23 November 2009

MAFIA PERADILAN Dari Recehan sampai Miliaran

Senin, 23 November 2009

Cerita tentang mafia peradilan bukan dongeng belaka. Gambaran karut-marutnya dunia hukum di Indonesia itu terjadi di banyak tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga rumit, melibatkan recehan hingga uang miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi pemain di dalamnya.

Tawaran permainan uang secara sederhana dikisahkan Nugroho kepada Kompas, Sabtu (21/11). Sekitar sembilan tahun lalu ibunya yang berprofesi sebagai pedagang diciduk polisi dengan tuduhan menadah barang curian.

Sri, ibu Nugroho, kebetulan mendapat tawaran sepatu dengan harga ”cuci gudang” alias obral dari seorang sales. Namun, sepekan setelah transaksi terjadi, polisi datang ke rumah Sri bersama si sales. Ternyata sepatu yang dijual sales tersebut adalah sepatu curian!

Esoknya, Sri diminta datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan kemudian menandatangani surat berupa blangko yang diisi tulisan tangan.

Sri, sebagai masyarakat yang tidak paham hukum dan malu dikaitkan dengan persoalan hukum, ingin cepat-cepat menyelesaikan pemeriksaan. Akibatnya, tanpa dibaca, surat yang disodorkan polisi ditandatangani. Ternyata surat itu menyebutkan Sri sebagai tersangka, dikenai pasal 480 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Penadahan.

Sri mempertanyakan status tersangka itu hingga oknum polisi menawarinya untuk berdamai. Sri harus menyediakan uang Rp 20 juta agar statusnya dapat berubah menjadi saksi. Tanpa uang, Sri akan terus menjadi tersangka dan diseret ke pengadilan. Setelah melalui proses tawar-menawar yang alot, akhirnya tercapai ”harga damai” Rp 7 juta.

Kenapa Sri memutuskan meladeni permintaan uang itu? Alasannya, jika maju ke pengadilan, akan menghabiskan lebih banyak waktu, lebih banyak uang, dan lebih banyak malu.

Dipermainkan

Tak pernah terbayang dalam pikiran Wijaya—bukan nama sebenarnya—salah satu pimpinan perusahaan telekomunikasi swasta nasional, berhubungan dengan polisi.
Urusan ini bermula ketika laki-laki keturunan Tionghoa itu didatangi calon investor yang mengaku memiliki uang Rp 80 miliar hingga Rp 100 miliar.

Calon investor itu ingin membeli perusahaan Wijaya. Lantas si calon investor itu bertanya-tanya tentang data perusahaan, termasuk pernah bersengketa ataukah tidak.

Wijaya mengakui, perusahannya pernah terbelit sengketa yang sebenarnya sudah selesai secara substansi. Menanggapi hal itu, si calon investor—yang mengaku kenal pejabat tinggi di kepolisian dan kejaksaan—menawarkan bantuan menyelesaikan sengketa itu. Wijaya tergoda sehingga menyerahkan pengurusan perkara sengketa tersebut ke calon investor.

Alih-alih perkara selesai, Wijaya malah dipusingkan dengan perkara pidana baru yang tiba-tiba saja muncul. Ia memercayakan pengurusan ini kepada calon investor. Wijaya terpaksa mengeluarkan uang Rp 4 miliar untuk si calon investor dan Rp 13 miliar untuk mengurus kasus.

Lama-lama Wijaya sadar bahwa dirinya dipermainkan. Si calon investor ini sebenarnya ingin mencaplok perusahaannya tanpa melalui proses jual beli. ”Dia ini canggih sekali. Ia tidak hanya memfasilitasi penyelesaian kasus, tapi bisa membuat kasus,” ujarnya.

Mengakar ke mana-mana

Advokat Petrus Selestinus mengungkapkan, praktik-praktik semacam itu lazim terjadi di dunia penegakan hukum Indonesia. Bahkan, ada juga oknum pengacara yang dekat dengan jaksa dan polisi sehingga seolah-olah menjadi ”rekanan” penegak hukum itu. Tersangka atau saksi yang diperiksa di kejaksaan atau kepolisian disarankan memakai jasa pengacara itu.

Sebaliknya, oknum pengacara itu melakukan lobi-lobi kasus, menawarkan ataupun diperalat oleh penegak hukum untuk mengatur uang dari klien. Model-model tawaran bantuan yang diberikan bermacam-macam. Ada paket menghentikan status tetap sebagai saksi dan tidak menjadi tersangka, tersangka tetapi tidak ditahan, upaya agar kasus tidak sampai ke penuntutan, dan sebagainya.

Tarifnya beragam, tergantung dari kemampuan orang yang terkena masalah hukum, mulai dari jutaan rupiah hingga puluhan miliar rupiah.

Menurut Petrus Selestinus, makelar kasus ini beroperasi hampir di semua lembaga penegak hukum, baik polisi, jaksa, pengadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun komisi hukum DPR. ”Bahkan, jangan lupakan juga di Badan Pemeriksa Keuangan terkait penerbitan hasil audit tentang ada tidaknya kerugian negara,” kata Petrus.
Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Sementara KPK, membantah tudingan itu.

Satjipto Rahardjo, guru besar emiritus sosiologi hukum Diponegoro, Semarang, menyebutkan, salah satu peluang terciptanya mafia peradilan adalah banyaknya telinga di sekitar pengambil putusan dan proses pengambilan putusan. Misalnya, saat munculnya advis—yang bisa menunjukkan arah putusan—sesudah majelis hakim berunding tentang putusan. Para pemilik telinga, antara lain asisten, juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang berkepentingan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy kepada wartawan, Jumat (20/11), mengakui, ada banyak cara yang digunakan makelar kasus untuk memengaruhi proses penanganan perkara, misalnya agar proses penyidikan diperlama. Namun, Marwan menjamin, ia telah menegaskan kepada anak buahnya agar mempercepat penanganan perkara.

Ketua Muda (MA) Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali menyatakan, MA sudah serius mengawasi hakim dan aparat pengadilan. Sepanjang tahun 2009, sebanyak 74 hakim dijatuhi sanksi.
Kini, kembali pada niat untuk membersihkan institusi hukum dari mafia peradilan. Bersihkan dan jangan menutup mata! (susana rita/dewi indriastuti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar