uang muka sedikitnya Rp 60 juta. Cicilan per bulan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta selama 15 tahun. Nilai itu tentunya tak bisa ”masuk” dengan pendapatan rutinnya setiap bulan, sehemat apa pun dia dan istri berusaha.

Setiap bulan, Feddy membawa pulang pendapatan (take home pay) tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Jumlah itu masih dipotong Rp 1 juta untuk membayar utang di koperasi dan bank. Beberapa waktu lalu ia terpaksa meminjam uang untuk pengobatan orangtuanya yang sakit di kampung.

”Tahun depan anak saya mulai bersekolah. Tak tahu lagi harus bagaimana membagi uang gaji untuk membiayai semua keperluan. Ibaratnya sekarang, saya dan istri benar-benar berhemat, makan seadanya. Prioritas kami untuk membeli susu anak. Selama 11 tahun bertugas, saya masih belum bisa membelikan mereka tempat tinggal,” ungkap Feddy dengan suara lirih.

Pendapatan Feddy setiap bulannya memang langsung habis, bahkan tak lama setelah dia menerima gaji. Meski begitu, ia mengaku tetap mengupayakan semaksimal mungkin agar bisa menabung walau Rp 100.000 per bulan. Tabungan itu untuk berjaga-jaga dalam kondisi darurat.

Biaya ”over garap”

Lantas, bagaimana dengan fasilitas rumah dinas? Feddy hanya menggeleng. Fasilitas rumah dinas yang ada, selain jauh dari tempatnya bertugas, juga masih diisi prajurit TNI aktif lainnya.

Kalau ada peluang untuk masuk dan tinggal di lingkungan rumah dinas, ia mengaku masih harus keluar uang lagi untuk membayar biaya yang kerap diistilahkan uang ”over garap”. Nilainya lumayan besar, mencapai Rp 60 juta.
Uang itu menjadi semacam pengganti ongkos pemeliharaan rumah selama ditinggali penghuni lama dan menjadi semacam kesepakatan bersama. Uang dibayarkan sebelum penghuni lama keluar dari rumah dinas itu.

”Padahal, kalau cuma diberi kesempatan menempati rumah dinas, saya sangat bersyukur. Namanya juga anak buah, saya hanya bisa patuh pada perintah atasan. Sekarang ini saya hanya berharap kebijakan menaikkan remunerasi prajurit TNI bisa segera direalisasi. Kami sangat berharap dengan itu,” ujarnya.

Kebiasaan dan tata cara memberikan uang ”over garap” dari calon pengisi rumah dinas kepada penghuni lama juga diakui Eli Sutianti, istri Sersan Mayor (Mar) Riyanto yang bertugas sebagai prajurit Marinir sejak 1978.
Baru setelah 12 tahun menikah, pada 1993 Eli dan suaminya mampu membeli sebidang tanah di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Ia mengaku pernah juga ditawari masuk dan tinggal di perumahan dinas milik Korps Marinir di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Namun, ia mengaku tidak sanggup membayar uang ”over garap”.
”Waktu itu saya pikir, mendingan uang untuk ’over garap’ disimpan dan nanti dipakai membeli tanah atau uang muka rumah. Kalau dipakai untuk bayar rumah dinas, waktu pensiun nanti kami tidak punya rumah sebab harus keluar,” ujar Eli.

Pasangan itu memiliki dua anak, salah satunya bernama Dwi Yulianti yang menikah juga dengan seorang prajurit Marinir, Prajurit Kepala (Mar) Muryoto. Kepada anaknya, Eli juga menasihati hal serupa, lebih baik menabung dan membeli rumah daripada berharap untuk tinggal di rumah dinas.

Sekarang Eli tinggal di rumah dengan tanah seluas 90 meter persegi. Lahan itu ia beli secara bertahap dari pemilik lama, mulai dari harga tanah Rp 60.000 per meter persegi, Rp 80.000 per meter persegi, hingga merangkak menjadi Rp 100.000 per meter persegi.

”Kalau dahulu bisa disiplin menabung karena kondisinya tak seperti sekarang. Pasar atau mal di mana-mana. Dahulu saya tak pernah keluar jauh-jauh dari rumah. Belanja pun paling sebulan sekali. Jadi bisa nabung walau gaji Bapak tahun 1981 cuma Rp 28.000,” kenang Eli.

Eli dan Feddy hanya cermin dari betapa persoalan kesejahteraan prajurit TNI memang masih saja memprihatinkan. Seiring berjalannya waktu, pemerintah tidak kunjung mampu mencukupi kesejahteraan prajurit mereka, terutama yang berpangkat rendah.

Padahal, sebagai prajurit TNI, mereka dituntut berkorban bagi bangsa dan negara ini. Tidak hanya mengorbankan tenaga, tetapi juga nyawa.

Teramat sulit membayangkan seorang prajurit TNI berlatih dan bekerja mempertaruhkan nyawa, sementara pada saat bersamaan dia juga harus berpikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk membeli susu bagi anak-anaknya atau memperpanjang kontrakan rumah tempat dia dan keluarga tinggal.

Pemerintah seharusnya tidak sekadar memikirkan cara bagaimana mencukupi kebutuhan rumah dinas prajurit TNI. Akan jauh lebih baik jika pemerintah mencari cara meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI, khususnya yang berpangkat rendah, sehingga kebutuhan primer mereka bisa terpenuhi.

Rumah tinggal milik sendiri yang dapat menjadi tempat bernaung dan berlindung permanen bagi prajurit TNI beserta keluarga mereka. Itulah harapan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar