16 Februari 2015

Dari Sesaji ke Siap Saji

FESTIVAL JENANG

Ketika Susuhunan Paku Buwono II boyongan (pindah) dengan segenap warganya dari Kerajaan Kartasura menuju Desa Sala dan mendirikan Kerajaan Surakarta tahun 1745, arak-arakan membawa sesaji (ubo rampe). Itu termasuk 17 jenis jenang, penganan bertekstur halus dan lunak.
Jenang yang lekat dengan simbol doa dan harapan kini tak hanya menjadi sesaji atau penganan tradisi, tetapi berkembang dalam aneka kreasi.

Ngatini (55), warga Kelurahan Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, Jawa Tengah, mendampingi cucunya, Galih (5), yang menunggu jenang sumsum yang tengah dimasak di pelataran Ngarsopuro, Solo, Minggu (15/2). Jenang sumsum bersama jenang kacang hijau, ketan hitam, mutiara, dan kreasi jenang bahari dimasak bersamaan dalam lima kuali besar pada pembukaan Festival Jenang Solo 2015.

Festival Jenang Solo berlangsung selama tiga hari, hingga Selasa besok, saat perayaan HUT Ke-270 Kota Solo. Sebanyak 32.000 takir (pincuk, wadah dari daun pisang) jenang akan dibagikan gratis kepada warga Solo di koridor Ngarsopuro, sekaligus untuk memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia dalam pembagian jenang terbanyak. Sebanyak 20 jenis jenang akan disajikan, termasuk jenang bahari, yaitu bubur yang disajikan dengan ikan, potensi kelautan Indonesia.
Juru masak, juga siswa dari beberapa sekolah, ikut memasak jenang di kuali besar itu. Beberapa siswa SMP dilibatkan dalam memarut kelapa yang dibuat santan untuk kuah jenang. Warga yang tengah menikmati hari tanpa kendaraan bermotor di Jalan Slamet Riyadi dengan sabar menunggu jenang masak dan dibagikan gratis.

”Cucu saya suka sekali jenang sumsum. Saya sering membuat dan sering mendapatkan dari tetangga atau saudara. Biasanya, kalau ada orang usai mantu (menikahkan anak), jenang sumsum dibagikan kepada yang rewang (membantu) agar sumsum dan tulangnya kembali sehat dan kuat. Seperti itu maknanya,” ungkap Ngatini.

Selain jenang sumsum, Ngatini mengatakan masih kerap mendapat jenang abang-putih (merah-putih), yang dibuat dari beras. Untuk jenang abang, resep jenang putih ditambah dengan gula merah atau gula jawa untuk memberi warna merah (coklat). Jenang jenis ini biasanya dibuat saat selamatan.
”Jenang munculnya hanya pada saat-saat khusus. Namun, banyak juga yang sekarang dijual di pasar, seperti jenang kacang hijau, ketan hitam, jenang candil, jenang pathi (dibuat dari tepung kanji), atau jenang lemu (bubur beras yang dimakan dengan lauk-pauk atau sayur). Jadi mudah mencarinya,” katanya.

Yudhono (55), warga Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, pun sengaja datang ke Jalan Slamet Riyadi, Solo, Minggu, mengikuti Festival Jenang. Ia bersiap dengan membawa beberapa kotak makanan dari plastik.

”Setiap tahun saya selalu datang dan membawakan jenang untuk anak dan cucu. Mereka suka sekali. Lagi pula ini gratis. Sekeluarga, kami sangat suka jenang, enak rasanya, di perut nyaman,” tuturnya.

Inisiatif warga
 
Ketua Festival Jenang Bahari Mayor Haristanto mengatakan, festival itu diadakan sejak 2012 di Solo untuk mengangkat pamor jenang yang sebelumnya merupakan penganan sesaji. Jenang, ke depan, diharapkan, seperti makanan lain, dapat menjadi penganan yang umum, dicari banyak orang, dan menjadi bagian dalam industri makanan.

Setiap tahun, Festival Jenang diadakan murni dari inisiatif warga Solo. Kaum ibu yang tergabung dalam pembinaan kesejahteraan keluarga di 51 kelurahan di lima kecamatan bersama-sama menyumbang jenang. Jenang itu lalu dibagikan gratis kepada seluruh warga Solo.

Warga juga diajak mengikuti lomba kreasi jenang yang akan berlangsung pada Senin ini.
”Semangat festival ini adalah memberi, berbagi, dan untuk berkreasi. Kami juga mencoba membuat kreasi jenang baru. Tahun ini temanya jenang bahari, yaitu bubur yang disajikan dengan ikan. Kreasi jenang dalam bentuk lain bisa saja muncul,” papar Mayor.

Tema bahari diambil berdasar pada kekayaan laut Indonesia, yaitu potensi ikan yang berlimpah. Di sisi lain, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal, ikan merupakan sumber protein yang sangat berguna untuk pertumbuhan. Jenang kali ini coba dikreasikan dengan ikan agar manfaat ikan turut tersosialisasi.

Mayor mengatakan, jenang bukan hanya milik orang Jawa. Banyak daerah di Indonesia memiliki penganan serupa meski dengan nama berbeda sehingga jenang juga merupakan kekayaan Nusantara yang harus dilestarikan. Festival Jenang bertujuan mengingatkan kembali akan kekayaan tersebut.

Perekat warga
 
Meski jenang dapat dibeli di pasar atau dibuat sendiri, dalam Festival Jenang warga berdatangan dan bertemu. Jenang, yang bertekstur lengket, seakan jadi perekat kebersamaan dan silaturahim antarwarga.

Kebersamaan itu pula yang dirasakan Murni Rejeki (57), warga Danukusuman, Kecamatan Serengan, Solo. Ia ikut membuat jenang untuk 17 Februari mendatang. Kaum ibu di kelurahannya diberi jatah membuat jenang mutiara dan jenang sumsum. Dana pembuatan sebagian disubsidi pihak kelurahan sebesar Rp 300.000. Sisa dana yang diperlukan diambil dari uang kas.

”Jenang nanti kami sajikan dengan pincuk. Kami (ibu-ibu) akan jarikan (mengenakan kebaya dan kain) dan gelungan (memakai konde). Kegiatan ini hanya setahun sekali, tetapi sangat menggembirakan. Saya senang orang-orang menikmati jenang yang kami buat,” ujarnya.
Menurut Dewan Pengawas Yayasan Jenang Indonesia, Gusti Pangeran Haryo Dipokusumo, jenang adalah salah satu simbol yang digunakan orang Jawa untuk menyampaikan pesan. Pembuatan jenang procotan, misalnya, membawa pesan bahwa ada seorang ibu yang bakal melahirkan. Jenang dipercaya bisa memperlancar proses kelahiran.

Tujuh belas jenis jenang yang dibawa saat pindahan keraton ke Surakarta pun mengandung pesan kebaikan seluruhnya.
Oleh:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar