24 November 2009

Motif Sri Mulyani dan Boediono cari kekuasaan

JAKARTA - Ekonom senior Dr Rizal Ramli mengatakan, dalam kasus Bank Century kepentingan Sri Mulyani (SM) yang saat itu menjabat menteri keuangan dan Boediono (B) yang saat itu gubernur Bank Indonesia, bukanlah uang, tetapi iming-iming kekuasaan.

"Pengambil kebijakan Century Gate (B & SM) motifnya tidak uang, sama dengan kasus Bank Bali dan Gub BI dkk. Motifnya kekuasaan. Untuk itu dilanggar berbagai UU dan Peraturan untuk memperkaya orang lain (tindakan pidana)," ujar Rizal Ramli kepada Harian Terbit, Selasa (24/11).

Jadi, lanjut mantan Menko Perekonomian ini, kampanye SM dan B tentang reformasi birokrasi, transparansi dan good governance hanyalah slogan kosong. Tentu dicoba diberikan alibi bahwa kalau Century tidak ditolong (bail-out) akan berdampak sistemik. Namanya juga alibi, mudah sekali dipatahkan.

"Skandal Century adalah skandal keuangan paling besar setelah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satu faktor kejatuhan Habiebie karena skandal Bank Bali Rp 900 M), Gus Dur dugaan sogokan Rp 35 M ke tukang pijat, atau dana yayasan BI 100 M. Century Gate jauh lebih dahsyat dan merugikan negara (Rp 6.7 T)," papar Rizal.

Soal iming-iming kekuasaan juga terjadi pada kasus Bank Bali. Gubernur BI ketika itu adalah tokoh bersih, tidak menerima uang sepeser pun. Tetapi karena ada iming2 akan diangkat kembali utk 5 tahun, berikutnya, dilakukanlah pembayaran tagihan inter-bank Rp 900 M tanpa verifikasi. Tidak ada motif uang, hanya iming-iming kekuasaan.

"Gubernur dan Deputy-deputy BI berikutnya juga tidak menerima uang, tetapi ingin mengamankan fungsi pengawasan yang basah (yang paling rawan) dalam amendemen UU BI. Karena ada usulan agar fungsi pengawasan tersebut dicabut dari BI sehingga BI hanya mengawasi kebijakan moneter dan kredit seperti halnya di Prancis maupun Inggris. Untuk mengamankan itu, digunakan 100M untuk menyogok anggota DPR," uajr Rizal.

Pada kasus Century dan Bank Bali para pejabat BI dan tidak menerima uang utk pribadi. Motifnya kekuasaan pribadi atau lembaga dgn cara merugikan negara dan memperkaya orang lain (terkena UU anti korupsi) dan menabrak undang2, aturan dan good governance.

Rizal mengatakan, personal integrity tidak selalu sama dengan public integrity. Dalam banyak kasus, kerugian akibat tidak adanya public integrity dan kesalahan kebijakan jauh lebih significant dan merusak.

Menurutnya, ada argumen keblinger yang mengatakan bahwa di Amerika saja ada bail out, apalagi Indonesia. Di Amerika bail out tidak ada kongkalikong antara pejabat dgn perusahaan yangg dibail out. Di Indonesia sebaliknya, ada kongkalikong yg kental sekali seperti pada kasus BLBI, Bank Bali dan Century.

Di Amerika, baik Federal Reserve maupun pemerintah Amerika diuntungkan dari bail out. Sebagai contoh Fed untung dari bunga pinjaman darurat (Libor+3%) yg diberikan kepada Lembaga Keuangan. Pemerintah Amerika membail-out Citi Bank sebesar $US 320 milyar, dan sebagai gantinya mendapatkan saham seharga $US 0,97/saham.

"Jika saat ini, pemerintah Amerika menjual saham itu, mereka akan untung 300 % (saat ini harga saham CitiBank $US 4an/saham). Di Indonesia, bail out bank-bank tahun 1998, negara dirugikan ratusan trilliun rupiah, dan hal ini akan menjadi beban rakyat Indonesia sampai 30 tahun mendatang. Kerugian besar juga akan dialami Bank Century. Kerugian-kerugian sangat besar tersebut terjadi karena adanya kongkalikong, tekanan penjualan firesales oleh IMF (1998) dan keteledoran pengambil keputusan," ungkap Rizal.

Mantan kabulog ini mengatakan, tahun lalu, seorang Menkeu menerbitkan obligasi dollar dengan bunga sangat tinggi hingga mencapai 13%. Meskipun saat ini sudah turun tapi masih tinggi, 10%. Bunga itu sangat tinggi karena swasta Adaro bunganya hanya 7,625%, dan PLN berhasil menerbitkan obligasi dengan suku bunga lebih rendah.

Padahal, lanjut Rizal, seharusnya suku bunga obligasi pemerintah lebih rendah. Dengan selisih bunga 3%, kerugian negara nyaris $300 juta untuk pinjaman senilai $1 milyar dengan jangka waktu 10 tahun.

"Pertanyaannya, apakah si Menkeu sedemikian bodohnya atau ada 'kepentingan'? Jawabannya hanya bisa didapatkan jika dilakukan legal dan finansial audit, tetapi apapun negara sangat dirugikan."

Rizal menegaskan, dalam kasus BLBI dan Century Gate, jelas sekali para ekonom neoliberal sangat kikir untuk rakyat, pengembangan teknologi dan lain-lain, tetapi sangat boros jika menyangkut sektor finansial. Pelaku pengambil kebijakan Century dan BLBI masih orang-orang yang sama. Istilahnya residivis.  (negara)

Sumber: Harian Terbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar