29 Desember 2009

Kopenhagen dan 26 Persen SBY

Selasa, 29 Desember 2009 | 03:23 WIB

Armi Susandi
Kopenhagen mirip dengan Hamburg! Ini kata pertama yang muncul saat menginjakkan kaki di kota Konferensi Perubahan Iklim PBB 2009. Penduduk Kopenhagen relatif lebih ”hangat” dibandingkan penduduk kota tempat penulis studi di bidang perubahan iklim di University of Hamburg.


Berada di Kopenhagen serasa berada di ”rumah sendiri” dan tidak membosankan. Hari-hari negosiasi di Kopenhagen jauh berbeda dengan kesahajaan kota. Ketegangan, kebosanan, harapan, ”deg-degan”, menerpa negosiator dan peserta lain yang mencapai 15.000 orang, termasuk delegasi Indonesia yang berjumlah 60 orang.
Seminggu sudah berlalu, perundingan menuju drafting text hingga tengah malam. Banyak pihak memperkirakan ”tarik-menarik kepentingan politik negara” akan lebih mengemuka. Saking pentingnya Kopenhagen, tidak kurang dari 50 kepala negara dipastikan akan hadir, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden AS Barack Obama. Presiden Yudhoyono tiba di Kopenhagen pada 17 Desember, ”lebih cepat” satu hari dibandingkan Presiden Obama.

26 persennya SBY di G-20

Keberanian Presiden Yudhoyono mengumumkan penurunan emisi karbon secara sukarela pada G-20 Summit, Pittsburgh, Amerika Serikat, September lalu, membawa ”pengaruh” baru dalam perundingan Climate Change Talk sebelumnya hingga Kopenhagen.
Angka 26 persen dengan upaya sendiri dan angka 41 persen dengan bantuan luar negeri tersebut seakan menjawab tantangan negara maju, khususnya Amerika Serikat, yang mensyaratkan negara berkembang untuk punya target penurunan emisi.

Kepemimpinan Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim kembali ditunjukkan oleh Yudhoyono sebagai seorang presiden di negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. ”Gayung bersambut” dan terbukti dengan keluarnya angka target dari China dan India.

India mengikuti jejak Indonesia dengan angka target penurunan emisi 25 persen pada tahun 2020 dari tingkat emisi tahun 2005. Sementara China dengan target yang lebih tinggi, yaitu 40 persen sampai 45 persen.

Panas bumi

Apakah target sebesar 26 persen itu akan tercapai? Artinya, Indonesia akan menurunkan emisi pada tingkat 0,59 giga ton CO ekuivalen dari total emisi karbon tahun 2020, yaitu 2,95 giga ton CO ekuivalen. Bidang energi akan bertanggung jawab mengurangi emisi 0,03 giga ton CO ekuivalen.

Untuk bidang energi, pemakaian energi panas bumi dan pengembangan energi tenaga air adalah sebagai target utama pemerintah untuk sektor hilirnya, sedangkan sektor hulu melalui upaya pengembangan budaya hemat energi dan pemakaian perangkat hemat energi. Selanjutnya kita lihat apakah target tersebut realistis atau tidak?
Jika diasumsikan keberhasilan program energi di sektor hilir akan mencapai tingkat reducing emisi karbon sebesar 5 persen, dan diasumsikan lagi jika pengembangan energi air berkontribusi sebesar 5 persen emisi karbon sektor energi, maka sisa 90 persen pengurangan emisi karbon akan menjadi beban sektor hulu 0,027 giga ton CO ekuivalen atau 27 juta ton CO ekuivalen dari pengembangan energi panas bumi
Pemerintah mengisyaratkan pengembangan energi panas bumi baru 1.000 MW dari usaha pemerintah dan 2.000 MW dari usaha swasta, total 3.000 MW pada 2020. Target ini sebenarnya masih jauh di bawah target dalam Kebijakan Energi Nasional, yaitu 9.500 MW pada 2025. Pemerintah mencoba lebih realistis!

Proyeksi pengembangan

Dengan pengembangan model ekonometrika untuk kasus panas bumi Indonesia, dengan fungsi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi panas bumi itu sendiri, didapatlah proyeksi pengembangan energi panas bumi Indonesia, seperti terlihat pada Grafik 1.

Terlihat bahwa pengembangan energi panas bumi prospeknya amat bagus di Indonesia dan diperkirakan akan naik sangat tajam mencapai 16.600 MW pada 2100. Sementara 2020 pengembangan energi panas bumi ini akan mencapai 3.100 MW. Akan melebihi target yang ditetapkan pemerintah sebesar 3.000 MW.

Kredit emisi

Pertanyaan berikut adalah, bagaimana dengan potensi pengurangan emisi karbonnya?
Grafik 2 memperlihatkan potensi pengurangan emisi karbon akan mencapai maksimum 20 juta ton CO ekuivalen tahun 2020, itu pun jika diasumsikan semua energi panas bumi diperuntukkan mengurangi batu bara sebagai sumber energi di Indonesia. Masih selisih 7 juta ton CO ekuivalen dan angka ini bukanlah angka yang dapat diabaikan.

Sebelum dibahas lebih lanjut bagaimana usulan solusinya, akan dijelaskan lebih lanjut tentang potensi kredit emisi.
Tidak fair jika tidak dihitung potensi karbon kredit atau CDM (clean development mechanism) dari usaha energi panas bumi tersebut. Co-benefit yang didapatkan yaitu akan diperoleh besaran kredit emisi sebesar 2 miliar dollar AS per tahun pada 2020 dengan asumsi nilai kredit emisi 100 dollar AS per ton karbon tahun 2020. Angka ini akan mungkin lebih besar jika Kopenhagen ”sukses untuk bumi”.

Tantangan di depan

Kembali ke angka 7 juta ton CO ekuivalen, bagaimana mencukupi kekurangannya? Salah satu jalan keluar yang sangat proekonomi Indonesia adalah dengan memanfaatkan hasil jual karbon kredit untuk pengembangan potensi energi terbarukan lainnya, seperti energi matahari, energi angin, biodiesel, dan pemanfaatan energi coal bed methane. Ternyata kebijakan yang prolingkungan mampu mendorong ekonomi sekaligus menunjang pembangunan berkelanjutan.

ARMI SUSANDI Ketua Program Studi Meteorologi ITB; Wakil Ketua Pokja Adaptasi-Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Delegasi Indonesia untuk Kopenhagen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar