26 Oktober 2009

Kerja Keras untuk Tumbuh 7 Persen

Mutlak Fokus pada Sektor Riil

Senin, 26 Oktober 2009 | 03:24 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah akan menggenjot pertumbuhan ekonomi 7 persen atau lebih untuk menampung peningkatan angkatan kerja sekaligus menekan angka pengangguran 9,25 juta orang. Target itu tidak mudah dan perlu kerja keras menghapus hambatan dan memacu sektor riil.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa pekan lalu di Jakarta menegaskan, pertumbuhan tinggi diperlukan untuk menampung penambahan angkatan kerja dan mengurangi angka pengangguran. Per Februari 2009, angkatan kerja bertambah 2,26 juta orang menjadi 113,74 juta orang dibandingkan dengan posisi Februari 2008.

Pertumbuhan ekonomi satu persen hanya bisa menampung 350.00 pekerja. Menurut skenario optimistis Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, perekonomian hanya bisa tumbuh rata-rata 6,9 persen per tahun dalam lima tahun ke depan.

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintah mesti bekerja keras untuk menghapus segala macam hambatan. Masalah utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah ketersediaan energi, infrastruktur yang buruk, dan pembiayaan yang mahal. Belum lagi masalah perpajakan, perburuhan, aturan yang tumpang tindih, yang dikeluhkan banyak investor.

Padahal, pertumbuhan ekonomi tinggi memerlukan investasi asing maupun domestik, yang antara lain dibiayai kredit perbankan. Peran sektor swasta menjadi sangat besar karena semakin kecilnya kemampuan pemerintah membiayai pembangunan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sekitar Rp 1.009,5 triliun, selain untuk anggaran rutin, praktis terkuras untuk membayar utang Rp 113 triliun tahun 2010. Namun, kewajiban membayar utang tersebut diperkirakan menurun menjadi Rp 87 triliun (tahun 2011), Rp 109 triliun (2012), Rp 90 triliun (2013), dan Rp 100 triliun (2014).

Belum lagi tambahan subsidi bahan bakar minyak yang bakal membengkak seiring kenaikan harga minyak mentah dunia yang sudah menyentuh 80 dollar AS per barrel. Beban subsidi bertambah besar lagi dengan naiknya konsumsi BBM terutama di sektor transportasi.

Padahal, menurut Faisal Basri, anggota Tim Ahli Ekonomi Kadin Indonesia, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi itu perlu Rp 2.855 triliun-Rp 2.910 triliun per tahun. Namun, dana yang bisa disediakan pemerintah hanya 13 persen dari kebutuhan. Sebanyak 87 persen sisanya harus dari swasta domestik, yakni bank, nonbank, dan pasar modal, serta swasta asing berupa pinjaman dan investasi langsung.

Berharap investasi swasta termasuk asing, itu tidak gampang. Iklim investasi dinilai tak kunjung membaik secara signifikan, terutama yang terkait masalah keamanan, kepastian hukum, dan aturan yang tumpang tindih. Itu semua membuat risiko investasi dan berbisnis menjadi tinggi.

Menarik asing langsung guna menopang pertumbuhan ekonomi 7 persen atau lebih, diakui Menko Perekonomian Hatta Rajasa, tidak mudah, tetapi tidak mustahil jika ada kebersamaan.

Investasi swasta dalam negeri juga tidak banyak beranjak. Bunga kredit bank tetap mahal, di atas rata-rata 15 persen, sekalipun suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate sudah 6,5 persen. ”Ini juga ulah pemerintah,” ujar Faisal Basri.

Diperkirakan ada uang pemerintah sekitar Rp 200 triliun disimpan di BI. Selain membebani BI, uang ini juga tidak berfungsi sebagai penggerak investasi. Bahkan pengendapan uang pemerintah di BI itu membuat likuiditas pada sistem perbankan berkurang, membuat suku bunga bank tidak turun signifikan.

Memprihatinkan

Hal yang juga memprihatinkan, kondisi sektor riil penyedia lapangan kerja besar terus merosot yang ditandai gejala deindustrialisasi.

Data dari ”Visi 2030 dan Roadmap 2015” menyebutkan, sejak krisis ekonomi (2000-2009), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7 persen. Sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang 5,2 persen. Pertumbuhan sektor manufaktur (tahun 2004-2008) hanya 5,6 persen.

Gejala deindustrialisasi ini juga terlihat dari konsumsi BBM industri yang terus turun sejak tahun 2000. Juga konsumsi listrik industri. Per tahun 2008, peran industri manufaktur tinggal 27,9 persen dari PDB setelah sempat mendekati 35 persen.

Perbankan nasional hanya memberikan 16 persen dari total kredit ke sektor manufaktur, dan lebih condong mengucurkan kredit ke sektor konsumsi dan properti yang berisiko rendah. Akibatnya, pertumbuhan PDB negeri ini sekitar 60 persen didorong sektor konsumsi. Konsumsi mendorong impor yang menguras devisa. Total impor pangan mencapai Rp 55 triliun per tahun, termasuk impor garam sekitar Rp 900 miliar.

Untuk mengejar pertumbuhan 7 persen, pemerintah tak bisa lain harus mengutamakan sektor riil, khususnya manufaktur, pertanian, dan UKM. Manufaktur tak bisa lain revitalisasi industri serta membangun infrastruktur yang kini sangat tidak memadai. Semua itu mengarah pada peningkatan daya serap tenaga kerja.

”Kita juga punya pekerjaan merampungkan revisi UU Ketenagakerjaan dan tersedianya sumber daya manusia yang berkompeten,” ujar Ahmad Safiun, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Industri Logam dan Mesin Indonesia.

Sulit bagi Indonesia masuk ke manufaktur dengan teknologi tinggi tanpa sumber daya manusia andal.

Tugas pemerintah

Pembangunan infrastruktur, menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara, merupakan tugas pemerintah. Itu karena infrastruktur merupakan sarana fisik perdana yang memerlukan biaya besar, dan untuk kepentingan umum. Amat sulit mengharapkan swasta menjadi pionir membangun infrastruktur. ”Untuk merangsang swasta membangun jalan tol, misalnya, tentu saja harus diberi insentif agar hitung-hitungan bisnisnya masuk,” kata Mirza.

Soal penciptaan lapangan kerja, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit memandang perlunya pemerintah memerhatikan sektor pertanian sebagai pendukung kegiatan industri. Saat ini 42 persen angkatan kerja tertampung di sektor pertanian, tetapi kontribusi terhadap PDB hanya 15 persen.

Padahal, kata Anton, dengan majunya sektor pertanian pendukung industri, selain menyerap tenaga kerja, juga meningkatkan pendapatan masyarakat. Nyatanya, pertanian praktis terabaikan. Irigasi yang tak berfungsi optimal mencapai 170.401 hektar. Kondisi ini suatu waktu bisa berdampak pada penurunan pengadaan produk pertanian. Bisa mengancam ketahanan dan keamanan pangan.

(OIN/RYO/OSA/EVY/MAS/FAJ/PPG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar