25 Agustus 2009

Mempersoalkan Logika Oposisi

Hiruk pikuk oposisi dan koalisi semakin gencar dengan semakin dekatnya pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pembentukan kabinet. Yang menjadi perhatian utama tidak lain adalah posisi Golkar dan PDI-P yang, dalam pemilihan lalu, para petingginya sangat gencar mengecam visi dan kebijakan presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono.

Kemungkinan Golkar merapat ke kubu Yudhoyono terbuka lebar sejalan dengan besarnya peluang Aburizal Bakrie merebut posisi ketua umum Partai Golkar. Kemungkinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meninggalkan posisi oposisi pun terbuka dengan semakin jelasnya keinginan beberapa petinggi PDI-P yang mendorong partainya merapat ke Yudhoyono.

Seiring dengan semakin tingginya kecenderungan Golkar dan PDI-P merapat ke kubu Yudhoyono, semakin banyak pula kritik terhadap kemungkinan tidak adanya oposisi yang signifikan dalam pemerintahan lima tahun mendatang.

Dasarnya adalah kekhawatiran bahwa tanpa adanya oposisi, tidak akan ada mekanisme akuntabilitas horizontal atau check and balances dalam pemerintahan. DPR hanya akan sekadar menjadi stempel pemerintah dan tidak akan ada pelaksanaan kontrol yang efektif.

Sayangnya, kondisi politik Indonesia sangat tidak memungkinkan munculnya kekuatan oposisi riil. Apalagi berdasarkan pengalaman pemilu yang lalu ketika PDI-P yang setia menjadi oposisi selama lima tahun terakhir justru menurun kinerja elektoralnya dalam pemilu legislatif 2009.

Oposisi asal kritik

Kenyataan yang ada adalah partai-partai politik kita minim tawaran dan gagasan kebijakan yang unik. Antara partai yang satu dan yang lain tidak ada perbedaan mendasar, ideologi maupun kebijakannya. Hampir semua partai menempatkan diri pada posisi yang ”aman” atau ”sentris”.

Dalam realitas politik yang demikian, ketika sebuah partai dipaksa menjadi oposisi, apa yang akan menjadi basis untuk mengkritik pemerintah dan kebijakannya? Yang terjadi justru adalah bukan oposisi kritis, tetapi malah oposisi yang ”asal” kritik.

Tanpa memiliki gagasan yang unik dan berbeda, kritik oposisi terhadap pemerintah hanya akan didasarkan pada kepentingan politik belaka. Mendorong oposisi yang dimulai pada sekadar gagasan yang ”normatif” tanpa perubahan mendasar dari karakter partai politik hanya akan memunculkan oposisi yang ”asal” kritik.

Realitas kedua adalah masih terbukanya ruang bagi partai pendukung pemerintah untuk kritis. Jika Yudhoyono serius membangun pemerintahan yang kuat, berarti ia bukan hanya berpikir untuk membangun pemerintahan yang efektif dan cepat dalam pembuatan kebijakan. Ia juga akan berpikir bagaimana membuat kualitas substansi kebijakan makin yang baik.

Untuk memperbaiki kualitas substansi kebijakan, perlu keterbukaan Yudhoyono menerima masukan dan kritik dari mitra koalisinya. Dalam konteks ini, posisi oposisi maupun koalisi menjadi tidak terlalu berbeda. Partai-partai koalisi akan diberikan ruang untuk memberikan masukan dan kritik terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Yang membedakan antara oposisi dan koalisi hanyalah akses terhadap posisi di kabinet.

Realitas ketiga adalah adanya ruang bagi partai koalisi untuk meninggalkan koalisi. Kapan saja partai melihat pemerintah yang didukungnya sudah tidak lagi populer di mata rakyat akan sulit bagi pemerintah, dalam hal ini Yudhoyono, untuk betul-betul dapat menghalangi partai koalisi untuk meninggalkannya. Kecairan seperti ini juga yang mendorong Yudhoyono saat ini membangun koalisi sebesar-besarnya.

Dalam tiga realitas politik di atas sangat tidak logis jika sebuah partai memilih berada di luar pemerintahan apa pun kepentingannya. Jika ia berkepentingan memperoleh akses kekuasaan, atau jika ia berkepentingan menjalankan fungsi kontrol, atau jika ia punya kepentingan politik jangka panjang misalnya Pemilu 2014, semuanya dapat terakomodasi dengan menjadi mitra koalisi pemerintah.

Ancar-ancar ke depan

Untuk mendorong kontrol, tak perlu melulu lewat oposisi. Apalagi dalam konteks politik Indonesia, sangat tak logis dan kondusif bagi partai untuk menjadi oposisi. Bukan tak mungkin bahwa fungsi kontrol oposisi dilakukan dari dalam koalisi, apalagi jika pemerintah serius membangun pemerintahan yang kuat.

Membuat situasi yang kondusif untuk oposisi yang kritis harus dimulai dengan mengubah fundamen politik kita: harus ada sistem kepartaian dengan sekat dan garis ideologi yang jelas antarpartai. Tanpa sekat dan garis ideologi yang jelas di antara partai, oposisi yang muncul hanyalah oposisi yang asal bunyi ketika mengkritik pemerintah.

Satu hal yang perlu dicatat PDI-P dan Partai Golkar. Belajar dari pengalaman periode pemerintahan kemarin, menjelang pemilu 2014 partai-partai pendukung Yudhoyono akan menghadapi dilema seperti yang dihadapi Golkar kemarin.

Jika pemerintahan lima tahun ke depan berhasil, akan sangat sulit bagi Partai Golkar dan PDI-P untuk keluar dari bayang-bayang Demokrat. Jadi, bukan tidak mungkin jika Yudhoyono berhasil merangkul Golkar dan PDI-P, dan jika pemerintahannya dianggap berhasil oleh rakyat, Demokrat akan tetap menjadi partai terkuat dalam Pemilu 2014.

Sunny Tanuwidjaja Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University

Selasa, 25 Agustus 2009 | 02:57 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar