25 Agustus 2009

Pidato Presiden dan Kursi Kosong

Pidato kenegaraan Presiden dihadiri oleh 195 kursi kosong. Perlu ada sanksi untuk mereka yang absen tanpa alasan jelas.
Tingkah polah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terutama angkatan yang terakhir ini, semakin membuat kita takjub. Ada yang terkena kasus korupsi, bahkan ada yang masih mendekam di penjara, ada yang diduga menerima suap, dan sekarang ada lagi tingkah terbaru anggota DPR yang memalukan. Acara pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua pekan lalu ternyata dihadiri oleh kursi-kursi yang kosong. Dari 550 anggota DPR, hanya 355 anggota yang hadir. Artinya, saat Presiden membacakan pidato tahunannya yang penting itu, ada 195 kursi yang kosong melompong.

Ini bukan saja sekadar peristiwa yang mengecewakan, tetapi membuat wajah parlemen kita semakin buruk. Sebagai wakil rakyat yang dipilih untuk mewakili aspirasi masyarakat, yang digaji oleh rakyat, seharusnya mereka tetap menyelesaikan tugasnya hingga masa bakti berakhir. Nyatanya, setelah pemilu legislatif berlangsung, anggota DPR mulai banyak yang menghilang.

Harus diingat, dalam Tata Tertib DPR Bab II tentang kedudukan, susunan, fungsi tugas, dan wewenang, disebutkan bahwa anggota DPR diberi tugas menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Artinya, kehadiran mereka untuk mendengarkan pidato kenegaraan Presiden tentang RAPBN adalah bagian dari tugas, bukan sekadar ritual.

Jadi, peristiwa absennya sebagian anggota DPR dalam pidato kenegaraan Presiden Yudhoyono tentang RAPBN 2010 itu tak bisa dimaklumi atau dimaafkan. Mana mungkin 195 orang sama-sama jatuh sakit atau sama-sama berhalangan atau sama-sama kakinya bengkak. Memang ada yang mengaku datang terlambat, ada yang beralasan ke luar kota untuk menemui konstituen. Apa pun alasannya, pidato Presiden ini seharusnya menjadi prioritas. Jika menuntaskan pekerjaannya sebagai wakil rakyat hingga akhir masa baktinya saja mereka tak bisa, lalu kepada siapa lagi kita bisa menaruh kepercayaan?

Etika kerja yang luar biasa buruk ini seharusnya mendapat perhatian penuh dari Ketua DPR yang sedang memimpin, dan mereka yang absen seharusnya dijatuhi sanksi atau diberi teguran. Meski ini adalah bulan-bulan terakhir masa bakti, tidak berarti mereka bisa bertingkah laku seenaknya dan meninggalkan tanggung jawab. Justru para anggota DPR harus meninggalkan jejak yang bagus dengan menghabiskan sisa tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Menjadi wakil rakyat bukan sekadar untuk mendapatkan gaji dan fasilitas, tetapi untuk bekerja.

Mungkin ada baiknya juga, terutama setelah peristiwa lima tahun terakhir, diadakan sebuah mekanisme untuk mengevaluasi kinerja dan produktivitas anggota DPR secara berkala.

Jika perlu, setiap masa persidangan berakhir, pimpinan DPR membuat pengumuman terbuka tentang kinerja anggota Dewan. Perlu diumumkan secara luas berapa kali mereka absen, mengikuti rapat, berkunjung ke daerah, menemui delegasi yang datang ke Senayan, dan kegiatan lainnya. Rapor semacam ini tidak hanya penting untuk bahan evaluasi bagi partai politik, tapi juga penting untuk rakyat yang memilih anggota DPR tersebut.

Dengan evaluasi itu, siapa tahu kursi-kursi kosong dan berbagai tingkah polah yang buruk ini bisa dieliminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar