Lalu, kenapa Muhammadiyah membela
seseorang yang diduga bagian dari jaringan terorisme? Langkah pembelaan yang
sangat tak populis mengingat pemerintah sedang gencar memaksimalkan agenda
pemberantasan terorisme setelah serangan teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta
Pusat, Januari lalu. Risikonya, tak sedikit kalangan salah memahami posisi dan
kepentingan Muhammadiyah. Tidak terkecuali kepolisian. Nada sumbang pun tak terhindari.
”Selain untuk merawat nilai- nilai
kemanusiaan, kami berkepentingan agar hukum ditegakkan. Muhammadiyah memandang
kasus ini harus diungkap. Hukum harus ditegakkan. Muhammadiyah (sendiri) sudah
lama memandang terorisme dan kekerasan atas nama agama merupakan sesuatu yang
merusak kehidupan,” begitu jawab Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam
satu wawancara dengan wartawan.
Tampaknya, perkembangan advokasi
Muhammadiyah terhadap kasus ini mendorong Panitia Khusus (Pansus) RUU Anti
Terorisme melakukan perubahan fokus pada rancangan yang diajukan pemerintah
tersebut. Kini, Pansus RUU Anti Terorisme lebih memandang urgen untuk
memperkuat aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia terduga teroris
dan korban. Penekanan aspek ini akan disertai pembatasan kewenangan aparat
penegak hukum dalam menindak terorisme (Kompas, 21/4).
Pada sisi lain, peristiwa teror
Thamrin dan kasus kematian Siyono semakin memperkuat relevansi proposal
penyusunan Fikih Anti Terorisme yang digagas Maarif Institute sejak Desember
silam. Rangkaian diskusi kelompok terfokus pun sudah dilakukan pada akhir
Februari dan Maret lalu dengan melibatkan ulama dan para pakar lintas disiplin
yang menekuni kajian terorisme. Puncaknya adalah perhelatan ”Halaqoh Penyusunan
Buku Fikih Antiterorisme” pada 3-5 Mei 2016 di Semarang, hasil kolaborasi
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan Maarif Institute. Haedar Nashir
dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan
hadir dalam pembukaan pertemuan selama tiga hari tersebut.
Proposal ini bertujuan merumuskan
perspektif Islam Indonesia mengenai persoalan terorisme dan pelbagai isu
turunannya dalam rangka memastikan terpenuhinya maqashid syariat (tujuan
puncak syariah) dan hak asasi manusia dengan berangkat dari tantangan terorisme
di Indonesia dan dinamika globalnya.
Arah kerjanya akan mencakup
pembacaan ulang secara kritis definisi terorisme dalam perspektif Islam,
menggali pandangan Al Quran dan hadis mengenai terorisme dengan menyegarkan
kembali pandangan para ulama serta pengkajian kembali konsep-konsep kunci
keagamaan yang selama ini disalahpahami dan disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok berideologi teror, seperti irhab (teror), takfir
(sesat), qital (perang), unuf (kekerasan), bughat
(pemberontak), baiat, hijrah, dan khilafah. Fikih Anti Terorisme merupakan
kesinambungan dan pengembangan dari diskursus Fikih Kebinekaan yang telah
digulirkan pertengahan 2015.
Al Quran dan terorisme
Pada dasarnya, istilah ”terorisme”
tidak ditemukan di dalam Al Quran, bahkan dalam kosakata bahasa Arab sekalipun.
Isu terorisme merupakan produk zaman modern karena tidak ada sarjana Muslim
klasik yang pernah mendefinisikan apa itu terorisme, ungkap Kutb Mustafa Sano.
Namun, para ahli tafsir dan hukum Islam modern berpendapat bahwa kata ”irhab”
dalam Al Quran memiliki makna yang memperlihatkan banyak persamaan dengan
konsepsi terorisme dalam kamus politik Barat. Kitab suci ini menyebut kata irhab
dalam 12 tempat, begitu menurut Abdullah bin Mahfud bin Bayah. Mayoritas makna irhab
dalam ayat-ayat itu merujuk pada pengertian yang identik dengan rasa ketakutan
dan teror/ancaman.
Definisi hukum terorisme dalam
pandangan resmi organisasi di dunia Islam baru dirumuskan pada 1998 oleh
Konvensi Arab untuk Pemberantasan Terorisme. Konvensi ini merumuskan terorisme
adalah segala bentuk ancaman atau aksi kekerasan, apa pun motif dan tujuannya,
yang muncul sebagai upaya untuk mencapai agenda kriminal individu atau
kolektif. Definisi berikutnya dikemukakan Islamic Research Academy pada 2001, yaitu
tindakan mengancam keamanan dan menghancurkan kepentingan publik, martabat
manusia, dan esensi kehidupan sehingga memicu tindakan agresi dan mengakibatkan
kerusakan di muka bumi (Amin, 2014: 32).
El Sayid Amin percaya bahwa proyek
mengkaji terorisme dalam perspektif Islam harus berangkat dari analisis
teks-teks yang membedah konsep irhab (teror), quwwah (kekuatan), ’aduuw
(musuh), khususnya dalam kandungan Surat Al Anfal: 60. Penting sekali
meluruskan makna kata-kata kunci itu sesuai konteks dan semangat awalnya guna
mematikan justifikasi aksi terorisme atas nama perintah Al Quran, seperti klaim
Al Qaedah, Boko Haram, dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Berdasarkan penelusuran Amin,
pemahaman ekstrem Sayyid Qutb terhadap sejumlah konsep kunci tersebut telah
berkontribusi besar pada disalahpahaminya ayat-ayat jihad oleh
kelompok-kelompok berideologi teror. Ada penyimpangan. Akibatnya, mereka
percaya telah diberi otoritas untuk membunuh dan melakukan kerusakan terhadap
orang yang berkeyakinan berbeda.
Para penganut ”Teologi Maut”
itu—istilah yang dipakai Buya Syafii—mengabaikan prinsip dasar Al Quran, yaitu
mengambil nyawa manusia dengan cara-cara melanggar hukum dan tidak adil
merupakan bentuk utama kerusakan seperti diingatkan firman Tuhan, Q.S. 17: 33:
”Dan, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan
suatu yang benar”. Dalam memahami ayat ini, ahli tafsir klasik Al-Razi
berpandangan, tindakan merampas hak hidup seseorang tanpa ada sebab yang adil
merupakan dosa terbesar setelah menyekutukan Tuhan.
Konsekuensi hukum dan moral
Pendapat keras penulis Tafsir
Mafatih al-Ghaib ini mencerminkan tingginya pemuliaan Islam terhadap
keberlangsungan kehidupan dan hak hidup manusia. Dalam bahasa Al Quran, satu
nyawa manusia setara dengan alam semesta. Adanya unsur kesengajaan
menghilangkan nyawa, baik dilakukan negara maupun kelompok, dan melakukan
kerusakan (fasad) merupakan dua ciri mendasar yang melekat pada tindakan
yang disebut terorisme dalam kacamata Al Quran.
Dalam perspektif ini, ada beberapa
konsekuensi hukum dan moral dalam proses penegakan hukum terhadap kasus
terorisme. Pertama, negara tidak mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa
warganya karena tuduhan terorisme sampai ada proses hukum yang adil dan
transparan membuktikannya. Kedua, negara berpotensi terjerumus menjadi pelaku
teror itu sendiri jika bertindak di luar hukum dan merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Ketiga, orang beriman yang nyata-nyata terlibat terorisme, apalagi
secara sengaja menghilangkan nyawa manusia, telah melakukan kejahatan serius
dan perbuatan dosa besar wajib dihukum secara setimpal dan adil sesuai hukum
negara. Lebih dari itu, dia telah menistakan dirinya karena melakukan perbuatan
terkutuk, setingkat di bawah menyekutukan Tuhan.
Akhirnya, prakarsa penyusunan Fikih
Anti Terorisme merupakan upaya dari masyarakat sipil mendialogkan dan
memproduksi pemahaman kritis atas diskursus terorisme agar tetap dalam kori-
dor menjunjung tinggi hak asasi, keadilan, dan memuliakan kemanusiaan.
Pancasila telah lama memerintah kita untuk mengimami keadilan dalam proses
bernegara. Negara mesti hadir membentangkan payung kepastian dan keadilan hukum
untuk siapa pun. Merawat partisipasi masyarakat dan budaya dialog konstruktif
dengan penyelenggara negara merupakan kunci untuk memastikan negara tetap
bermakmum kepada Pancasila.
Fajar Riza Ul Haq, Direktur
Eksekutif Maarif Institute & Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar