25 Agustus 2009

Melawan Ritual Bom Bunuh Diri

Fenomena bom bunuh diri seperti di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton bukan teknik baru dalam aksi teroris di Indonesia. Sejak serangan pertama, bom Bali I tahun 2002, strategi ini terus digunakan.

Bagi kelompok teroris ini, kematian bukan sesuatu yang dihindari, justru dicari. Pertanyaannya, bagaimana melawan terorisme bila kematian sudah menjadi tujuan? Mampukah represi fisik dan strategi militer menaklukkan terorisme?

Dari Iran ke Indonesia

Pakar politik Islam seperti Rola El Husseini dan Gilles Keppel mengatakan bahwa strategi bom bunuh diri yang digunakan para Islamist saat ini dapat dirunut dari Perang Iran-Irak, 1980 hingga 1988.

Strategi bunuh diri diperkenalkan pertama kali tahun 1980 oleh kelompok paramiliter Basidji Iran melawan pasukan Irak yang didukung Barat dan Arab Saudi. Strategi ini bukan bom bunuh diri belaka, tetapi segala aksi pengorbanan diri membunuh musuh sebanyak mungkin dan melindungi kepentingan yang lebih besar. Kelompok Basidji Iran ini terdiri dari ratusan ribu sukarelawan yang siap menjadi pelaku bom bunuh diri dan pagar manusia di perbatasan Iran-Irak.

Para ulama Syiah Iran, seperti Ayatullah Ruhullah Khumaini, mengidentikkan perang melawan Irak seperti perang melawan Bani Umayyah di Padang Karbala, 680 M, ketika Hussein bin Ali dibunuh Yazid bin Mua’awiyah. Maka, kematian dalam Perang Iran-Irak setara dengan kematian Hussein, yang mereka sebut shahid al-shuhada, puncak kematian yang mulia.

Dalam keyakinan Syiah Iran, Perang Iran-Irak merupakan kesempatan mencapai kematian shahid layaknya kematian Hussein. Dengan bantuan pasukan Pasadran Iran, strategi bunuh diri diadopsi Hezbollah Lebanon.

Sejak 1990-an Hezbollah mulai melancarkan serangan bunuh diri untuk melawan pendudukan Israel di wilayah Lebanon selatan. Pada saat inilah sebagian warga Palestina yang diusir tentara Israel ke Lebanon selatan menyaksikan serangan bunuh diri yang dilakukan Hezbollah.

April 1993, warga Palestina yang dimotori Hamas mulai melancarkan serangan bunuh diri untuk melawan Israel. Serangan bunuh diri lalu populer di kalangan rakyat Palestina dan Lebanon. Fenomena bunuh diri ini lalu kian populer dan memberi inspirasi berbagai kelompok radikal Islam, khususnya alumni perang Afgan (1980-1988) yang sudah kembali ke negara masing-masing, termasuk Indonesia.

Para alumnus Afgan ini lebih mudah mengadopsi strategi bunuh diri karena pengalaman mereka dalam perang Afgan, seperti penggunaan senjata dan tingkat penguasaan keilmuan Islam yang lebih matang yang memungkinkan mereka merekrut sukarelawan bom bunuh diri. Melalui mereka, serangan bom bunuh diri muncul di Indonesia, diawali bom Bali I, 12 Oktober 2002.

Fondasi ritual

Dibandingkan dengan strategi bunuh diri kelompok lain, seperti kamikaze Jepang dan kelompok sukarelawan bunuh diri Hindu, strategi bunuh diri kelompok Islam mempunyai fondasi lebih kokoh dan bertahan lebih lama karena beberapa faktor.

Pertama, dibangun berdasar gabungan nilai-nilai agama dan humanisme, seperti surga, menegakkan kalimah Allah, dan jihad, yang disatukan dengan nilai keadilan, kesamaan, dan anti-imperialisme.

Kedua, konsep ini lahir dalam situasi perang, di mana kelompok Islam ada di pihak yang lemah dan tertindas sehingga rasionalitas dan emosi mudah untuk menerima konsep serangan bunuh diri sebagai alat untuk melawan ketidakadilan.

Ketiga, konsep ummah atau kesatuan masyarakat Islam yang memungkinkan konsep lokal menjadi global.

Keempat, pemimpin karismatik yang menyebarkan justifikasi bunuh diri tanpa mendapat resistensi subyektif dan obyektif dari individu, lalu menjadi sebuah ritual.

Maka, ritual bunuh diri bukan semata-mata fenomena politik. Ia lebih sebagai hasil proses sosial keagamaan. Karena itu, pendekatan politik dan militer harus disertai pendekatan sosial keagamaan yang dimainkan para tokoh masyarakat dan ulama.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia menggandeng para ulama, termasuk kelompok yang selama ini dianggap radikal, untuk melawan ideologi bunuh diri. Alasannya, mereka menguasai bahasa-bahasa agama dan humanisme sekaligus mempunyai karisma untuk menjaga umat dari pemahaman ideologi agama yang sesat dan berbahaya.

Oleh Munajat Pengasuh Ponpes Ya Qoumi STAIN Salatiga; Sedang Menempuh Program S-3 Bidang Sosiologi, Konsentrasi Political Violence and Terrorism di Texas A&M University, AS

Selasa, 25 Agustus 2009 | 02:45 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar